“Makan yang banyak, Dek,” ucap Jedidah sambil mendorong potongan daging lainnya.
Paulina menahan senyum miris, bisa-bisanya dia ditarik oleh pria yang memperkenalkan diri sebagai Jedidah Sasmaya Kartanegara, seorang CEO yang memiliki bisnis di bidang harologi, Celestial Time Inc. Mempersilahkannya makan bahkan membeli makanan tambahan.
“Makan juga sayurannya, Dek, bagus buat otak kamu.”
“Gak usah panggil adek kayak gitu, mau gue kasih tau pacar lu?” Suara tegas Jagapathi refleks membuat Paulina berhenti mengunyah sebentar, menakutkan.
“Ya terus manggil apa? Masa sama kayak lu ikutan manggil pulu-pulu?”
“Pulu-pulu?” Paulina mengangkat kepala yang sedari tadi menunduk, itukah panggilan penghinaann untuknya?
“Iya, Pulu-pulu itu julukan orang-orang bodoh yang menyusahkan fakultas, kamu contohnya,” jawab Jagapathi tanpa ragu, tepat menusuk jantung Paulina.
“Bro, santai napa. Kasihan ini anak lagi makan.” Jedidah kembali menatap Paulina dengan lembut. “Maafin Om satu ini ya, karakternya emang gitu. Dulu pas kecil, dia gak sengaja minum lahar panas, jadi sekarang kalau ngomong suka berapi-api.”
“Gak papa, Pak.” Paulina malah tidak enak pada Jedidah.
“Jadi sekarang kamu tinggal dimana, Dek? Katanya kabur ya dari apartemen Jaga?”
Paulina kembali kaget. Kali ini dia spontan menatap Jagapathi. “Kata bapak gak boleh ada yang tau kalau saya tinggal di apartemen bapak?”
“Eh, eh, saya tahu karena udah terlanjur denger cerita kamu yang tumpahin kopi, belum lagi yang diparkiran.” Jedidah menjelaskan bagaimana Paulina ditemukan oleh 4 pria itu, yang membuat mereka menanyakan bagaimana kabar Paulina setelah dibawa Jagapathi malam itu. Sungguh, Paulina tidak tahu harus menyimpan wajahnya dimana. Dia malu! Dalam keadaan mabuk dan terangsang, dirinya ditemukan oleh Jagapathi dan teman-temannya. “Jadi saya tahu duduk permasalahannya. Cuma saran saya, mending kamu tinggal aja sama Jagapathi. Symbiosis Mutualisme lah, kamu punya tempat tinggal dan dibantu untuk cepat lulus, dan Jagapathi punya orang yang bantu di apartemen, si mbaknya lagi pulang kampung soalnya. Dan terlebih lagi kalau Jaga niat buruk, pasti dia lakuin pas kamu dalam pengaruh alkohol kan?”
“Ck, kamu pikir saya tertarik sama kamu? Dunia kiamat kalau itu terjadi.”
“Jaga, omongannya sih.” Jedidah kesal. “Kasihan nih anak ditinggal bapaknya, lu bantu napa.”
“Gak papa kok, Pak,” ucap Paulina pada Jedidah, sebelum mereka berdua malah bertengkar. “Ini kemauan saya yang gak serumah sama Pak Jaga, saya akan berusaha sendiri lulus cepat dan membanggakan Papa. Dan, makasih buat makan malamnya, maaf ya atas gangguan saya.”
“Loh, gak keganggu sama sekali loh. Ini kamu mau kemana?”
“Mau pulang, Pak.”
“Minimal bayar dulu lah,” celetuk Jagapathi.
“Gak usah dengerin dia, udah kalau mau pulang mah pulang aja. Mau saya pesenin taksi online?” Tanya Jedidah.
Paulina menolak, dia tersinggung dengan ucapan Jagapathi sampai pura-pura hendak membayar dengan metode transfer. Untung saja Jedidah melarang dan malah menariknya menjauh dari Jagapathi, mengantarkan sampai ke depan resto. “Udah jangan bayar, kan saya yang aja. Saya pesenin taksi ya?”
“Gak usah, Pak. Saya pesen sendiri kok. Makasih banyak sebelumnya.” Paulina bergegas menjauh. Mengusap perutnya yang kenyang walaupun harus dibayar dengan sakit hati. Paulina tidak paham kenapa pria seperti Jagapathi malah diangkat menjadi dekan. “Kalau aja si Pak Jedidah belum punya pacar, gue gebet.”
