Raya memegang dadanya yang berdegup kencang. Kencangnya masih sama seperti tadi saat Zio mengatakan bahwa mereka mulai hari ini berpacaran.
Bolehkan Raya bahagia karena ini?
Raya bahagia. Meskipun rasanya kepada Zio belum pasti apa, tapi Raya bahagia. Raya tidak mampu menolak Zio saat pria itu bilang bahwa mereka berpacaran, atau saat pria itu terang-terangan berkata menyayanginya.
Siapa yang mampu menolak pria seperti Zio? Tidak ada!
Raya tidak tau perasaannya kepada Zio seperti apa. Zio baik kepadanya, Zio melindunginya seperti yang pria itu katakan, dan Raya akui jika ia merasa nyaman bersamanya.
Bisakah Raya menyebut ini rasa sayang? Atau suka?
Raya menjatuhkan tubuhnya di atas kasur, memeluk boneka kesayangannya sambil memekik tertahan. Tiba-tiba wajahnya merona. Hal biasa terjadi pada remaja ketika sedang jatuh cinta, tapi tidak bagi Raya! Ini adalah pertama kali baginya.
Tiba-tiba saja pintu kamar Raya terbuka, mengalihkan perhatian gadis itu.
"Raya, yang tadi itu siapa?" tanya Dela seusai masuk dan menutup kembali pintu.
"Maksudnya?"
"Yang tadi jemput lo siapa? Gila, ganteng banget!" pekik Dela.
Raya meringis pelan. "Itu orang yang nolongin aku kemarin."
"Oh ya?"
Raya mengangguk. "Kak Dela udah makan? Mau aku masakin apa?"
Dela menggeleng. "Nggak usah, biar gue masak sendiri aja nanti."
"Nanti ibu marah kalo Kak Dela masak," ucap Raya lalu berdiri. "Aku masak dulu ya." Raya keluar dari kamarnya dan berjalan menuju dapur. Raya melirik jam dinding yang berada di ruang tengah, sebentar lagi ibunya pulang kerja dan Raya harus bergegas masak dan membereskan semuanya.
Inilah keseharian Raya selama hampir satu tahun ini. Mencuci, memasak, dan segala pekerjaan rumah tangga lainnya. Raya tidak pernah mengeluh dengan keadaannya sekarang. Menurutnya apa yang Tuhan kasih untuknya, itulah yang terbaik.
Hal yang pertama ia lakukan adalah memasak untuk makan malam. Selanjutnya Raya mencuci alat masak yang tadi ia gunakan. Sesekali bersenandung menyanyikan lagu yang terlintas dikepalanya.
"RAYA!!!"
Raya terlonjak kaget. Hampir saja ia menjatuhkan piring yang sedang ia susun di atas rak. "Tadi ibu ketemu guru kamu, dia bilang kemarin kamu nggak masuk, kemana kamu?" tanya ibunya dengan suara tinggi, sehingga mengundang perhatian Dela yang sedang berada di kamarnya.
Raya menelan salivanya susah payah. Ia kira ibunya tidak akan tau soal ini. "Raya sakit, Bu, jadi nggak masuk," jawab Raya.
"Terus kamu kemana? Kamu nggak ada di rumah kemarin." Aneu menjatuhkan tasnya di atas sofa lalu berjalan menuju meja makan.
"Di rumah sakit."
"Rumah sakit?! Whoaa, sekaya apa kamu sampe sok masuk rumah sakit segala."
Raya menunduk.
"Ibu, udah dong kenapa jadi marah-marah sih. Nggak penting siapa yang bayar, yang penting Raya nggak pa-pa," ujar Dela yang sudah berada di dekat ibunya.
"Ibu nggak peduli dia kenapa-napa atau nggak."
"Ibu!" tegur Dela.
Aneu mengabaikannya. "Jangan pernah kamu bolos lagi, Raya! Kamu pikir siapa yang mau bayar biaya sekolah kamu kalo beasiswa kamu dicabut, hah?! Ibu kamu yang udah mati itu?!" Raya menunduk, mencengkram rok abu-abunya yang belum sempat ia ganti.
"Ibu!" tegur Dela lagi.
"Masuk ke kamar kamu!" titah Aneu.
Raya bergegas berlari ke lantai dua dengan kepala menunduk. Seharusnya Raya bisa bersikap biasa aja karena ia sudah biasa diperlakukan seperti ini. Namun nyatanya, Raya tetap akan menangis. Dulu saat ayah dan bundanya masih ada, Raya adalah anak yang tegar, kuat dan mandiri meski ia dimanja karena anak satu-satunya. Dan seharusnya, Raya juga bisa menjadi lebih tegar lagi sekarang.
