Bumi ini Sempit

1744 Kata
“Sekali lagi maaf, Pak. Saya…. Saya gak bermaksud jadi sumber kesialan bapak. Maaf,” ucap Paulina sampai menunduk dalam hingga lehernya terasa pegal. Jujur, dia ingin mengubur dirinya sendiri. Malu iya, takut juga iya, pasti Jagapathi akan membalasnya berkali-kali lipat. Bagaimana mereka berakhir di ruang tamu sekarang? Tentu saja dengan Jagapathi yang bangkit setelah dipukul, kemudian melilit Paulina dengan dua handuk hingga tidak bisa memberontak kemudian membawanya ke kamar mandi lain untuk dibilas, tidak lupa ditinggalkan dengan kalimat, “Saya gak tertarik sama kamu. Stop jerit-jerit gak jelas kayak gitu.” Dan Paulina pun semakin merasa bersalah, sudah menyiram kopi, mabuk, kemudian masuk kamar mandi tanpa izin dan sekarang memukul Jagapathi. “Ekhem!” Deheman Jagapathi sepertinya persiapan pria itu memarahinya. “Maaf,” ucap Paulina lagi. Sebelum Jagapathi berucap, suara bel berbunyi. Jagapathi mengerutkan kening. “Sembunyi kamu,” perintahnya pada Paulina. “Um, kayaknya itu temen saya, Pak. Namanya Layla.” “Gimana? Kamu bilang ke temen kamu kalau kamu tinggal sama saya?” “Eh, kenapa, Pak? Gak boleh ya?” Ekspresi wajah Jagapathi langsung membuat Paulina menunduk lagi. “Maaf, Pak.” Dan membiarkan Jagapathi membuka pintu. Memang dia menghubungi Layla untuk dibawakan salep, sudah terlanjur juga kan sebelumnya bercerita tinggal di apartemen ini. Layla yang datang merasakan ketegangan diantara keduanya. “Selamat pagi, Pak. Saya Layla, mahasiswa fakultas Hukum, temannya Paulina.” “Masuk aja,” jawab Jagapathi dingin. “Baik, terima kasih, Pak.” Layla bergegas melangkah menuju Paulina, dia sendiri takut berada disekitar Jagapathi, aura menakutkannya terasa begitu kuat. “Pau, ini salepnya. Mau bantu gue balurin?” “Siapa lagi teman kamu yang tahu kalau kamu di apartemen saya?” “Cuma dia kok, Pak,” ucap Paulina. “Janji gak akan kasih tau yang lain.” Jagapathi menghela napasnya dalam sebelum berdiri. “Meskipun kamu disini sebagai pembantu, tapi saya gak suka banyak orang yang tahu, paham?” “Paham, Pak.” “Kamu.” Kini beralih pada Layla. “Lagi sibuk apa sekarang?” Layla menjawab dengan gugup, entah kenapa berhadapan dengan Jagapathi ini otomatis membuat lawan bicara menciut, aura dinginnya, wibawanya dan yang penting tatapan mematikannya sungguh mencekam. “Nah, contoh temen kamu ini. Jadikan motivasi biar cepat lulus, bukan jadi pulu-pulu kampus.” “Iya, Pak.” Sebelum pergi, Jagapathi berpesan untuk tidak membuat onar di apartemennya, mengingatkan kalau Paulina disini adalah pembantu, jadi sudah seharusnya segala hal dengan izin dirinya. Ketika Jagapathi benar-benar pergi, dua perempuan itu refleks menarik napas dalam merasa lega. Paulina yang sedari tadi menahan tangis akhirnya buncah juga, merengek pada sang sahabat. Dia tidak mau tinggal disini, sudah memprediksi kalau Jagapathi menyiapkan beberapa hal untuk membalas perbuatan dirinya. “Jangan mikir yang buruk dulu napa, udah beruntung juga gak dikeluarin dari kampus setelah semua ini, Pau. Bagusan mending lu bertahan, mau nyusul gue ‘kan? Mau wisudaan bareng ‘kan?” “Ya enggak tinggal sama dia juga, Layla. Gue bisa-bisa mati ketakutan, anjir. Dia beneran galak, kayak mau bunuh gue tiap natap. Sama…. Dia udah lihat seluruh tubuh gue loh, dua kali. Gue malu, tapi dominan takut…. Gimana dong? Hiks…” ucapnya sambil memeluk sang sahabat. “Gue terima deh tawaran kost-kostan lu. Nanti gue ganti kalau bokap gue udah ada duit lagi.” “Yakin lu? Disini kayaknya nyaman deh, Pau. Lu juga makan gratis, ilmu gratis, mau pindah?” “Mauuuu! Gak mau sama dosen killer itu.” “Terus bokap lu? Pak Santoso gimana?” Paulina menggeleng. “Urusan belakangan deh, gue gak bisa kalau tinggal sama dia. Taruhannya nyawa gue.” Tangisannya sungguh menyayat