Hijrah keKota Besar.

1121 Kata
Menjadi Diva adalah impian terbesar Emi Wulandari, dari layar televisi rumahnya dia selalu kagum akan sosok Diva Internasional yang sukses di dunia keartisan. Hobi menyanyi Emi sudah menghasilkan, hanya saja di kampung mau sekeras apapun dia melantunkan suaranya dari panggung ke panggung tidak akan membuatnya terkenal dan sesukses Diva idolanya. Hingga akhirnya Emi memutuskan merantau ke Ibu Kota meninggalkan keluarganya yang tidak pernah mendukungnya. (Flashback On) "Bu, aku pergi dulu," pamit Emi. Anak ke empat dari tujuh bersaudara membuat status Emi terkadang merasa bukan anak kandung kedua orang tuanya. Bahkan saat ini dia sedang berpamitan hendak merantau, ibu dan ayahnya seakan masabodoh. Emi menadahkan tangannya pada sang ibu. Safitri menghela napas kemudian memberikan tangannya untuk di salam dengan takjim oleh sang putri. Hati kecil seorang ibu tetap mendoakan putrinya meski bertentangan dengan pikirannya. Layaknya orang kampung, Safitri merasa pekerjaan putrinya itu tidak baik, sejak Emi menjadi biduan dari kampung ke kampung keluarganya selalu mendapat cibiran dari tetangga. Seorang biduan selalu di pandang negatif bukan? "Hati-hati di jalan, jangan lupa kasih kabar, ibu selalu doakan yang terbaik untuk kamu." Emi menatap mata Safitri setelah dia mencium tangannya, kalimat barusan membawa kelegaan hatinya. Sebuah restu dari sang ibu, itu yang dia butuhkan saat ini. Emi memeluk Safitri dengan erat. "Terimakasih, Bu." Hanya itu yang bisa Emi ucapkan karena suaranya sendiri tercekat di tenggorokannya. Matanya memanas. Kemudian gadis cantik itu beralih pada ayahnya yang sedang menyeruput kopi dan tangan yang hendak mengambil sepotong singkong rebus itu langsung Emi sambar untuk dia salim, sontak membuat Ijul sang ayah tersentak. "Doain Emi sukses di Kota ya, Yah," pamitnya. "Heum. Jaga diri baik-baik. Jangan pulang kalau belum sukses!" pesan sang ayah dengan sedikit tekanan sindiran. Emi mengulum senyumnya, apapun kalimat yang keluar dari mulut sang ayah dia anggap suatu tantangan tersendiri. Begitulah kedua orangtuanya mendidik anak-anaknya. Ketiga kakaknya Emi sudah berumahtangga dan tinggal di luar kampung, tinggalah ketiga adiknya. Satu persatu memeluk Emi. Kakak keempat mereka kini juga harus keluar rumah untuk merintis kariernya sebagai penyanyi. Ketiga adiknya yang masih sekolah pun sedih. "Mbak Emi, sering-sering kasih kabar ya sama Ayu," pinta adik bungsunya sambil sesegukan. Adik bontot kesayangan Emi itu terus memeluk dengan erat. Di usapnya kepala sang adik. "Ayu yang rajin ya sekolahnya, yang pinter," pesan Emi untuk sang adik. "Kalian berdua jaga ibu dan ayah," tambahnya berpesan pada dua adik laki-lakinya. Keduanya bersamaan mengangguk. Di ambang pintu Wawan sudah menunggu melihat ke dalam seperti nonton sinetron. Sebuah keluarga yang sedang saling berpelukan melepas kepergian anaknya yang akan merantau ke kota besar. "Yuk, tar keburu macet di jalan," ajak Wawan memecah suasana yang penuh haru. Wawan adalah pemilik orkestra kampung yang mengiringi para biduan berdendang di panggung. Dia melihat bakat Emi dan mengajak gadis muda itu ikutnya ke Kota untuk merealisasikan cita-cita Sang Biduan. *** "Om, nanti saya tinggal dimana?" tanya Emi di dalam mobil saat dalam perjalanan ke Kota. "Ada tempat tinggal khusus, Em. Kamu tenang aja, kamu dapat kamar sendiri. Di sana juga banyak penyanyi yang baru merintis kaya kamu, nanti kamu banyak temannya pokoknya," jawab Wawan menjelaskan. "Oh iya, kamu kayanya harus ganti nama beken deh!" tambah Wawan berseru. Emi tidak menjawab karena fokus pada pemandangan luar yang perlahan berubah dari persawahan ke bangunan yang menjulang tinggi. *** Sesampainya di sebuah rumah tempat bernaung para pencari