"Jangan rapuh, Raya! Kalo kamu rapuh, percuma! Nggak akan ada yang mau rangkul kamu!" Raya berbicara pada dirinya sendiri.
Raya membaringkan dirinya di atas ranjang. Memeluk boneka kesayangannya dengan erat seraya menangis dalam diam. Raya bahkan mengabaikan ponselnya yang menyala dan berdering beberapa kali karena ada notifikasi. Hingga tanpa sadar, Raya tertidur dengan air mata yang masih mengalir.
***
Raya membuka paksa kedua kelopak matanya. Ponselnya tidak henti-hentinya berdering membuatnya terusik. Gadis itu langsung bangun, merenggangkan ototnya yang kaku lalu mencoba bernapas melalui mulut. Hidungnya mampet, mungkin karena sebelumnya ia menangis.
Raya meraih ponselnya. Begitu banyak notifikasi pesan, panggilan tak terjawab dan beberapa notif lainnya. Yang paling spam adalah dari Zio. Lebih dari 50 panggilan tak terjawab dan lebih dari 36 pesan. Raya meringis.
Ponselnya kembali berdering. Nama Zio tertera di sana.
"Halo?"
"Raya, kamu kemana aja sih? Telepon saya dari tadi nggak diangkat, pesan juga nggak dibales. Kamu kemana? Saya khawatir sama kamu!" ujar Zio di sebrang telepon.
Raya menguap, ia melirik jam dinding. "Aku ketiduran, Kak," ucapnya. Dalam hati ia menggerutu, pantas saja Zio seperti itu, ini sudah hampir jam 10 malam.
"Saya di luar. Buka pintunya," ucap Zio.
Raya terbelalak. "Kakak di sini? Di bawah? Ngapain? Aduh, Kak, mending Kakak pulang deh sebelum ketahuan ibu," ujar Raya panik.
"Kalo emang nggak boleh lewat pintu, saya akan manjat ke balkon kamu," ujar Zio. "Buka sekarang jendela kamar kamu, saya naik sekarang." Setelah itu, Zio memutuskan sambungannya begitu saja.
Raya buru-buru membuka jendela kamarnya dan langsung ke balkon. Ia menatap ke bawah, Zio di sana mendongak seraya berkacak pinggang.
"Kamu nggak bilang kalo ada tangga menuju kamar kamu," ucap Zio lalu mendengkus.
Raya menaruh telunjuknya dibibir, menyuruh Zio untuk jangan berisik. Kamar Raya memang memiliki tangga dibagian balkon. Dulu Raya menyuruh ayahnya untuk memasang tangga di ujung balkonnya.
Raya menunduk ketika Zio sudah berada di hadapannya. Sekarang penampilan Zio berbeda dari biasanya. Tidak ada jas dan kemeja formal yang melekat ditubuh tegapnya. Hanya kaus yang dibalut jaket bomber dan celana jeans hitam.
"Kakak ngapain di sini?" tanya Raya menunduk, menyembunyikan matanya yang mungkin saja bengkak.
"Kamu bikin saya khawatir, Raya." Zio meraih bahunya lalu memeluknya.
"Aku nggak pa-pa," ucap Raya dengan suara meredam dipelukan Zio.
"Saya takut terjadi sesuatu sama kamu."
Raya melepaskan pelukannya, meraih tangan Zio lalu mengajaknya masuk ke dalam kamarnya. "Nanti ada yang liat," ucap Raya. "Duduk, Kak. Maaf berantakan." "Kamu nangis?" tanya Zio saat melihat mata Raya yang agak membengkak. Raya tersenyum lalu menggeleng.
"Jangan bohong, Raya. Ada apa?" tanya Zio.
"Nggak pa-pa, Kak," ucap Raya.
"Ada yang nyakitin kamu?" tanya Zio seraya mengelus pipinya. "Siapa?"
"Nggak. Aku cuma keinget bunda aja, harusnya hari ini aku ke makam bunda, tapi aku seharian sama Kakak," ujar Raya.
"Maaf, saya nggak tau," ucap Zio.
Raya tersenyum. "Nggak pa-pa, Kak."
"Kalo gitu besok, gimana? Sepulang kamu sekolah. Saya antar."
Raya tersenyum lalu mengangguk.
Zio menariknya kedalam pelukannya. "Jangan pernah nangis, Sayang."
***