“Ya, sudah!” pungkas Ara, “kamu tidur lagi saja, jangan terlalu banyak bertingkah dulu sampai April lupa akan kejadian malam ini. Selama kamu dianggap berguna dan menghasilkan uang buat dia, kamu nggak bakal diapa-apain, percaya!” katanya. Emi mengangguk mengiyakan. Ara pun lalu pamit pergi dari kamar Emi, meninggalkan gadis itu termangu sendirian menatap ke luar jendela. Perlahan air matanya kembali turun meratapi nasib yang menimpanya. “Maafkan Emi, Bu, Ayah!” tangisnya lirih. Emi terpuruk sendiri, dia memeluk lutut kemudian menangis tersedu-sedu. *** Keesokan harinya Emi bangun kesiangan, jam 9 baru membuka mata. Dia panik sendiri dan langsung bangun beranjak ke kamar mandi. Tapi sedang dia menggosok gigi, Emi mengerutkan kening menyadari sesuatu. “Kok nggak ada yang bangunin aku