Memanas.

1086 Kata
Dua manusia itu terus saling memacu satu sama lain dengan birahi liar yang membara, kali ini mereka berpindah ke kamar dan Arron kembali menunggangi tubuh sintal Emi dari belakang. “Mmmh … terus, terus … lebih dalam lagi …,“ racau Emi yang tampak sudah hampir lemas namun masih saja meminta hentakan liar dari Arron. “Kamu memang nikmat, Emily! Milikmu sangat rapat!” geram Arron terus menggoyang pinggulnya dan memberikan hentakan keras penuh tenaga, membombardir lubang surga Emi. “Kemari!” Arron mencabut jagoannya sekaligus, dia lalu meminta Emi untuk berbaring telentang. Dengan patuhnya perempuan itu langsung mengangkat kaki dan membuka pahanya lebar-lebar, bersiap untuk dimasuki lagi. “Hm, gadis pintar!” puji Arron seraya menepuk permukaan bagian tubuh Emi yang memberikan kenikmatan luar biasa untuknya. Emi tersenyum senang mendapat pujian itu, tangannya terulur meminta Arron untuk mendekat. “Puaskan aku, Arron!” pintanya. Arron menggenggam tangan Emi lalu menekannya di atas bantal, sementara dia mengambil posisi bersiap untuk melakukan penetrasi ulang, kali ini dengan lembut dan perlahan. “Ahhh … ohhh … masukkan semuanya … mhhh!” erang Emi dengan mata terpejam, menggigit merasakan desakan lembut yang kemudian memenuhi lubang inti tubuhnya. “Tubuh kamu jadi candu bagiku, Emily, aku tidak akan mau berbagi dengan yang lain!” ucapnya seraya menggerakkan pinggulnya dengan lembut, membuat kejantanannya keluar masuk di lubang surga Emi dengan teratur. Emi tersenyum lembut, dia mengangguk lalu memejamkan mata merasakan gerakan lembut Arron. “Aku pun sama, aku hanya menginginkan kamu jadi lelakiku, Arron!” katanya. Entah dia sadar atau tidak, mengatakan semua itu pada Arron, karena saat ini dia masih dalam pengaruh alkohol dan dilanda kenikmatan luar biasa. Arron tersenyum miring, matanya memandangi tubuh mulus Emi yang saat ini bertebaran bercak merah hasil karya bibirnya. Dia lalu mengurung Emi dibawahnya, menindihnya perlahan sambil terus menggoyangkan pinggulnya. “Ahhh … ohhh … enak, Sayang … lebih … dalammmhhh!” Suara merdu Emi yang dia dengar di atas panggung memang lebih menggoda ketika berada di bawah tubuhnya, Arron semakin bersemangat memacu gairahnya seiring dengan desahan dan rintihan Emi. “Oh, ohhh … terus, Sayang, terus … lebih dalam lagi, iya … begitu, ohhh ….“ Emi meracau tak terkendali, dia juga menggoyang pinggulnya mengimbangi gerakan Arron dan itu membuat birahi mereka semakin memuncak. Arron merunduk menciumi wajah yang sudah sembab kelelahan itu, menghimpit buah d**a yang padat dn kenyal itu di antaranya. Peluh dan keringat membasahi tubuh keduanya, membasahi sprei bercampur dengan cairan birahi keduanya. “Oh, Emily … jangan lakukan itu!” geram Arron merasakan cengkraman erat di sekitar batang kejantanannya, membuatnya tak bisa lagi menahan lonjakan gairah yang semakin mendekati puncak. “Aku … aku mau keluar, ahhh …,“ erang Emi, tangannya mencakar punggung Arron seiring dengan tubuhnya yang mengejang dan bergetar mendapatkan pelepasannya. Arron pun demikian, dia meraup tubuh montok berkeringat itu rapat ke dalam pelukannya, pinggulnya menghentak beberapa kali melepaskan cairan ke rahim Emi dengan kencang. “Ohhh … Sayang … Arron …,“ “Emily … ini nikmat sekali!” Keduanya lalu terkulai lemas bersamaan, terengah memejamkan mata merasakan sisa gairah yang masih enggan untuk pergi dari pusat inti tubuh mereka berdua. Emi memeluk Arron yang terkulai di lehernya, rasa panas dan gairah yang tadi begitu menggebu-gebu kini padam setelah mendapatkan klimaksnya. Dia kelelahan dan lemas, tak sanggup lagi membuka mata karena rasa kantuk yang hebat