Kembali ke pertanyaan Emi perihal pil KB.
April memerintah asisten rumah tangganya untuk mengambil obat tersebut di laci meja kerjanya. Wanita yang masih cantik di usianya itu selalu siap sedia karena dia juga tidak mengijinkan anak-anak asuhnya kebobolan sampai hamil.
"Ini, Nyonya." Seorang asisten rumah tangga memberikan obat yang April perintahkan.
"Terimakasih, Li," balas April ramah. Wanita itu memang selalu ramah pada siapa saja.
"Sama-sama, Nya." Gadis belia yang memilih menjadi asisten rumah tangga itu mengangguk dan langsung pergi dari sana.
"Ini, minum dua sekaligus." April bukan hanya menyerahkan obat itu tapi dia juga mengeluarkan pil itu dua dan meminta Emi meminumnya di depan mata kepalanya sendiri. Jujur saat ini April takut kalau anak asuhnya hamil. Emi anak asuhnya yang baru, masa baru datang langsung hamil? Gak lucu kan!
Emi menurut, dua meminum pil kecil berwarna putih itu langsung dalam satu kali teguk. Meski polos dari kampung tapi dia cukup pintar untuk hal satu ini. Karena teman seusianya mayoritas sudah berumah tangga dan menikah, obrolan disaat mereka bertemu tidak jauh-jauh dari urusan rumah tangga termasuk berhubungan badan dan alat kontrasepsi seperti KB.
"Pintar," puji April seraya mengusap kepala Emi.
Setelah itu April beranjak, "Sekarang kamu istirahat ya, besok malam ada tampil lagi kan?"
Kepala Emi menggeleng, "Gak, Tante. Kata om Wawan lusa baru aku tampil lagi."
"Ooo, seperti itu. Ya sudah kalau begitu. Kamu bisa istirahat dan bebas besok. Mau ke Mall shopping gak apa-apa, pergilah biar pikiran kamu fresh," usul April.
Emi mengangguk setuju dengan ide April, dia merasa butuh udara segar dan cuci mata. Uangnya lebih dari cukup setelah dia tabung dan kirim untuk orangtuanya di kampung, masih ada sisa sedikit untuk dia hanya sekedar ngopi-ngopi cantik di Mall sambil cuci mata lihat barang cuci gudang yang murah meriah, pikir Emi.
***
Emi melangkah dengan penuh percaya diri memasuki mall terbesar di ibukota itu, senyumnya merekah indah sambil tangannya menggenggam tali tas kecilnya dengan erat. Rasanya seperti mimpi akhirnya dia bisa menginjakkan kaki di mall megah dan mewah yang biasanya hanya bisa dia lihat di televisi.
“Ini luar biasa!” pekiknya tertahan, mencoba untuk bersikap ‘normal’ seperti orang kaya yang lainnya.
Dengan modal uang dua digit yang ada di aplikasi m-banking-nya, Emi merasa cukup berani untuk bisa belanja sepuasnya di mall itu.
“Ya ampun, itu bagus banget!” serunya ketika melihat sebuah gaun malam yang dipajang di salah satu toko, kainnya menjuntai ke lantai namun memiliki potongan d**a rendah.
“Dadaku akan kelihatan menyembul kalau pakai baju itu, tapi bajunya memang bagus!” ujarnya terkekeh kecil lalu terlihat ragu.
Tak mau hanya melihat saja dan penasaran, Emi akhirnya melangkah masuk ke toko itu dan mulai belanja dengan kalap. Pikiran polosnya mengira jika barang-barang itu hanya berkisar ratusan ribu, dia mengambil baju mana saja yang dia suka tak lupa dengan tas dan sepatu juga.
Di tempat lain, Arron juga tengah berada di mall itu untuk suatu pekerjaan. Dia termasuk sebagai salah satu pemegang saham tertinggi di perusahaan yang membawahi beberapa mall besar di ibukota termasuk yang dia datangi saat ini bersama asistennya, Rama.
“Sesuai dengan keinginan Tuan, mereka tak bisa berkutik hanya dengan gertakan dari Anda untuk mencabut investasi di sini!” lapor Rama sambil berjalan di samping Arron dengan langkah lebarnya.
