April dengan santai tersenyum pada Emi, sama sekali tak merasa terganggu atau risih karena Emi melihatnya tengah b******u dengan Arron. Sudah menjadi hal biasa jika dia selaku mucikari memberikan layanan gratis pada setiap laki-laki hidung belang yang menjadi pelanggan setianya. Uang yang dia dapatkan dari hasil mejajakan anak buahnya lebih dari cukup untuk menunjang gaya hidupnya yang hedon, jadi sedikit membuka selangkangannya pada para laki-laki kaya itu layaknya bonus bagi mereka.
Juga, siapa yang bisa menolak wanita cantik dan montok seperti April. Karena meski usianya sudah tak muda lagi, dia pintar menjaga tubuh dan merawat wajahnya, tak ubahnya seperti gadis usia 20 tahunan yang masih segar.
“Kamu betah banget di sini, Em. Sudah dapat berapa ronde semalam?” ujar April seraya terkekeh.
Emi justru semakin marah mendengarnya, sudah jelas jika April dan Wawan memang terbiasa melakukan bisnis lendir dengan menjebak para gadis lugu seperti dirinya.
“Silahkan lanjutkan, karena aku mau pulang!” tukas Emi membuang muka ketika Arron menatapnya, laki-laki itu mengeratkan rahangnya dengan wajah tidak senang dengan sikap Emi.
April lalu beranjak bangun dari pangkuan Arron, tak peduli jika baju bagian depannya terbuka lebar, menampilkan buah dadanya yang montok menggelayut begitu saja dengan seronok.
“Kamu mau pulang? Tadinya aku ke sini mau ngajak kamu main bareng sama Tuan Arron, ‘kan asik kita bercinta bertiga!” katanya tersenyum lebar, seolah hal itu biasa saja.
Emi terbelalak mendengarnya, membayangkannya saja dia sudah merasa jijik, itu sungguh melewati batas norma dan toleransi yang dia miliki. Dia melirik pada Arron yang tampak tersenyum saja di kursinya, dan itu membuatnya semakin marah.
“Kalian gila! Binatang semua!” teriaknya histeris penuh kemarahan, disertai tangis yang kemudian pecah.
Emi berlari menuju lift sambil menangis tersedu-sedu.
“Sial!” umpat April yang hendak mengejarnya, namun dia terpaksa menunda langkah untuk merapikan bajunya.
“Biarkan saja, toh dia tidak akan bisa lari jauh!” kata Arron dengan santai, meski dalam hati dia cemas memikirkan Emi yang pergi begitu saja tanpa membawa apa-apa.
“Tapi aku punya klien lain yang harus dia layani malam nanti, jadi aku harus menyiapkan dia!” kata April sambil buru-buru menelepon Wawan yang menunggunya di bawah.
Arron berkerut dalam mendengarnya, dia mendengar April memberi perintah pada Wawan supaya menangkap Emi.
“Jangan sampai lolos atau aku minta kembali uang itu!” tukasnya setengah mengancam lalu mematikan sambungan telepon.
“Dia sudah meminta uang jatahnya duluan, dasar mata duitan!” gerutu April seraya bergegas menyambar tas kecilnya di sofa, lalu tersenyum lebar pada Arron.
“Aku pergi dulu, kalau misal kau butuh gadis untuk malam ini, telfon saja!” katanya sebentar mencium dan menjilat bibir Arron dengan gaya binal.
Arron mendengus pelan menjawabnya, dia meremas b****g April sampai perempuan itu memekik girang karenanya, lalu melempar cium jauh sambil berjalan menuju lift. Segera setelah pintu lift tertutup, raut wajah Arron berubah dingin dan kaku.
Arron beranjak dari kursi dan segera menghubungi April dengan identitas lain, untuk membooking Emi malam ini juga. Dia tak rela membayangkan tubuh indah Emily-nya dijamah dan dinikmati pria lain.
***
Emi baru saja keluar dari lift ketika seseorang langsung menarik tangannya dengan kasar, gadis itu menoleh dan terkejut karena pelakunya adalah Wawan. Tangisnya yang sempat berhenti kembali berderai semakin kencang.
“Om, aku mau pulang saja ke kampung, aku nggak mau jadi p*****r–hmph!”
