Hari minggu ini Zio akan menghabiskan waktunya dengan Raya, gadis kecilnya. Jarang sekali Zio menghabiskan waktu liburnya dengan bermain atau berlibur.
Zio biasanya akan tidur sepanjang hari sampai kepalanya pusing atau pergi ke tempat gym.
Zio melirik jam di tangannya sambil sesekali melirik ke arah rumah Raya. Sudah lima belas menit ia menunggu namun Raya belum juga datang.
Zio membuka aplikasi kamera di ponselnya, kembali melihat penampilannya terutama rambutnya. Hingga ia melihat Raya keluar dari rumahnya membuat senyumnya terbit.
"Nunggu lama ya?" tanya Raya begitu gadis itu sudah duduk di sampingnya.
"Nggak kok."
Raya tersenyum. "Mau kemana sih?"
"Maunya kamu kemana?" tanya balik Zio sesaat setelah melajukan mobilnya. "Dufan boleh?"
"Kalo buat kamu, apa sih yang nggak."
Simple namun manis menurut Raya. Gadis itu memberanikan diri untuk melingkarkan tangannya di tangan Zio, kepalanya ia sandarkan di bahu lebar milik cowok itu.
Nyaman.
Satu kata itulah yang mewaikili bagaimana perasaan Raya sekarang. Zio mengecup kening Raya. "Udah sarapan?"
"Belum."
"Mau sarapan dulu?"
Raya mendongak lalu mengangguk sambil tersenyum manis. Zio terkekeh, ia mempercepat laju mobil hingga beberapa menit kemudian, Zio menghentikan mobilnya di sebuah cafe.
Tangan mereka saling bertautan saat mereka berjalan masuk ke dalam cafe tersebut.
"Mau pesan apa?" tanya Zio sembari membaca buku menu.
"Sandwitch aja."
Zio tersenyum lalu mengangguk. Ia kemudian memanggil pelayan. "2 sandwitch ya. Kamu minumnya apa, Sayang?"
Wajah Raya bersemu ketika Zio memanggilnya sayang. Gadis itu salah tingkah apalagi saat pelayan itu menatapnya dengan senyum kecil di wajahnya. "Apa aja," ucap Raya pelan.
"Minumnya latte aja."
Pelayan itu mengangguk. "Ditunggu sebentar ya, Mas," ucapnya lalu pergi.
"Kok mukanya merah? Kepanasan ya?" tanya Zio, nadanya seperti menggoda.
"Kak Zio!"
"Apa, Sayang?" suara Zio melembut.
Raya tidak dapat menahan senyum dibibirnya.
"Kamu tau nggak apa yang bikin aku jatuh cinta begitu cepat sama kamu?" tanya Zio.
Raya mengangkat sebelah alisnya. "Katanya Kakak cinta sama aku nggak ada alasannya."
"Memang. Tapi ada satu hal yang buat aku makin suka sama kamu."
"Apa?"
"Senyum kamu. Aku suka senyum kamu yang sangat manis itu," ucapnya, lalu ia berbisik.
"Bikin ketagihan."
Raya makin salah tingkah. Apa maksudnya bikin ketagihan? Memang dirinya makanan apa.
"Apa sih, Kak, emang aku makanan apa," ucap Raya dengan wajah yang memerah.
"Makanan mana yang rasanya seenak bibir kamu? Nggak ada! Semuanya lewat bahkan gula sekali pun!" ujar Zio.
Tuhan, Raya ingin sekali rasanya menenggelamkan dirinya sendiri. Wajar Raya baper karena ucapan Zio. Perempuan mana yang tidak akan baper jika diberikan kata-kata manis seperti itu. Apalagi Raya masih SMA, masih berada pada tahap remaja yang gampang sekali baper bila dicolek.
"Kak Zio!" Raya menunduk, menaruh kepalanya di atas lipatan tangannya. Sudah cukup Raya baper tingkat tinggi pagi-pagi, wajahnya juga sudah memerah bahkan ia belum apa-apa.
Zio tertawa geli melihat tingkah Raya yang menggemaskan. "Udah, diangkat kepalanya,
makanannya dateng," ucap Zio.
"Jangan gitu lagi," ucap Raya masih bertahan dengan posisinya.
Zio mengangguk, berterima kasih kepada pelayan yang telah mengantarkan pesanannya.
"Dimakan, Sayang!"
Raya mengangkat kepalanya. "Kak Zio, ih."
"Jangan ngerengek gitu, nanti aku lost control." ucapnya.
"Kak Zio!"
Pria itu tertawa. "Iya-iya, maaf."
Barulah Raya mengangkat kepalanya lagi, wajahnya merah merona. "Aku malu tau,"
rengeknya.
"Maafkan Kakak, Sayang. Aduh, wajah kamu jadi merah gitu." Zio mengusap pipi Raya
dengan lembut lalu tersenyum mengejek.
"Kakak!"
***
Setelah mengantri sekitar satu jam untuk mendapatkan tiket, kini Zio dan Raya masuk ke dalam area Dufan dan menghampiri salah satu arena wahana di sana.
"Nanti aku bakalan ngajak kamu ke Universal Studio," ucap Zio.
Raya menoleh, gadis itu tersenyum. "Dimana?"
"Singapura, Jepang, Hollywood, Florida, Korea, Dubai, China, terserah kamu mau yang mana," ujar Zio.
Raya menggeleng kecil. "Aku nggak punya uang kalo ke sana."