hati, jadilah Layla pun membantunya mencari kostan untuk Paulina di hari itu. Bisnis risoles Layla sedang berhenti, jadi dia tidak bisa membantu banyak. Rencana Paulina tentu saja mengikuti keinginan sang Papa yaitu giat kembali kuliah, tapi tanpa harus tinggal bersama dengan Jagapathi. Kostan yang diinginkan Paulina adalah kostan dekat kampus. Hanya saja yang murah itu harus masuk ke gang dan mobil tidak bisa masuk kesana. Jadi, mobil disimpan di parkiran kampus saja. Cukup ribet dan menarik perhatian orang-orang apalagi dengan membawa koper. “Di dalem gang banget ya?” “Itu yang paling murah yang bisa gue bayarin tiap bulan,” jawab Layla menahan protes Paulina, sebab sadar dirinya tidak punya Tabungan atau asset. Uang jajan pun sedikit lagi harus menunggu sampai awal bulan nanti, itupun hanya setengahnya. “Harus cepet-cepet, Lay, nanti ada Pak Dekan.” “Ck, baru aja lu bikin masalah pagi ini, sekarang mau kabur. Nanti gimana lu jelasin ke Pak Jaga?” “Gak usah jelasin,” ucapan tiba-tiba itu lantas membuat Paulina dan Layla berhenti melangkah. Mereka berdua sama-sama menoleh perlahan ke samping. Dan alangkah terkejutnya mereka melihat Jagapathi dan…. Pak Santoso duduk dibawah bangku pohon rindang, menatap tajam Paulina. “Balikin kunci apartemen sama ATM kalau begitu.” **** “Pau, kata gue lu tinggal deh sama Pak Jaga, lebih banyak manfaatnya, tempatnya enak, lu dapet bantuan buat cepet lulus juga, dan yang terpenting……,” ucapan Layla menggantung seiring raut wajah Paulina yang berubah menjadi sendu. “Lu tetep bisa dapetin mobil lu.” “Huee…… Hiks… hiks…. Mobil gue…. uang jajan gue jadi seperempat sekarang.” Tangisan Paulina langsung pecah seketika. Pertemuannya dengan Jagapathi dan Papanya malah membawa malapetaka baru. Atm dan kunci apartemen jelas diminta, dan Papanya dengan tegas mengatakan kekecewaannya disertai penahanan mobil dan pemotongan uang jajan. “Tapi gue gak mau sama dia…. hiks… gue takut, dia nyeremin, nyebelin, dan bakalan memperbudak gue.” “Take and give, Babe. Lu dibantuin biar wisuda bareng gue. Inget?” Tapi Paulina tetaplah Paulina, perempuan keras kepala hingga akhirnya Layla tidak bisa membujuknya dan berakhir meninggalkan Paulina di kostan yang harganya 800 ribu sebulan di gang kecil tersebut. “Sorry ya, gue harus masuk magang dulu, semoga lu cepet nyusul magang. Semangat ya.” Dan disinilah Paulina sekarang, meratapi kehidupannya yang berubah 180 derajat. Sejak kematian Mamanya, bisnis Papanya memang naik turun. Paulina sebagai anak tunggal menghabiskan waktu sendirian sebab sang Papa sibuk, jadilah tanpa pengawasan Papanya membuat Paulina lebih senang bermain daripada mendalami Pelajaran, seringkali membolos les sejak SMA dan kuliah juga jarang masuk, sibuk berpacaran untuk melupakan kesepian tapi akhirnya malah diselingkuhi. Sekarang Paulina baru sadar, begitu penting Pendidikan untuk masa depannya yang cerah. Sebab kost-an yang dia tempati sekarang sangatlah gelap, dengan ukuran 3x3 meter dan bau juga suara yang bising. Selama beberapa jam, Paulina duduk saja di kostan itu, sampai matahari tenggelam. Dia buntu! Pikirnya bisa membujuk sang Papa! Tapi tidak! Paulina pun menyeka air matanya dan meraih tasnya. “Mau kemana, Neng? Beli Kasur?” tanya bapak kost saat Paulina keluar. “Mau ke rumah saya dulu, Pak.” “Oalah, kalau mau beli Kasur di ponakan saya aja di depan. Murah kok 600 ribu yang single.” Paulina mengacungkan jempol sebagai jawaban. Dia terfokus pada rencana membujuk sang Papa jika sampai di rumah nanti. Jadi selama di taksi, Paulina banyak berfikir sampai tidak sadar sudah sampai tujuan. Paulina menarik napas dalam, sebelum melangkah masuk ke dalam gerbang. Baru juga tiga langkah, dirinya dihentikan oleh seseorang. “Non, jangan masuk.” “Eh, Bang Pram?” itu adalah satpam