Emi merasa risih ketika dilihatnya Arron mengikutinya menuju kasir, dia lalu mempercepat langkahnya demi menjauh dari lelaki itu.
“Mau ngapain, sih!” gerutunya.
Emi tiba di meja kasir yang beruntungnya sedang lengang, dia mendapat antrian pertama ketika pindah ke kasir sebelah. Mata karyawan toko yang bertugas sebagai kasir itu membola manakala melihat banyaknya barang yang di bawa Emi.
“Eh, apa masih ada yang lain, Nona?” tanyanya seraya mulai men-scan setiap price tag yang ada di baju-baju itu dengan semangat.
Emi yang kurang fokus hanya menggeleng sambil sesekali melirik ke arah Arron yang berdiri tak jauh darinya, dia menoleh ke arah lain karena mendengar bisikan dari para wanita yang juga sedang mengantri belanja di kasir sebelah.
“Wow, lihat dia! Ganteng dan sepertinya tajir, Gila!”
“Pasti lah! Lo nggak lihat jam tangan dan setelan jas Brioni yang dia pake?”
“Fix dia itu orang kaya, sih!”
“Lagi apa dia? Nganter bininya? Yang mana?”
Emi berdecih sinis mendengarnya, risih sekaligus kesal mendengar bisikan genit para tante kaya yang ada di sebelah sana. Tapi kemudian dia terpaku ketika merasakan punggungnya menghangat, dia hendak menoleh ketika merasakan usapan lembut di bahunya. Sontak saja seluruh tubuhnya terasa merinding.
“Sudah beres belanjanya, Sayang?” Suara rendah dan lembut milik Arron menyapa telinganya dengan begitu mesra.
Emi merasa gugup sekaligus bingung karenanya.
“Eh, Tuan–”
“Berapa semuanya?” tanya Arron pada kasir.
Emi yang sejak tadi kurang memperhatikan juga ikut penasaran berapa banyak uang yang akan dia keluarkan untuk semua barang-barang itu. Dia masih percaya diri dan yakin akan bisa membayar semuanya dengan banyaknya uang yang dia punya.
“Semuanya 173 juta, Tuan!”
“APA?!” pekik Emi kaget, matanya hampir keluar begitu mendengar totalan belanjaannya.
Tak hanya dia, bahkan para pembeli lain juga ikutan kaget mendengarnya. Mereka langsung menatap iri pada Emi yang berdiri bersama Arron.
Arron tertawa dalam hati melihat wajah pucat Emi, dia yakin jika perempuan itu hanya memiliki uang pemberiannya saja di malam itu. Apalagi dia tahu jika Emi masih lah polos dan segar dari desa, terbukti dengan segel keperawanannya yang dia lepas di malam itu, dan dia ingin mengulanginya lagi.
“Eh, apa nggak salah totalannya?” tanya Emi mencicit bak tikus yang terjebak perangkap.
Kasir itu mengerjap, sekali lagi memeriksa jumlah barang yang ada dengan struk yang baru saja dia buat, mengira jika Emi marah karena barangnya tertinggal.
“Semuanya sudah masuk, Nona. Apa masih ada yang lain?” jawabannya seraya lanjut bertanya lagi.
Emi total pucat pasti, bagaimana dia bisa membayar semua barang itu dengan semua uang yang dia punya. Dia sama sekali tak mengira jika barang-barang itu sungguh memiliki harga selangit.
“Sayang, sudah kubilang kalau belanja jangan ragu-ragu!”
Mata Emi membulat ketika melihat uluran tangan Arron melewati bahunya, lelaki itu meletakkan sebuah kartu hitam di meja kasir. Perempuan itu tak paham dengan semua benda pricey yang ada di sekitarnya termasuk kartu unlimited yang dimiliki Arron, hanya saja desahan kagum dari orang di sebelahnya cukup menjelaskan jika Arron termasuk orang super kaya.
“Eh, itu–”
“Kalau sudah selesai belanjanya, kita pergi makan malam, bagaimana?” tanya Arron seraya merangkul bahu Emi.
