Zio melambaikan tangannya kepada Raya begitu gadis itu keluar dari gerbang sekolahnya.
Raya membalas lambaian tangannya sembari tersenyum lebar, lalu melirik kiri dan kanan hendak menyebrang.
Zio tersenyum ketika Raya sudah berada di hadapannya. "Gimana sekolahnya hari ini?" tanya Zio, bertanya seperti ayah kenapa anaknya.
"Ya gitu aja kayak biasa. Udah, yuk pergi, nggak enak diliatin."
Zio mengangguk, pria itu mengacak gemas pucuk kepala Raya. "Gemes banget sih," ucapnya lalu Zio membukakan pintu untuk Raya.
Gadis itu mengerucutkan bibirnya, tangannya membenarkan rambutnya sambil masuk ke dalam mobil Zio.
Sudah seminggu berlalu sejak kejadian itu. Zio dan Raya masih sama. Zio yang masih merahasiakan kepergiannya dari rumah—lebih tepatnya, aksi diusirnya dari rumah. Raya juga masih diam dan tidak mempermasalahkan kejadian saat ia melihat Zio makan malam dengan Kelly.
Raya berusaha untuk mengerti keadaan Zio yang mungkin itu dilakukan karena terpaksa.
"Kak Zio nggak balik lagi ke kantor?" tanya Raya.
Zio melirik Raya sekilas. "Kerjaan Kakak udah selesai, Sayang, jadi sekarang waktunya buat kamu," ujarnya.
Bohong. Zio berbohong. Selama ini—setelah aksi diusirnya, Zio tidak lagi masuk kerja dan memimpin perusahaan Allegra.
Zio cukup tau bagaimana Ely, ibunya itu sudah mengusirnya dan otomatis telah memutuskan semua koneksi Zio yang berhubungan dengan keluarga Allegra.
Selama seminggu ini, Fabrio dan Vino-lah yang menggantikan tugasnya. Fabrio terpaksa turun tangan kembali karena belum berhasil membujuk Ely.
Ely tidak akan luluh begitu saja dengan bujukan Fabrio. Wanita itu hanya akan merubah keputusannya jika Zio menerima keputusannya menjodohkannya dengan Kelly.
Selama itu juga Zio berpura-pura di depan Raya. Berpura-pura masih tinggal di rumahnya dan berpura-pura berangkat ke kantor. Setiap harinya—setiap pagi saat Zio hendak mengantarkan Raya, Zio selalu berpakaian rapih seperti biasanya.
"Hari ini ke apartemen Kak Zio ya?"
Zio menoleh, ia gelagapan. "Mau apa, Sayang?"
"Ini masih siang. Ibu dan Kak Dela juga nggak ada di rumah. Aku nggak mau pulang dulu.
Kita ke apartemen Kak Zio ya, nanti aku masakin deh," ujar Raya lalu tersenyum kepada Zio agar pria itu mau menyutujui permintaannya.
Bukannya Zio tidak mau. Hanya saja di apartemennya banyak barang-barangnya. Jika Raya datang dan melihatnya, Zio harus berkata apa? Ia tidak ingin Raya khawatir dan merasa bersalah jika tau ia diusir dari rumah karena membangkang untuk mempertahankan hubungannya dengan Raya.
"Kita jalan-jalan aja ya, Sayang," ucap Zio.
"Kamu mau kemana?"
Raya menyipitkan matanya. "Kakak nyembunyiin sesuatu ya dari aku ya?" tuduhnya karena Raya merasa ada yang tidak beres.
Zio meraih tangan Raya—menggenggamnya. "Nggak ada kok, Sayang."
"Tapi aku mau ke apartemen Kak Zio. Aku baru aja dapet resep baru. Boleh ya?" Raya mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke arah Zio, lalu ia mengedipkan matanya ala puppy eyes, berharap Zio akan luluh dengan itu.
"Sayang,"
"Kak Zio..."
Oke, jika sudah begini, Zio tidak tau harus bersikap bagaimana. Ia sungguh tidak bisa
menolak Raya jika gadis itu sudah bersikap menggemaskan dengan merajuk. "Oke."
Raya tersenyum, perlahan ia menjauh dari Zio.
"Let's go."
***
"Kak Zio..."
Zio menggeram dan semakin memperdalam ciumannya, menyecap seluruh bibir manis
Raya yang juga membalas ciumannya.
"Mmhhh..."
Pria itu semakin menekan tengkuk Raya. Sedangkan gadis itu menjambak pelan rambut hitam milik Zio yang sekarang sudah acak-acakan karena ulahnya.
