Emi menatap ngeri pada para pengunjung yang terlihat menyeramkan, dia tak bisa membayangkan akan ditawar dan di booking oleh orang-orang berwajah garang itu demi apapun juga.
“Lebih baik aku mati daripada harus jadi p*****r lagi!” tekadnya.
“Sst! Emi!”
Emi menoleh mendengar bisikan dari arah samping panggung, dilihatnya April melotot ke arahnya sambil berkacak pinggang.
“Ngapain bengong? Nyanyi!” hardik April dengan menekan suaranya, giginya menggertak gemas melihat gadis andalannya malah diam saja.
Emi mengerjap, dia lalu mengalihkan pandangannya lagi ke para pengunjung yang terdiam menunggunya.
“Oke, musik!” serunya.
Sontak saja semua bertepuk tangan riuh, tak sabar ingin segera mendengar suara merdu Emi. Tapi di sisi lain, banyak juga yang hanya menunggu akhir lagi itu untuk segera menawar Emi secepatnya. Tak sabar ingin segera menghabiskan malam dengan Sang Biduan cantik yang menjadi primadona baru itu.
April tersenyum lebar begitu Emi mulai menyanyi, dia juga mengakui jika suara gadis itu memang merdu dan mengalun membelai telinga orang yang mendengarnya.
“Sedikit lagi saja, jika dia ketemu sama produser kaya yang mau mengorbitkannya, sudah pasti dia akan jadi penyanyi terkenal dan menjadi diva dangdut!” gumamnya.
Tapi sekarang ini, April berpikir dia harus memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup uang sebanyak-banyaknya dari hasil menjual tubuh Emi. Sebelum masa berbunga gadis itu habis, dia harus jadi orang kaya lebih dari ini.
Emi menyanyi dengan penuh penghayatan, dia tak pernah melakukan hal yang sangat dia cintai itu dengan hanya setengah hati. Lagu yang dia nyanyikan saat ini adalah Kejora dari salah satu penyanyi kesayangannya.
Suaranya yang mendayu-dayu membuai setiap orang sehingga mereka terdiam menikmati kata demi kata, bahkan ada yang tanpa sadar menitikkan air mata.
“Bayangkan bagaimana merdunya dia ketika mendesah di bawahmu,” celetuk seorang laki-laki yang asik mengisap selagi memandang penampilan Emi di panggung.
Beberapa orang yang tengah khusyuk menikmati suara Emi seketika menoleh sambil tertawa, perasaan tulus yang sempat menghinggapi pun kembali tergantikan niat binal untuk mencari kepuasan birahi dari tempat ini.
“Sialan! Aku jadi nggak sabar!” tukas salah satu dari mereka disambut derai tawa yang lain.
“Nggak semua orang bisa mendapatkan Emily, aku dengar dia hanya bisa dibooking dengan harga 10 kali lipat dari harga tertinggi di sini,” terang orang pemecah suasana tadi, mengerling pada beberapa orang yang mendengarkannya.
“Ya-ya, aku tau itu! Dia memang jauh dari jangkauan kaum setengah harga kayak kami!” dengus salah satunya, laki-laki dengan kemeja kerja berantakan dan rambut acak-acakan.
“Lihat tubuhnya itu, beuh … aku nggak sabar ingin menggenjotnya dengan keras sampai dia nyanyi merdu keenakan!”
“Dadanya itu, pas di tangan!”
“Pantatnya juga, enak ditampar kalau lagi nungging!”
“Pakai gaya helikopter, bisa nggak?!”
“Aku lebih suka dia atasku, goyangannya pasti lebih enak!”
“b******k! Anuku langsung ngaceng!”
Semua orang tertawa terbahak-bahak, sementara di sudut ruangan ada seorang laki-laki yang sama sekali tak terusik dengan kelakar vulgar orang-orang itu. Dia justru terlihat mengeratkan rahangnya, menatap tidak suka pada sekitarnya.
Tak rela gadis kesayangannya jadi gurauan liar para lelaki hidung belang, dia segera beranjak dari kursinya kemudian pergi dari tempat itu.
Emi yang sedang bernyanyi pun bukannya tak mendengar semua itu, dia marah dan merasa rendah karena jadi bahan fantasi liar orang-orang mabuk itu. Sebisa mungkin dia menahan air matanya, jangan sampai dia merusak penampilannya dengan tangisan.