Rengekannya dibungkam Wawan dengan tangan, lelaki itu segera menyeretnya pergi dari tempat itu sebelum menarik perhatian orang. Emi memberontak, Wawan baru melepaskannya ketika mereka sudah masuk ke mobil dan Wawan mengunci pintunya.
“Kamu ini mau buat aku malu, HAH!” bentak Wawan.
Emi yang baru saja hendak bicara lagi, seketika bungkam dan mengkerut takut di kursinya. Dia terisak lirih sambil membuang muka dari Wawan.
Wawan menarik nafas dalam-dalam, dia sudah tersulut emosi dan kesal karena dibentak April di telepon tadi, jadinya malah Emi yang jadi bahan pelampiasan.
“Emi, maaf. Aku hanya nggak mau kamu nanti kenapa-kenapa dan menarik perhatian orang. Bisa-bisa mereka pikir aku culik kamu!” ucapnya dengan nada lebih lembut untuk membuat Emi tenang.
“Bukannya itu memang kenyataannya? Om menjanjikan aku untuk jadi penyanyi dangdut terkenal tapi malah menjual aku jadi p*****r!” teriak Emi marah, dia memberontak dan mengamuk ketika Wawan berusaha menenangkannya.
“Lepas! Kalian semua jahat!” pekiknya memukul membabi-buta.
Wawan kewalahan, dia akhirnya terpaksa melumpuhkan Emi dengan memukulnya sampai pingsan. Emi terpelanting di kursi jok dan langsung tak sadarkan diri. April yang datang kemudian, memekik kaget ketika melihat Emi sudah terbaring dia kursi dengan pipi merah.
“Wawan! Lo apain Emi gue?!” pekiknya tertahan, langsung masuk ke mobil untuk memeriksa keadaan anak emasnya itu.
Wawan mendengus dengan wajah merasa bersalah juga, tak urung dia juga takut jika sampai Emi kenapa-napa. Dia semakin cemas ketika dilihatnya sudut bibir Emi pecah dan berdarah.
“Sialan! Jadi orang ringan tangan begitu lo, mau duitnya aja orangnya lo kasarin!” hardik April berang sambil memangku kepala Emi di pangkuannya.
“Habisnya dia berisik, takutnya kedengaran orang, gimana?!” tukas Wawan membela diri.
April menggeram seraya mendelik kesal ke arah pria itu, dia lalu mengambil tisu untuk mengusap sudut bibir Emi. Gadis itu kemudian terbangun, dia mendesis kesakitan merasakan pipinya panas dan sudut bibirnya berdarah.
“Ah!” Emi memekik ketakutan ketika melihat Wawan yang duduk di depannya, dia lalu semakin terkejut ketika menyadari dia tidur di pangkuan April.
“Nggak apa-apa, Emi Sayang. Kamu sudah aman!” kata April berusaha menenangkan Emi.
Emi hanya diam seraya matanya melihat ke arah Wawan dengan penuh waspada.
“Dia nggak sengaja, kamu juga harusnya nurut saja daripada kena tampar lagi!” April menambahkan.
Emi menggeleng dan membuang muka, sikap manis April baginya sama saja dengan Wawan, mereka sama-sama penipu. Dia pun diam membisu tak mau bicara lagi selagi mereka dalam perjalanan kembali ke tempatnya April.
Hingga 30 menit kemudian mereka sampai di sana, Wawan memegangi lengan Emi ketika mereka turun dari mobil, seolah takut jika gadis itu akan melarikan diri.
“Cie, dipegangin! Mau kabur, ya, Neng!”
“Dia yang katanya primadona baru di sini? Cih! Buluk begitu!”
“Iri bilang! Lo juga dulu gitu waktu pertama kali datang kemari, udik!”
“Dih! Jangan samain gue sama dia, lah! Seenggaknya gue paham mana yang ngasih duit banyak mana yang cuma modal p***s doang!”
Derai tawa para gadis penghuni tempat itu membuat Emi muak, dia menyesal dalam hati karena tidak menyadari situasi itu dengan cepat. Dia terbuai dengan janji Wawan yang berjanji akan membantunya jadi diva dangdut sukses di ibukota.