Ciuman Zio membuatnya kelimpungan. Raya tidak tau harus berbuat apa selain menjambak rambut hitam Zio dan bergerak tidak nyaman di pangkuan pria itu.
"Kak Zio..."
"Raya... Kamu—"
"Kak Zio, bangun ish."
Zio terlonjak, ia membuka matanya.
"Kak Zio kenapa? Kak Zio sakit? Sampe keringetan kayak gini?" tanya Raya seraya
mengusap kening Zio yang berkeringat.
Apa? Itu hanya mimpi? Sial!
Napas Zio tersenggal-senggal. Hawa panas menyerang tubuhnya hingga wajah pria itu
memerah.
"Kak Zio kenapa? Kak Zio beneran sakit?" tanya Raya berubah panik.
Zio menurunkan tangan Raya yang menyusuri pipinya. "Kakak nggak pa-pa, Sayang." Zio berdiri. "Kakak mandi dulu ya."
Raya menatap Zio yang berlalu melewatinya, menatapnya dengan penuh keheranan. Raya
menghela napas lalu kembali ke dapur untuk melanjutkan kegiatan masaknya.
***
Zio mengumpat sepanjang ia mandi. Akhir-akhir ini Zio selalu bermimpi seperti itu. Entah sebatas ciuman atau lebih dari itu.
"b**o!"
Zio mengumpat pada dirinya sendiri di bawah shower yang mengguyur tubuhnya. Beberapa kali Zio menghela napas, menormalkan diri serta pikirannya sebelum akhirnya benar- benar mandi.
Satu jam lamanya Zio di kamar mandi, pria itu keluar dengan setelan santai yang melekat pada tubuhnya. Tangannya menggosok-gosokkan handuk putih ke kepalanya yang basah.
Pergerakan tangan dan kaki Zio yang melangkah terhenti, matanya terbelalak ketika mendapati Raya yang berada di kamarnya, berlulut di depan kopernya yang terbuka.
Zio melempar handuk putih itu. "Raya..."
"Kenapa di sini ada koper Kak Zio? Ada dua lagi," tanya Raya dengan kepala menunduk, menatap isi koper yang berisikan baju-baju Zio.
"Raya, itu—" Zio melupakan keberadaan kopernya yang masih ia simpan sembarangan. Ia juga tidak mengunci pintu saat hendak mandi tadi.
Tangan Raya terulur, menunjuk meja kerja Zio yang berada di pojok di samping lemari.
"Semua barang-barang Kakak ada di sana. Laptop, iPad." Raya mengangkat kepalanya menatap Zio. "Kakak nggak tinggal di rumah?"
"Raya—"
"Kenapa?" tanyanya lagi, kali ini dibarengi dengan air matanya yang mulai menetes.
"Jangan nangis. Aku nggak suka," ucap Zio lirih, mengapus air mata Raya yang mengalir
melalui pipi gadis itu. Zio memeluk gadis itu, mendekapnya dengan hangat. "Kak Zio nggak pa-pa, Sayang."
"Tapi kenapa Kakak nggak tinggal di rumah lagi? Apa karena—"
"Bukan karena siapa-siapa, Sayang." Zio menarik napasnya, mungkin ia sudah tidak bisa berbohong lagi kepada Raya. "Mami ngusir Kak Zio bukan salah siapa-siapa."
Raya menutup mulutnya tidak percaya. Tubuhnya bergetar karena menahan tangis. Ia melepaskan pelukannya.
"Kenapa mami Kak Zio ngusir? Apa karena aku? Karena perjodohan Kak Zio sama Kelly?"
Raya rupanya cukup pintar untuk mengerti kondisi ini.
Zio menggeleng, sembari mengusap pipi gadis itu. "Bukan salah kamu, Sayang. Aku hanya melakukan yang terbaik untuk hubungan kita."
"Tapi, Kak Zio jadi—"
Zio menggeleng lagi, lalu menempelkan telunjuknya di bibir Raya. "Asal aku terus bersamamu, aku baik-baik aja walau tinggal sendirian di sini."
Tangis Raya semakin menjadi. Ia tidak menyangka jika Zio sampai melakukan itu. Rela mengorbankan hidupnya dan di usir dari rumah hanya untuk menjaga hubungannya agar tetap bertahan. Raya terisak, ia mencengkram kaos yang Zio kenakan.
"Maafin aku."
"Sayang." Zio mengelus punggung Raya dengan lembut. "Kakak nggak pa-pa."
***