Maka begitu dia selesai, Emi segera pamit turun dari panggung dan secepatnya pergi ke belakang. Tapi April tentu tak bisa membiarkan dia lolos begitu saja, dia memerintahkan Wawan untuk membawa Emi ke ruangannya dengan paksa.
“Lepas! Aku nggak mau, Om!” pekiknya berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan Wawan yang memeganginya.
Wawan menyentaknya dengan kasar sampai Emi hampir terjerembab terantuk karpet.
“Kamu itu masih punya banyak utang sama kami, Emi. Aku kirim semua uang hasil kerja kamu kemarin sama orang tua kamu di kampung sana, jadi kamu belum memberikan uang jasa sedikitpun padaku!” bentak Wawan.
Emi tau itu bohong, dia menggeleng dengan air mata meleleh di pipinya.
“Nggak! Om bohong! Uang hasil kemarin saja banyak banget, Mbak April bahkan mengambil semua uang hasil kerjaku sendiri,” ucapnya terisak menahan amarah.
“Uang hasil aku menjual keperawanan aku!” teriak Emi marah.
Wawan semakin berang mendengarnya.
“Itu belum seberapa, Em. Kamu pikir bagaimana perjuangan setiap penyanyi dangdut ibukota yang saat ini di puncak ketenaran, mereka juga berkorban banyak demi cita-cita mereka jadi diva dangdut terkenal!” kata Wawan kesal.
“Tapi nggak begini, aku yakin mereka nggak harus tidur dengan sembarangan laki-laki. Ini nggak seperti yang Om janjikan di kampung!” teriak Emi lagi dengan air mata berderai.
Wawan tak mau membuat April marah karena menunggu lama, maka dia segera menyeret Emi lebih keras dan membawanya ke ruangan mucikari itu.
“April–sial!” umpat Wawan seraya memalingkan wajahnya.
Emi dibuat ternganga ketika mereka tiba di ruangan April.
Wanita itu tengah berbaring di atas meja kerjanya dengan kedua kaki terbuka lebar. Seorang pria tampan bertubuh atletis tampak asyik menjilati bagian tubuh wanita itu dengan penuh nafsu, membuat April tak malu-malu mendesah dan mengerang keras penuh kenikmatan merasakan permainan lidah laki-laki muda itu.
“Ouhh … fuuckk … lebih dalam, pakai lidahmu, Bodoh! Oh yeahh … begitu!” racau April, tangannya sibuk menjambak rambut gigolo-nya, menekan kepala lelaki itu untuk terbenam lebih dalam di antara selangkangannya.
Emi ingin keluar dari sana namun Wawan menahannya, yang bisa dia lakukan hanya memejamkan mata, risih mendengar desahan dan kata-kata vulgar yang keluar dari bibir April.
“Ohh … Emi … tunggu sebentar, Sayangku. Akuuhhh. … belum selesai, ouhhh ….“
April menjerit keenakan ketika laki-laki bayarannya mengentak pinggulnya, memasukkan kejantanannya ke dalam lubang surga miliknya. Wanita itu mendongak selagi tubuhnya menungging membelakangi laki-laki itu, yang terus menghentak pinggulnya.
Wawan tak tahan lagi, dia mulai ereksi melihat pemandangan erotis seperti itu. Dia mengumpat sambil berlalu pergi dari ruangan itu, meninggalkan Emi sendirian.
“Ouh, ahh .. ohh … lebih keras, Baby …lebih dalammmh …!“
Emi hanya bisa berdiri merapat ke pintu, membelakangi ruangan. Tubuhnya lemas dan kakinya gemetar, tak urung adegan panas dan teriakan erotis April membuat gairahnya terusik.
“Ohhh … kamu luar biasa, Dani. Kamu layak mendapat uang banyak dariku!” kekeh April, dia tertawa kecil ketika Dani mencium bibirnya lalu mengisap dadanya sebentar sebelum pergi.
Emi yang masih bertahan di depan pintu, terkejut ketika tangannya disentuh.
“Permisi, aku mau keluar!” ucap Dani tersenyum manis ketika Emi membuka mata dan menatapnya.
Sejurus mata Emi hinggap pada d**a Dani, yang mana lelaki itu masih bertelanjang d**a. Dia menenteng bajunya dan hanya mengenakan celana pendek menutupi bagian penting tubuhnya.