Zio terkekeh, ia menangkup wajah Raya. "Aku ngajak kamu bukan buat nyuruh kamu bayar, tapi buat kamu bahagia. Kalo kamu mau, sekarang kita bisa berangkat."
"Kak Zio, nggak mungkin sekarang. Tapi, makasih lho," ucapnya lalu gadis itu mencium pipi Zio sekilas.
"Raya sayang Kakak," ucapnya setelah itu Raya berlari menjauhi Zio yang masih diam
terkejut.
Pria itu menoleh ke arah Raya yang mulai berlari jauh darinya. Zio berlari mengejar Raya membuat gadis itu menjerit sekaligus tertawa. Begitu dekat, Zio langsung meraih pinggang Raya, membuat gadis itu berbalik dan langsung menubruk d**a bidangnya.
"Kak Zio, hahahahaaa!"
Zio mencubit hidung Raya dengan gemas. "Aku nggak bisa, Raya." "Nggak bisa apa?" tanya Raya disela-sela tawanya.
"Aku nggak bisa liat kamu ketawa, tersenyum kayak gini. Aku nggak tahan, bawaannya pengen peluk sama cium terus," ujar Zio dengan suara merengek seperti anak kecil.
Wajah Raya bersemu. Gadis itu memeluk Zio, menenggelamkam wajahnya di d**a bidang kekasihnya itu. "Kak Zio bisa aja."
"Hari mingguannya di apartemenku yuk," ajak Zio.
Raya menggeleng. "Sayang tau Kak, udah beli tiketnya. Kita coba beberapa wahana dulu ya, nanti baru ke apartemen Kaka," ujarnya.
Zio menatapnya. "Beneran ya?"
Raya mengangguk. "Iya, nanti aku masakin deh."
"Oke setuju." Zio tersenyum. "Mau naik apa?"
"Turangga-Rangga," ucapnya dengan antusias.
Zio meraih tangannya dan menggenggamnya, kemudian pria itu menariknya menuju wahana yang disebutkan Raya. Gadis itu terlihat bahagia, dilihat dari senyumnya yang terus terbentuk di wajahnya. Menambah kecantikan Raya berkali-kali lipat.
Mereka menaiki Turangga-Rangga selama beberapa putaran dan mereka duduk di kuda yang berdampingan.
"Kakak suka makanan apa?"
"Apa aja asal kamu yang masak."
"Ih, aku serius, Kak." Raya mengerucutkan bibirnya.
Zio terkekeh geli. "Aku suka apa pun yang berbahan daging. Steak, sate, rendang juga suka."
"Nanti aku coba masak deh, liat resepnya di internet. Bahannya ada, ‘kan?"
"Kita bisa beli dulu sepulang dari sini," ucap Zio.
Raya mengangguk. Setelah selesai menaiki turangga-rangga, Zio dan Raya kini beralih ke wahana kora-kora. Awalnya Raya ingin naik halilintar atau tornado, namun Zio melarangnya dan lebih menyarankan kora-kora saja.
Mereka berpegangan tangan ketika kora-kora siap mengayun dan Raya langsung menjerit senang. Zio hanya memperhatikannya dari samping. Hatinya menghangat melihat Raya sebahagia ini. Zio berharap, selamanya ia akan melihat Raya tersenyum dan tertawa bahagia seperti itu, dan tentunya ialah yang menjadi penyebab dari sumber kebahagiaan Raya.
"Tadi seru banget, aduh!" pekik Raya ketika mereka sudah turun dari Kora-Kora.
Zio tersenyum. "Lain kali kita naik lagi."
Raya tersenyum dan mengangguk dengan semangat. "Sekarang kemana lagi?"
Zio menunjuk ke depan.
"Bianglala?" tanya Raya.
Zio mengangguk lalu menarik Raya menuju antrian bianglala. Antrian lumayan panjang, membuat mereka harus menunggu sedikit lebih lama.
Zio menaruh telapak tangannya di atas kepala Raya, menghalangi sinar matahari yang menyorot ke wajah gadis itu agar Raya tidak kepanasan.
Beberapa saat menunggu, kini Raya dan Zio berhasil memasuki salah satu keranjang bianglala tersebut.
Raya tersenyum begitu Bianglala itu mulai berputar. "Ih, semuanya keliatan," ucap Raya antusias.
Zio merangkul bahu Raya. "Itu apartemenku, kamu masih ingat?" Zio menunjuk salah satu gedung pencakar langit di depan sana.
"Oh ya?" Raya tampak terkejut.
Pria itu menarik Raya agar lebih dekat dengannya. "Nanti aku akan ngajak kamu naik Singapore Flyer."
Raya menoleh. "Bianglala tertinggi itu?"
Zio menoleh. "Mungkin bulan depan aku ada perjalanan dinas ke Singapura, kamu ikut ya?"
"Nggak mungkin lah, Kak, itu kan kerjaan Kakak masa aku ikut," ucap Raya.
"Kamu harus ikut," ucap Zio dengan suara lirih.
Raya menatapnya. "Aku nggak tau, gimana nanti bilangnya sama Ibu."
Zio mengecup bibirnya sekilas. "Kita pikirkan nanti," ucapnya lalu kembali mencium bibir
Raya.
Melumatnya dengan lembut sambil menutup mata, mengabaikan beberapa kemungkinan
yang akan terjadi.
Seperti orang-orang akan melihat mereka atau bianglala yang harus berhenti. Ciuman Zio yang masih terasa lembut seperti yang pertama membuat Raya serasa terbang
tanpa bianglala.
***