cuan. Wawan mengajak Emi masuk dan memperkenalkan pada seorang wanita cantik dan seksi. "Asik Om Wawan bawa barang baru," seru April, tanpa ragu dia memeluk Wawan dan memberi ciuman di pipi kiri dan kanan pria itu. "Em, kenalin ini Tante April, dia pemilik rumah ini jadi kalau kamu ada perlu sama dia langsung ya," ucap Wawan memperkenalkan Emi sama April. Keduanya bersalaman. "Cantik, suaranya bagus pasti cepet naik daun," puji April. "Tante di sini akan make over kamu, Sayang," tambahnya sambil menjawil dagu Emi. "Jangan terlalu menor dan seksi, Ril. Dia hanya biduan!" pinta Wawan. "Ck! Kamu tahu apa soal penampilan, Wan. Tenang aja sih, serahkan semuanya sama saya. Siapa tahu ada tamu VVIP yang naksir dia di sana," sahut April dengan mata menggerling nakal. Mata Wawan membola, sementara Emi bingung dengan percakapan dua orang dewasa itu. April mengajak Emi ke lantai atas rumah besar tersebut, rentetan kamar dengan pintu besar dan kokoh terlihat begitu spesial. Ceklek! April membuka pintu terakhir dari deretan beberapa pintu yang mereka lewati tadi. Kedua mata Emi membola saat pintu itu terbuka, semua kamar yang begitu indah. Seperti kamar seorang putri dari kahyangan, itu yang terbayang di pikiran gadis kampung itu. "Ini kamar kamu, Sayang," ucap April sembari masuk lebih dalam ke tengah kamar. "Tempat tidur, TV, AC, Kulkas Mini, Lemari pakaian." April menunjuk setiap benda yang dia sebutkan sebagai fasilitas kamar tersebut. "Oh iya, kamar mandi di sini," lanjutnya seraya berjalan menuju sebuah pintu kecil dan membukanya. Mata Emi kembali membola, kamar mandi yang baru juga dia lihat, bathtub, shower, washtafel, toilet duduk dan kaca besar, kamar mandi dua kali luas dari kamarnya yang di kampung. April tersenyum puas melihat reaksi kekaguman dari wajah Emi. "Dan satu lagi. Ada Wi-fi jadi kamu bebas internetan, latihan vocal secara online, nonton dan lain-lain," tambahnya. Emi mengangguk-angguk dengan mata berbinar. *** Hanya beristirahat sebentar di kamar yang baru dia masuki, Emi harus pergi lagi karena Wawan sudah mengajaknya. Emi tidak tahu akan di bawa Wawan kemana, masih baru di Kota sebesar ini membuatnya hanya bisa patuh pada Sang Manager. Sejak sore Emi sudah di siapkan sedemikian sempurnanya agar layak tampil di panggung yang ada di sebuah klub malam yang saat ini sedang mereka tuju. "Di sana banyak acara, tapi kamu hanya nyanyi satu lagu. Kalau ada yang sawer ambil aja, itu hak kamu," ucap Wawan sambil memarkir mobilnya di sebuah Hotel mewah. Kawasan yang terkenal dengan hotel dan klub malam sekaligus pelayanan plus-plusnya. Wawan mengajak Emi masuk ke sebuah hotel dan langsung menuju lantai khusus klub. Di depan pintu tampak 2 orang penjaga berseragam hitam. Tugasnya memastikan mereka berdua tidak bawa senjata dan alat perekam. Wawan juga memiliki kartu akses sebagai tanda pengenalnya langsung dapat lewat tapi tidak dengan Emi yang sempat tertahan oleh tangan kekar itu. "Dia bersama saya, dia baru soalnya jadi belum ada kartu," ucap Wawan saat dua penjaga itu menatap Emi penuh curiga. Mendengar penjelasan Wawan barulah dua pria bertubuh seperti olahragawan itu memberi jalan. Hentakan musik DJ makin berasa ketika masuk ke dalam menuju belakang panggung meski belum banyak pengunjung karena masih terbilang masih 'sore' di sana. Klub itu semakin malam semakin ramai pengunjungnya. Emi yang masih sangat cupu dengan dunia malam di Kota besar ini dibuatnya tercengang. Ruangan itu sangat besar. Terdapat panggung utama di depan dengan beberapa penari seksi yang masih terbalut kimono, kalau kata Wawan mereka akan mengisi acara juga sebagai penari striptis. Emi menelan salivanya kasar, dalam hatinya beruntung dia hanya biduan. (Flashback Off)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN