Arron dibuat bingung dengan sikap Emi yang berbanding terbalik dengan semalam, saat ini perempuan itu tampak frustasi dan menangis sesenggukan menutupi tubuhnya dengan tangan.
“Emily–”
“Namaku Emi, bukan Emily!” teriak Emi histeris, dia tak bisa lagi menahan emosi dan rasa kecewa atas semua orang yang membuatnya menjadi seperti ini.
Arron berusaha tetap tenang menghadapinya, sekarang dia sadar dan paham dengan situasi yang dialami Emi. Tentunya dia tak mau terlibat lebih jauh dengan bisnis lendir yang selama ini menjadi tempat bermainnya, dia hanya sebagai pelanggan saja dan tak mau tahu tentang siapa wanita yang menjadi pemuas nafsunya, yang diberikan Yudha dan April padanya.
Tapi dalam kasus Emi ini, entah kenapa dia merasa iba jadinya. Apalagi ketika tahu Emi benar-benar masih perawan ketika pertama kali tidur dengannya. Emi terlalu mempesona dan memuaskan, sudah pasti dia akan jadi primadona baru di rumah bordil terselubung milik April. Gadis itu akan memiliki banyak pelanggan serta tentunya April akan memasang harga tinggi untuknya, dan jelas itu akan menguntungkan untuk mereka.
Rasanya tak rela membayangkan tubuh Emi dinikmati pria lain, maka Arron memutuskan akan melakukan sesuatu yang biasanya di luar sikap dinginnya terhadap wanita lain yang pernah menjadi teman tidurnya.
“Emi, kemarilah. Aku tidak akan melakukan apa-apa lagi sama kamu, aku janji!” katanya membujuk Emi untuk luluh dan membiarkannya mendekat.
“Nggak!” teriak Emi dengan mata berair.
“Aku tahu kamu, laki-laki kaya macam kamu nggak peduli dengan nasib gadis kampung sepertiku, kalian hanya tau kami adalah pemuas nafsu binatang kalian yang bisa diperlakukan sesuka hati!” sergah Emi menatap penuh benci pada Arron.
Arron mendesah dalam hati, sikap Emi akan jadi masalah besar baginya.
“Emi, dengar!” ucapnya seraya membungkukkan tubuhnya mendekat pada Emi, diraihnya rahang gadis itu dan menahannya ketika Emi memberontak ingin melepaskan diri.
“Lepas–!”
“Dengarkan aku dulu!” bentak Arron.
Emi terkejut, nyalinya seketika ciut dan dia bungkam dengan wajah pucat melihat tatapan dingin Arron.
Sadar sudah membuat Emi ketakutan, Arron melonggarkan cengkeramannya lalu menghela nafas panjang kemudian menatap Emi dengan tatapan lebih lembut.
“Bagaimana kamu akan melawan mereka yang berkuasa dengan keadaan kamu polos tanpa mengerti apapun di kota ini, Emily? Kamu tidak akan selamat jika melarikan diri begitu saja!” kata Arron bersungguh-sungguh.
Emi terpaku diam mendengarnya, kata-kata Arron memang masuk akal dan benar sekali.
“Jika kamu menurut padaku, maka kamu akan selamat dengan aman tanpa harus melayani laki-laki lain lagi!” kata Arron lagi.
Emi tak bisa menangkap maksud baik Arron, dia mengira jika laki-laki itu memang menginginkan dia menjadi wanita simpanannya.
“Dan menjadi gundikmu? Cuih!”
“b******k!”
PLAK!
Kepala Emi terbanting ke kiri begitu tangan besar Arron mendarat keras di pipinya, lelaki itu tersulut emosi karena Emi meludahinya barusan.
“Dasar kamu memang kampungan! Aku hanya berniat menolongmu!” geram Arron, sejurus kemudian raut wajahnya berubah menyadari perbuatannya yang lepas kendali.
“Em, aku ….“
Emi terisak-isak memegangi pipinya yang merah bekas tangan Arron, sudut bibirnya juga pecah dan melelehkan darah segar.
“Ya, Tuan, aku memang kampungan dan bodoh. Itu sebabnya begitu mudah dijebak dengan iming-iming menjadi diva dangdut yang bagi orang seperti Anda hanya mimpi murahan dan rendah!” ucap Emi lirih, air mata meleleh di pipinya.