rumahnya. “Kenapa?” Sebelum sang satpam menjawab, lebih dulu terdengar suara tawa dari dalam rumah, disusul dengan siluet banyak orang. “Loh, kenapa banyak orang dirumah saya, Bang?” “Bapak Santoso menyewakan rumah ini sama rekan kerjanya, beserta isi, kendaraan sampai pekerjaanya. Beliau bilang butuh modal gede buat ke London.” Paulina tidak bisa menahan keterkejutannya. “Sekarang bapak dimana?” “Berangkat ke London, emangnya Non gak tau?” Yah, hidup Paulina benar-benar kacau sekarang ini. *** “Belum bisa dihubungi, Non?” Kali ini bukan hanya satpam, tapi pembantu di rumahnya ikut keluar berusaha menghubungi majikannya. “Kalau dari radar, masih perjalanan, jadi belum bisa dihubungi,” jawab Paulina. “Gimana dong, Non?” tanya sang satpam. “Soalnya setahu saya kalau mobil Non juga disewakan.” “Mau saya tanyakan, Non?” sang pembantu berusaha membantu. “Majikan baru lagi pada santai di dalam.” “Gak usah, Bi, gak papa. Mau pulang lagi saya.” Akhirnya, Paulina pulang dengan kenyataan yang harus dia terima, bahwa mungkin satu-satunya cara mengembalikan uang jajan dan mobil yaitu dengan kembali pada Jagapathi. Hiks… permasalahan sejak pagi ini sampai membuat Paulina lapar, dia merogoh saku untuk mengambil dompet. Langkahnya terhenti seketika, menyadari dompet tidak ada disana. “Siallllllll!” teriaknya kesal. Pasti dompetnya tertinggal di taksi tadi. Paulina berusaha menghubungi sopir taksi online yang mengantarkannya tadi, tapi tidak bisa. Kalau begini ceritanya, dia harus melapor polisi. Tapi malam begini? Kantor polisi jauh, dia kelaparan, tidak punya uang dan jauh dari kostan. Hari ini adalah rekor Paulina meneteskan air mata karena jengkel. Dirinya yang tidak terbiasa jalan kaki, akhirnya menelusuri jalanan sambil berfikir bagaimana bisa sampai ke kostan, teman-temannya tidak ada yang mengangkat panggilan termasuk Layla. “Harusnya gue gak ambil semua duit di atm, jadilah sekarang gaada duit di m-banking,” gumamnya kesal sembari menendang-nendang udara. Begitu memasuki area pusat kota, aroma makanan langsung menusuk hidung Paulina. Dia menunduk berusaha tidak menoleh pada resto-resto mahal yang dia lewati. Namun, ada satu resto yang membuatnya tidak bisa berpaling, yaitu makanan Jerman yang sangat dia sukai. Daging panggang yang menguarkan aroma smoky dan bumbu rempah menari-nari di udara malam, membuat perutnya bergejolak, sampai langkahnya terhenti. Paulina merutuki dirinya yang melirik kaca restoran, dimana dia melihat meja yang menempel pada kaca menyajikan Schweinshaxe—paha babi panggang besar yang renyah di luar namun lembut di dalam, ditemani saus cokelat kental yang mengkilap di bawah sinar lampu. Di sebelahnya, ada Bratwurst yang gemuk dan juicy, dengan potongan kecil mustard di atasnya, lengkap dengan acar dan kentang tumbuk yang menggugah selera. Pandangannya terpaku pada piring-piring itu, membayangkan rasa gurih yang pastinya akan langsung melebur di lidah. Malam yang dingin terasa makin sulit ditahan saat aroma daging panggang itu terus menyerbu hidungnya, memanggil-manggil dirinya untuk masuk dan menikmati. Paulina sampai membuka mulut, dan air liur berada disekitarnya. Dia bahkan tidak sadar mulutnya terbuka hingga air liur menetes disana. “Dih, kasihan mahasiswa lu, Jag. Ilernya pada keluar itu." Seketika Paulina sadar bahwa orang yang memesan makanan itu sudah duduk di kursi pelanggan. Dan tatapan Paulina terpaku pada…. Jagapathi yang ada dibalik kaca. Pria itu menunjuk bibirnya sendiri, membuat Paulina segera menyeka air liurnya. Iya, disana Jagapathi bersama Jedidah sedang makan malam, tapi bukannya melihat pemandangan kota, mereka malah mendapatkan pertunjukan perempuan yang menatap makanan sampai iler keluar. Hueeee malu!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN