Raya membereskan beberapa buku lalu memasukkannya ke dalam tas. Bel pulang sudah berbunyi lima menit yang lalu, Raya tidak ada urusan lagi di sini jadi ia memutuskan untuk cepat-cepat pulang.
Bisa dibilang Raya tidak mempunyai teman dekat di sekolah ini. Entah Raya yang malas mempunyai teman atau mereka yang enggan mendekati Raya. Hanya satu orang yang mau menjadi teman Raya, dia Eka, teman sebangku Raya. Tapi tetap saja mereka tidak dekat, hanya sebatas teman sebangku saja..
Begitu Raya melewati gerbang bersama murid-murid yang lain, matanya menangkap sesuatu yang tidak asing baginya.
Sebuah mobil Mercedes Benz AMG berwarna putih terparkir disebrang jalan. Mobil yang mengantarnya pulang kemarin. Itu milik Zio!
Lalu sang pemilik mobil keluar. Zio yang penampilannya masih sama seperti kemarin, memakai pakaian jas formal namun kali ini ada tambahan kacamata hitam yang bertengger dihidungnya.
"RAYA!" Zio melambaikan tangannya ke arah Raya sambil tersenyum.
Ya Tuhan! Zio benar-benar tampan! Rambutnya yang hitam legam kontras dengan kulitnya yang putih, lalu matahari yang menyorot membuatnya seperti berkilau.
Kemudian suara bisik-bisik mulai terdengar dari teman-temannya.
"Gila! Itu orang cakep bener ya."
"Gantengnya kayak dewa, Tuhan!"
"Eh, dia manggil Raya."
"Mereka kenal?"
"Ih, si Raya mainnya sama om-om."
"Muka kayak gitu nggak cocok jadi om, cocoknya jadi kakak kelas, hihi."
"Si Raya hebat bisa kenal sama cowok ganteng kayak gitu."
Raya menarik rambutnya untuk menutupi wajahnya, lalu menunduk malu. Ngapain sih dia
di sini?!
"Kamu nggak denger saya manggil kamu?"
Raya terlonjak kaget. "Astaga!"
Zio terkekeh, ia melepas kacamata hitam yang bertengger dihidungnya. "Kamu nggak
denger saya manggil kamu?" Zio mengulang pertanyaannya.
"Denger," ucap Raya pelan, ia menunduk kala suara bisik-bisikan itu terdengar lagi.
"Kenapa nggak nyamperin?"
"Kakak ngapain di sini?" tanya Raya.
Zio meraih tangan Raya, menariknya untuk menyebrang menuju mobilnya.
Raya melepaskan tangannya yang dipegang Zio ketika Zio hendak membukakannya pintu. "Kakak ngapain di sini?" tanya Raya lagi lalu melirik ke arah gerbang sekolah yang masih
banyak teman-temannya di sana. "Dilihatin."
Zio terkekeh. "Kamu nggak ngabarin saya dari semalem sampai tadi, saya khawatir sama kamu makanya saya nyamperin kamu ke sini," ujar Zio lalu ia membuka pintu mobil dan menyuruh Raya masuk.
Begitu Raya masuk, Zio langsung memutari mobil untuk masuk dan duduk di balik kemudi. Sebelumnya ia menyunggingkan senyumnya kepada teman-teman Raya yang terang-terangan memperhatikannya dengan Raya.
"Kamu kenapa nggak hubungin saya?" tanya Zio ketika ia telah melajukan mobilnya. "Aku ketiduran setelah ngerjain tugas," jawab Raya.
"Oh, kamu sudah makan?"
Raya menoleh dan menggeleng.
"Kebetulan saya juga belum makan. Kamu mau makan apa?"
Raya menggeleng lagi. "Nggak usah, Kak."
Zio tersenyum. "Nggak pa-pa, Raya, lagian saya juga laper."
Raya diam. Sebenarnya ia sudah sangat penasaran dengan sikap Zio yang baik kepadanya. Mereka padahal baru kenal kemarin, lho! Kamarin!
Raya menghela napas pelan. "Terserah Kakak aja."
***
Zio mengajak Raya makan di sebuah restoran jepang. Raya bilang dia sangat suka makanan jepang.
"Makan yang banyak, kalo masih kurang bisa nambah lagi," ujar Zio.
Raya menggeleng sambil mengunyah. "Uang aku nggak cukup buat bayar lebih."
Zio terkekeh. "Raya, saya ngajak kamu makan bukan buat nyuruh kamu bayar. Kamu makan
aja sepuasnya, kamu tenang aja."
Raya tersenyum kecil. "Kakak kenapa baik banget sama aku? Maksud aku, kita baru aja
kenal secara nggak sengaja."