“Kalian hanya tahu kami hanyalah sapi perah atau boneka seks yang bisa disentuh dan disetubuhi dengan sepuas hati kalian, kami ini murahan dan kemaluan kami bisa dimasuki apapun sampai kalian puas. IYA, ‘KAN!” teriak Emi di akhir kalimat.
“Tidak seperti itu, Em!” sergah Arron, meski dia suka main perempuan tapi dia bukan penganut seks bebas dan liar di luar nalar seperti itu.
“Aku berniat membantu, sungguh!” tukasnya meyakinkan Emi.
Tapi tentu saja Emi tak percaya begitu saja, dia lalu berdiri di hadapan Arron dengan tubuh polos tanpa sehelai benangpun.
“Ini yang Anda mau, iya ‘kan? Ayo lihat saja sepuasnya! Apa tubuh ini sudah memuaskan Anda, Tuan? Jika belum maka silakan pakai saya lagi!” teriak Emi seraya maju ke hadapan Arron hingga ujung dadanya hampir bersentuhan dengan hidung mancung lelaki itu.
Tapi Arron memalingkan wajahnya, dia beranjak berdiri meraih handuk lebar dari lemari lalu membalut tubuh Emi sepenuhnya. Perempuan itu terpaku karenanya.
“Sudah, sebaiknya kamu pakai baju dulu, nanti masuk angin!” katanya seraya menyentuh puncak kepala Emi sebelum akhirnya berlalu keluar dari ruangan itu.
Emi membeku di tempatnya, dia lalu melihat sebuah tas kertas di kursi kecil yang ditinggalkan Arron barusan. Kakinya tergerak untuk melangkah mendekati kursi lalu melihat isi tas itu.
“Baju?” gumamnya seraya mengangkat sebuah dress berpotongan manis sepanjang lutut, terlihat sederhana namun Emi yakin jika harganya pasti mahal.
Emi mendengus pelan, dia tak ingin tersentuh atau luluh sedikitpun dengan barang itu, tapi saat ini dia tak ada baju lagi untuk dipakai dan tak mungkin keluar hanya berbalut handuk saja.
“Aku nggak mau membuka baju di hadapan dia lagi!” tukasnya dengan tegas.
Ingin segera pergi dari situ, Emi bergegas memakai baju itu. Dia termangu heran ketika melihat ada pakaian dalam juga di dalam tas itu, dan ukurannya begitu pas sesuai dengan yang biasa dia pakai.
“Dia bahkan tau betul ukuranku, sialan!” gerutu Emi mengumpat kesal dengan wajah merah padam.
Dalam pikirannya, tentu saja Arron tau ukuran badannya karena lelaki itu seolah menjengkal setiap inci tubuhnya ketika mereka sedang bercinta. Tak ada satu senti pun yang terlewat dari cumbuannya, dan membayangkannya saja sudah membuat pintu rahimnya berdenyut hangat dan geli.
“Nggak! Aku harus secepatnya pergi dari sini!” tepisnya menggeleng keras, tak mau luluh lagi apalagi terjebak dalam sikap manis Arron.
Emi mengikat rambutnya dengan asal lalu keluar dari kamar mandi, hanya saja ketika kakinya baru saja keluar dari sana, dia dibuat tertegun dengan pemandangan yang ada di atas tempat tidur. Yang mana ada banyak hadiah berjajar memenuhi kasur dan juga lantai, terdiri dari pakaian dari brand ternama, sepatu-sepatu, dan juga perhiasan mahal. Emi mengambil selembar kartu ucapan yang ada di antaranya dan membacanya.
“Jika masih ada yang kau inginkan, katakan saja!” lafalnya membaca tulisan tangan Arron di kartu itu.
Emi merasa tersanjung dengan semua ini, tapi disisi lain sekali lagi dia tak mau luluh sedikitpun. Entah apa alasan Arron memberikan semua ini, yang jelas dia tidak mau tergoda dan kembali menjadi b***k seks pria itu.
“Aku mau pergi saja!” tukasnya.
Emi tak memperdulikan semua hadiah itu, dia lalu keluar dari kamar.
Tapi ketika dia tiba di ruang tengah, Emi terkejut karena mendapati April ada di sana bersama Arron. Wanita cantik itu tengah duduk di pangkuan Arron sambil bergelayut manja dengan baju tersingkap hingga ke paha.
“M-Mbak April!” gumamnya pelan.
April dan Arron menoleh bersamaan, Arron terlihat mengeratkan rahangnya dengan sorot mata marah ketika melihat Emi malah keluar dari kamar.