Emi masih terkesima dengan gadis penjaga kasir yang sibuk membungkus semua barang yang dibawanya tadi dengan tas belanjaan yang keren, menandakan jika semua itu sudah dibayar lunas oleh Arron. Dia tak percaya ada orang yang bisa mengeluarkan uang segitu banyaknya dengan mudah tanpa berpikir dulu.
“Tapi itu–”
“Sudah lama kita tidak menghabiskan malam berdua karena aku baru pulang dari Prancis, jadi kamu tidak bisa menolak semua hadiah itu, Sayang!”
Emi meringis pelan merasakan remasan tangan Arron di bahunya, jelas lelaki itu menghendaki Emi untuk pergi bersamanya lagi dan tak menerima penolakan. Emi pun tak berdaya dibuatnya, perempuan itu mengangguk menjawab ajakan Arron.
Arron pun tersenyum lebar melihatnya, dia lalu memerintahkan karyawan toko untuk membawakan semua barang belanjaan Emi menuju ke parkiran dimana mobilnya berada. Dengan diiringi tatapan iri dari orang-orang, Emi pasrah mengikuti Arron yang memegang tangannya dengan erat.
“Om Wawan bisa marah kalau saya pergi nggak bilang dulu ke dia, lagipula saya lagi nggak manggung, jadi Tuan nggak bisa membawa saya seenaknya!” ucap Emi ketika mereka sampai di depan mobil MPV milik Arron, sementara barang-barang milik Emi masuk ke mobil lain.
Arron termangu mendengar ucapan Emi, tampak berpikir sejenak sampai Emi mengira jika lelaki itu akan berubah pikiran dan tidak jadi membawanya. Hanya saja kemudian Arron terlihat menelepon seseorang lalu menyerahkan ponselnya yang masih dalam keadaan tersambung pada Emi.
“Apa ini?” tanya Emi tak mengerti.
Namun telinganya mendengar suara kecil dari ponsel itu yang memanggil namanya, Emi melihat layar lalu terbelalak ketika melihat nama Wawan di sana.
“Om?” panggilnya dengan nada panik, tangannya menggenggam ponsel Arron dengan erat.
“Emi, kamu temani Tuan Arron lagi, ya. Malam ini kamu nggak usah manggung dulu, ikut saja sama dia!”
Emi yang tadinya hendak mengadu meminta bantuan, tercengang dibuatnya begitu mendengar perintah Wawan, seketika matanya memanas dengan air mata yang sebentar lagi tumpah.
“Tapi Om–”
“Dia sudah membayar komisi dan bonus buat kamu, Em, jadi jangan nolak! April juga sudah tahu jadi kamu bisa santai sama dia!” potong Wawan dengan suara menggeram, terdengar enggan mendengar rengekan Emi.
Emi mengeratkan giginya, jelas ini memang jebakan kedua baginya. Dia menyesal setengah mati karena sudah datang ke mall dan dengan bodohnya belanja tanpa melihat harga.
“Om, Emi ke sini bukan untuk kerja kayak gini–”
“Dia sudah membayar kamu dengan uang yang sangat banyak, kamu mau nanti kita diminta mengembalikan semuanya dan yang paling parah kamu nggak akan bisa tampil manggung lagi di manapun. Ingat cita-cita kamu!”
Emi menangis lirih. Wawan menekannya dengan alasan cita-citanya yang ingin menjadi diva dangdut terkenal di ibukota dan membawa kesuksesan untuk keluarganya di kampung. Tapi dia tak mengira jika ternyata jalannya akan begini.
“Sudah, ya. Jangan buat dia kecewa, Em!” pungkas Wawan mengakhiri percakapan singkat itu tanpa pamit.
Emi berdiri membeku di tempatnya, dia terisak lirih ketika Arron meminta ponselnya kembali lalu membimbingnya masuk ke mobil. Dia yakin jika lelaki itu melihat air matanya namun sepertinya tak peduli sama sekali, senyum di wajahnya membuat Emi benci dan muak.
“Kemari, aku masih belum puas menikmati setiap inci tubuhmu ini, Emily!” ucap Arron seraya menarik Emi untuk di pangkuannya.
Emi memejamkan mata ketika Arron mulai menyerangnya dengan ciuman panas dan mendesaknya di kursi mobil.