Zio meraih tangan Raya yang berada di atas meja, menggenggamnya. "Karena saya peduli
sama kamu. Saya pernah bilang kan kalo kamu nggak sendiri? Ada saya, Raya. Saya akan menjaga kamu mulai sekarang. Saya sayang sama kamu."
Raya tertegun. Jelas terkejut dengan pengakuan Zio yang terang-terangan mengakui perasaannya.
"Kakak bercanda?"
Zio menggeleng. "Nggak udah dipikirin. Saya tau ini terlalu cepat, jadi nggak usah dipikirkan."
"Nggak. Gimana aku nggak bakalan kepikiran? Ya ampun, seumur-umur aku nggak pernah denger cowok ngakuin perasaannya ke aku," ujar Raya heboh.
"Jadi, saya yang pertama?" goda Zio.
Raya mengangguk polos, gadis itu sepertinya tidak sadar bahwa wajahnya merona.
Zio terkekeh. "Saya seneng, berarti saya nggak ada saingannya."
"Emang Kakak nggak punya pacar? Aku kira Kakak udah punya pacar atau tunangan gitu," ujar Raya.
Zio menggeleng. "Saya nggak punya keduanya."
"Muka Kakak nggak cocok banget jadi jomblo," ejek Raya lalu nyengir.
"Kenapa? Saya ganteng emang?"
"Kak, anak TK juga tau kalo Kakak ganteng. Gimana sih."
"Kalo menurut kamu, saya ganteng?" tanya Zio dengan senyum konyol diwajahnya.
"Mau jawab nggak juga nggak mungkin, Kak. Jadi iya, Kakak emang ganteng banget," ujar Raya, santai tanpa beban.
"Udah masuk kriteria kamu dong?"
"Kelebihan malahan."
Zio terkekeh. "Kamu sediri nggak punya pacar?" tanya Zio.
"Jangankan pacar, Kak, temen aja aku nggak punya," ucap Raya lalu memakan kembali makanannya.
Mata Zio sedikit membulat, terkejut. "Nggak punya temen? Kenapa?"
Raya mengedikkan bahunya. "Entah aku yang males nyari temen atau emang mereka yang
nggak mau temenan sama aku. Aku nggak pernah punya temen deket kayak sahabat."
"Jangan sedih soal mereka nggak mau temenan sama kamu," ucap Zio. "Ada saya. Sekarang
kamu nggak akan kesepian lagi."
Raya tersenyum.
"Jangan senyum," ucap Zio.
"Kenapa?" tanya Raya polos.
"Saya nggak nggak kalo liat kamu senyum. Bawaannya pengen peluk," ucap Zio sembari
menyentuh dadanya.
Wajah Raya merona karena ucapan Zio yang nenurutnya terlampau manis.
"Kak Zio ih!"
Zio tertawa kecil. Raya sangat menggemaskan sekali.
"Kakak umur berapa? Biar aku tebak," Raya bertopang dagu. "Kakak pernah bilang kalo
umur Kakak antara 20 sampai 30, ‘kan? Hmm, 29?"
Zio menggeleng. "Umur saya 27 tahun, masih muda dong?" Zio menaik turunkan alisnya. Raya membulatkan matanya sengaja. "Beda 11 tahun! Aku umur 16 tahun, 3 bulan lagi 17, hehe. Kalo kita pacaran, nggak cocok kayaknya, lebih keliatan kakak sama adik atau om sama keponakan."
Zio menyipitkan matanya menggoda. "Jadi, kamu mau pacaran sama saya?" goda Zio Raya menbulatkan matanya. "Emang tadi aku bilang gitu?"
Zio mengedikkan bahunya. "Oke, mulai sekarang kita pacaran!"
"Uhuk.. uhuk!!" Raya tersedak makanannya sendiri. Apa yang barusan pria itu katakan? Berpacaran? Yang benar saja!
"Bercanda nih." Raya terkekeh garing.
"Kamu nggak mau jadi pacar saya?"
Raya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Bukan gitu Kak maksud aku. Emm—gimana ya, maksud aku, aku bukan siapa-siapa buat Kakak pacarin. Aku malah ngerasa nggak pantes duduk sama Kakak sekarang." Raya menunduk.
Zio menggenggam tangan gadis itu. "Saya nggak suka kalo kamu ngerendahin diri kamu sendiri kayak gitu. Raya, saya sayang sama kamu tulus, nggak peduli kamu siapa." Pria itu mengelus kepala Raya, lalu tersenyum manis. "Saya nggak perlu sama berlian kalo perak saja bikin saya nyaman."
***