langsung menyerangnya. “Aku sangat puas …,“ lirih Emi, dia langsung tertidur begitu saja dengan Arron yang bahkan masih ada di dalam tubuhnya. “Emily?” panggil Arron mengerutkan kening heran karena pelukan Emi melonggar. Dia mengangkat kepalanya dan melihat Emi sudah terlelap tidur dengan nafas teratur. “Astaga!” desahnya gemas. “Dia kelelahan!” ucap Arron. Dipandanginya wajah cantik yang tampak sembab itu, riasannya terhapus entah kapan oleh karena ciuman dan cumbuan mereka. Menyisakan bulu mata palsu dan bibir bengkak kemerahan akibat ciuman brutalnya. Perlahan Arron bergeser turun, melepaskan diri dari tubuh Emi. Dia mendesis pelan merasakan kejantannya yang terasa ngilu terjepit lubang surga perempuan itu, lalu terkekeh sendiri setelahnya. “Dia lucu, tapi menggoda. Aku harus bisa memiliki dia untuk diriku sendiri!” gumamnya memandangi Emi yang tertidur pulas di sampingnya, terdengar dengkur halus yang menandakan jika wanita itu benar-benar kehabisan tenaga karena melayaninya sejak tadi. “Tidurlah, aku beri kau kejutan ketika bangun nanti!” ucap Arron, sebentar dia menunduk memberikan kecupan singkat di kening Emi. Tapi sejurus kemudian dia termangu sendiri kemudian tertawa menggelengkan kepala, menyadari tindakan langka yang barusan dia lakukan. Tak semua wanita bisa mendapatkan itu, karena biasanya Arron langsung meminta mereka pergi setelah nafsunya terlampiaskan. *** Emi tidur dengan begitu pulas, akibat kelelahan ditambah pengaruh alkohol dari sampanye yang dia minum sebelum bercinta liar dengan Arron. Dia bangun keesokan harinya dengan tubuh terasa remuk di sana-sini. “Ya ampun!” Emi memekik tertahan ketika dia berkaca di kamar mandi, kulit leher dan tubuhnya penuh dengan bercak merah. Wajahnya memerah begitu mendapati bahkan bercak itu ada di bagian dalam pahanya serta di atas permukaan k*********a yang polos tanpa semak, dia menggeleng tak sanggup membayangkan bagaimana Arron melakukannya karena itu membuat miliknya kembali berdenyut geli di bawah sana. “Ini terjadi lagi, aku nggak bisa seperti ini! Aku ke sini untuk jadi penyanyi sesuai dengan cita-citaku, bukan p*****r!” tangisnya terduduk memeluk lutut di dalam bak mandi. Emi menangis sejadi-jadinya meratapi nasib sial yang menimpanya, dia sungguh menyesal menuruti ajak Wawan yang ternyata malah menjualnya sebagai wanita pemuas nafsu p****************g. “Aku mau pulang saja!” rintihnya. Dengan rasa marah dan sakit hati yang memenuhi dadanya, Emi bergegas mandi. Dia tak henti-hentinya menangis ketika menggosok tubuhnya dengan sabun, merasa jijik karena dia sudah tak suci lagi. Bagaimana dia akan menjelaskan semuanya pada orang tuanya di kampung, ayah dan ibunya pasti berbalik menyalahkannya yang tak menurut apa kata orang tua. “Apa yang bisa aku tunjukkan sebagai kebanggaan pada mereka, sementara nyatanya aku berakhir sebagai wanita penghibur seperti ini!” tangisnya terisak-isak. Dia tak bisa membuktikan jika bisa berhasil mencapai cita-citanya menjadi diva dangdut jika terus begini, satu langkah saja belum dicapai untuk menuju puncak kesuksesan dan malah berakhir hilang keperawanan di tangan laki-laki asing. Sedang Emi menangis tersedu-sedu di dalam bak mandi, tiba-tiba saja pintu bergeser dan terbuka. Arron yang muncul kemudian, langsung terkejut melihat Emi sedang menangis tanpa selembar kain pun menutupi tubuhnya. “Emily!” serunya seraya mendekat duduk di tepian bak mandi, tangannya terulur hendak menyentuh kepala Emi namun detik itu juga dia tersentak karena perempuan itu menepisnya dengan kasar. “PERGI!” hardik Emi sambil menangis histeris.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN