Emi memalingkan wajahnya ketika Dani mendekat, gadis itu menahan nafas begitu hidungnya mencium aroma asing yang dalam keadaan normal justru membuatnya mual.
“Apa perlu aku menggendongmu untuk bergeser dari pintu, Emi?” kata Dani tersenyum nakal.
Emi secepatnya bergeser sebelum Dani benar-benar melakukan ucapannya, padahal lelaki itu hanya menggodanya saja.
“Dani, jangan ganggu anak emasku. Kamu terlalu murahan untuk bisa tidur dengan Emily!” tegur April yang masih dalam keadaan telanjang bulat di atas kasur.
Dani terkekeh seraya mengerling pada April, tanpa bicara lagi dia membuka pintu lalu keluar dari sana.
“Emi, kemari!” panggil April.
Emi menoleh perlahan, dia merasa risih melihat April yang masih saja belum berpakaian.
“Mbak pakai baju saja dulu!” katanya enggan melihat ke arah April.
April terkekeh geli melihatnya.
“Oke, sebentar, ya!” sahutnya seraya beranjak bangun menuju lemari untuk mengambil sehelai baju tidur dari dalam sana.
“Ke sini, Sayang. Aku sudah pakai baju, kok!” ujar April terkikik geli.
Emi dengan ragu menoleh, dan memang benar jika April sudah memakai baju. Hanya saja itu tak jauh berbeda dengan tadi, karena yang dipakainya adalah pakaian tidur tipis yang menerawang, memperlihatkan kemolekan tubuhnya dari balik kain yang menurut Emi pantas jadi tirai vitras gorden rumah.
“Ada apa, Mbak?” tanya Emi seraya duduk di sofa tak jauh dari tempat tidur.
April menopang kaki sambil menikmati segelas minuman berwarna kuning keemasan di gelas kristalnya, mengingatkan Emi pada minuman yang diberikan Arron.
“Mau?”
Emi mengerjap ketika tiba-tiba saja gelas kristal itu ada di depan wajahnya, April tersenyum menawarinya minuman keras itu.
“Nggak, aku nggak–”
“Ambil lalu coba dulu!” tukas April menyodorkan gelas itu ke tangan Emi.
Reflek Emi pun memegang gelas itu karena takut jika malah jatuh ke lantai.
“Kamu harus belajar minum, supaya nggak gampang tumbang kalau sedang menemani tamu!” kata April sambil meneguk minumannya dengan santai.
Emi memegang gelas itu erat-erat, mengingat jika peringatan April sudah sangat terlambat dia dengar. Segelas minuman itu saja sudah membuatnya lepas kendali dan menjadi binal di hadapan Arron.
“I-iya, Mbak!” sahutnya pelan.
“Tolong ambilkan tasku!” perintah April seraya menunjuk ke arah meja dimana tas mahalnya berada.
Emi menurut, dia memanfaatkan kesempatan itu untuk meletakkan gelas minumannya di meja. Dia lalu beranjak menuju meja yang ditunjuk April.
Tas kecil berwarna jingga terbuat dari kulit buaya itu begitu ringan di tangan, Emi yang awam soal barang bermerk pun paham jika tas itu pastinya sangat mahal.
“Mau tasnya?” tukas April tersenyum paham melihat Emi termangu menatapi tas kecilnya itu.
Emi segera menggeleng, dia bergegas kembali mendekat dan memberikan tas itu pada April.
“Ini!” katanya lalu kembali duduk.
April mengerling, paham arti tatapan gadis lugu itu.
“Aku bisa ngasih barang yang lebih mahal, tapi malam ini kamu harus menemani klien baru kita, Em. Dia sudah bayar penuh di awal, jadi kamu nggak bisa nolak!” tutur April yang sontak membuat Emi emosi.
“Nggak! Aku nggak mau pergi, Mbak! Aku nggak mau jadi p*****r lagi, Mbak!” teriaknya langsung menangis.
April memutar bola matanya, seolah jengah dengan penolakan Emi.
“Tapi ini duit, Em, duit! Aku menerima bayaran penuh jadi kamu nggak bisa nolak lagi!” tegasnya.
Emi menggeleng sambil terisak lirih.