“Heum, ya. Teruskan saja sesuai prosedur, toh aku tidak akan memaksa jika mereka hendak cabut dari jajaran direksi seperti tadi!” sahut Arron seraya berjalan lurus, sikap dingin dan aura maskulinnya membuat pandangan kaum hawa berpusat ke arahnya. Wangi uang membuat indera penglihatan orang awam pun menjadi peka hanya dengan melihat perawakannya yang tegap berbalut setelan jas mahal itu.
“Ya, Tuan sudah berhasil menarik beberapa brand besar untuk memasukkan produk mereka di mall kita, orang lain belum tentu bisa melakukannya!” uji Rama, dia tak hanya membual dan menjilat Arron karena itu adalah fakta.
Arron adalah seorang CEO sekaligus ahli negosiasi yang piawai menggaet klien-klien besar untuk bisa masuk mengisi mall yang dibangunnya.
“Ya, hanya aku yang bisa melakukannya!” sahut Arron dengan nada bangga di dalam suara dinginnya.
Rama terkekeh membenarkan ucapannya.
Mereka terus berjalan menuju pintu keluar, ketika melewati sebuah toko dari salah satu brand fashion ternama, tanpa sengaja mata elang Arron menangkap sosok mungil yang ada di dalam sana. Dia pun melambatkan langkahnya, dan menatap jauh ke dalam toko untuk memastikan pandangannya.
“Ada apa, Tuan? Tokonya bermasalah? Ini salah satu toko fashion yang tempo hari pernah ditolak jajaran direksi karena mereka menilai produknya kurang berkualitas, padahal mereka lumayan kompeten dan konsisten dalam menciptakan produk baru!” celoteh Rama.
Arron yang fokus memperhatikan orang yang dilihatnya itu merasa terganggu dengan penjelasan Rama, lelaki itu menoleh dan memberinya tatapan datar.
Rama seketika merapatkan bibirnya.
“Kita bertemu di kantor 2 jam lagi!” titah Arron singkat sebelum dia melangkah memasuki toko itu.
Rama hanya mengangkat alis bengong karenanya, dia menggedikkan bahu tak mengerti dengan kelakuan bos besarnya itu lalu melengos pergi dari situ.
Arron mendekati Emi yang masih asik memilih baju yang dia suka, wanita itu tampak senang dan ceria memasukkan baju-baju itu ke dalam keranjang yang terlihat sudah penuh. Mata Arron tak menolak untuk menelusuri tubuh mungil yang padat berisi di hadapannya, bayangan permainan erotis bersama Emi malam itu masih membayangi dan membuatnya ketagihan ingin mengulanginya lagi bersama Sang Biduan.
“Sedang belanja?” sapanya.
Emi seketika melonjak kaget mendengar suara bariton yang datang dari samping, dia menoleh dan semakin terkejut ketika melihat sosok yang ‘menyiksanya’ di malam itu muncul di hadapannya. Detik itu juga dia menarik kakinya mundur menjauh dari Arron.
“Emily, itu nama kamu, ‘kan?” ucap Arron, tersenyum seraya matanya menelusuri wajah cantik Emi dan berakhir di bibir mungilnya yang ranum dan terlihat lebih seksi dengan lipstik berwarna merah muda.
“T-tuan?” cicit Emi gugup dan hanya itu yang mampu dia ucapkan saat ini.
Tak ada Wawan atau siapapun yang akan melindunginya saat ini jika saja Arron kembali memintanya untuk ikut bersamanya dan Emi tak mau itu terjadi lagi, sudah cukup dia terjebak bersama lelaki itu akibat ulah Wawan juga.
Arron melihat ke arah keranjang yang penuh oleh barang belanjaan Emi, dia tersenyum geli membayangkan nominal yang harus dibayar oleh perempuan itu di kasir nanti.
“Eh, aku permisi duluan, maaf!” pamit Emi seraya buru-buru mendorong keranjangnya pergi menuju kasir.
Arron menghela nafas melihat liukan tubuh Emi, dia mengernyit sendiri menyadari tingkahnya yang seolah berubah menjadi p****************g rendahan yang mengekori perempuan.