“Kamu mau tetep di sini dan ditawar para hidung belang itu dengan harga murah, atau ikut aku ke rumah klien kaya yang bahkan rela membayar 150 persen dari harga tertinggi di sini?!”
Emi langsung menggeleng keras, dia tak mau jika harus melayani nafsu binatang para lelaki yang membicarakan dirinya dengan begitu vulgar dan liar. Dia malah teringat pada Arron yang memperlakukan dirinya dengan begitu lembut dan penuh puja, setiap sentuhan dan ciuman Arron begitu membekas di ingatan.
“Emily!”
Emi mengerjap kaget tersadar dari lamunannya.
“I-iya, Mbak?”
April tersenyum lebar, dia mengira jika itu adalah jawaban Emi menerima kliennya kali ini.
“Jadi, siap-siap, ya. Nanti malam aku antar kamu ke sana!” kata April seraya beranjak dari kasur lalu pergi dari ruangan itu, sebentar dia menoleh dan melempar ciuman jauh untuk Emi kemudian hilang di balik pintu.
Emi pun hanya bisa terpaku diam kemudian menangis lirih, tapi mengingat tekadnya untuk keluar dari sini membutuhkan banyak uang, dia menjadi bersemangat lagi dan memaksakan diri untuk menurut pada April.
“Ini yang terakhir, aku akan minta uang banyak dari klien lalu kabur!”
***
Malamnya, April dan Emi berangkat menuju hotel bintang lima dimana kliennya berada.
“Kamu beruntung dua kali dapat klien selalu orang kaya dan di hotel mewah begini, Em. Yang lain mana ada yang seberuntung kamu!” kata April selagi mereka berjalan memasuki lift.
Emi hanya diam, baginya tak ada sisi beruntung dari kehilangan keperawanan dengan cara seperti ini. Dirinya tak ubahnya menjadi wanita penghibur yang bisa dijajakan begitu saja.
Tak lama kemudian mereka sampai di lantai dimana klien itu berada, hanya saja lalu April tidak diperbolehkan masuk ketika mereka hendak memasuki pintu kamar.
“Lho, kenapa aku nggak boleh masuk? Aku mau nganter dia untuk Tuan Ronan!” protes April pada penjaga yang menahannya di depan pintu.
“Sudah perintah dari Tuan, Nona Emi sendiri yang diperbolehkan masuk sendirian!” kata penjaga itu lagi.
April menggeram kesal, tadinya dia ingin melihat lebih dekat pada klien itu. Tapi daripadanya nantinya jadi masalah dan dia kehilangan uang yang sudah masuk ke rekeningnya, April mengalah dan pergi dari situ.
“Mbak,” rengek Emi ketakutan.
April meletakkan telunjuknya di bibirnya sendiri, lalu berkata dengan gemas.
“Kamu mau bayar uang pinalti karena kamu nolak!?” hardik April masih berusaha untuk tidak kasar pada Emi.
Emi menggeleng sambil menghapus air matanya.
“Nggak mau, semuanya aku nggak mau gitu lagi, Mbak!” tangis Emi.
April hanya menggeleng kesal ketika Emi ditarik masuk oleh penjaga, gadis itu memberontak namun tak cukup nyali untuk berbuat lebih. Maka akhirnya dia hanya bisa terisak lirih mengikuti penjaga itu masuk ke kamar hotel.
Kamar iru sungguh mewah dengan perabotan kelas satu tertata rapi dan elegan, tapi semua itu tak lagi membuat Emi terpesona. Apa yang akan dialaminya nanti tak sebanding dengan apapun yang ada di sana, dia pun kembali menangis membayangkan siksaan yang akan dia dapatkan jika menolak melayani klien April tersebut.
“Emily.”
Tangis Emi seketika berhenti manakala mendengar suara bariton itu, perlahan dia memutar tubuh untuk melihat si pemilik suara yang dalam sekejap membuat tubuhnya gemetar.
Seorang pria muncul dari ruangan lain, berjalan tegap dengan balutan jas mahal yang terlihat pas dan menawan di tubuh tegapnya. Dia tersenyum selagi melangkah mendekati Emi, tangannya terulur meraih kepala Emi lalu menarik gadis itu ke dalam pelukannya.
“Akhirnya aku berhasil membawamu lagi untuk bersamaku malam ini!” ucapnya seraya mencium kening Emi.