Sambil berjalan, Paulina kembali memikirkan bagaimana dirinya hidup selanjutnya, akankah Papanya memberikan bantuan jika sudah bisa dihubungi nanti?
TIN!
“Ayam! Ayam!”
Paulina menoleh pada mobil yang mengejutkannya itu. Ketika kaca mobil diturunkan, membuat emosinya kembali bergejolak.
“Masuk,” ucap Jagapathi tanpa menoleh.
“Maaf?”
“Masuk, sebelum anjing itu ngejar kamu,” tunjuknya ke depan hingga Paulina melihat ke arah yang dimaksud.
“Aaaaa!” Paulina seketika berlari masuk mobil saat melihat anjing hitam menyeramkan berlari ke arahnya. Baru pantatnya duduk, mobil langsung melaju. “Bapak! Pintunya aja belum saya tutup bener!”
“Nanti anjingnya lompat,” jawabnya santai. “Duduk yang tenang, saya antar kamu ke kostan baru kamu.”
“Emang bapak tau tempatnya dimana?”
“Belakang toko Kasur ‘kan? Itu kostan paling murah disekitar sini.”
Bibir Paulina mengerucut seketika, benar sih. Paulina memilih diam daripada mendengar hal menyakitkan lagi, semua yang keluar dari mulutnya memang benar lahar panas. Jadi sepanjang perjalanan, hanya ada keheningan.
“Makasih banyak, Pak. Dan sekali lagi saya minta maaf atas apa yang terjadi diantara kita,” ucap Paulina begitu sampai di depan toko Kasur, tapi pintu mobil masih dikunci. Dia menoleh cepat pada Jagapathi. “Pak? Masih dikunci.”
“Saya kasih kamu waktu sampai besok sore jam 5, pikirkan baik-baik mau tinggal disini atau sama saya.”
“Terima kasih atas tawarannya, tapi saya gak tertarik. Tolong buka pintunya, saya mau keluar.”
“Keluar aja.”
“Pintunya dikunci, Pak, tolong jangan permainkan saya, saya mau isti.…,” ucapan Paulina tertahan saat Jagapathi menoleh, tentu saja dengan tatapan tajamnya. Lebih mengerikan lagi, sekarang tubuhnya condong mendekat. “Bapak mau apa?” seketika nyali Paulina menciut. “Bapak katanya gak tertarik sama saya? Ini ap- Aaaaa!”
Paulina hampir saja terjungkal saat Jagapathi membuka pintu mobil, untung saja tangan lain pria itu menahan bahunya. “Cara bukanya gitu.”
Paulina segera mendorong d**a Jagapathi menjauh hingga dia bisa buru-buru keluar dari mobil. Bahaya jika tetap di posisi itu, sebab napas mereka bahkan bisa saling merasakan. “Gak usah modus,” gumam Paulina.
Pria itu malah tertawa. “Gak ada manfaatnya modusin kamu sih. Tutup lagi pintunya.”
“Eh? Saya gak bilang apa-apa,” ujarnya panik.
“Tutup pintunya, gak b***k kan?”
Paulina menurut dengan wajah masih ditekuk. “Terima kasih tumpangannya, Pak.”
“Hmm, semoga kuat bertahan hidup,” ucapnya sebelum meninggalkan Paulina yang menggerutu dengan kelakuan Jagapathi yang begitu…. Menyebalkan dan menakutkan.
****
Suara gonggongan anjing dan kambing yang bersahutan itu membangunkan Paulina yang tidur dengan dialasi rok. Bukannya segar, pegal-pegal langsung menghantamnya. Seorang Paulina yang tipikal princess, sekarang tidur tanpa Kasur. “Mamaaaa…, sakit pinggang,” rengeknya. Bahkan untuk bangun pun sulit sekali. “Bau apa sih ini? Mana berisik banget.”
Paulina mengintip dari jendela, seekor anjing dan domba sedang ribut di depan kostannya, mengundang para warga yang membuat Paulina menggelengkan kepalanya. “Berisik banget ya ampun, kalau ada Papa pasti itu domba udah diban- Papa!” paulina baru teringat, kalau Papanya pasti bisa dihubungi sekarang.
Tanpa menunggu lama, Paulina langsung menghubunginya, dengan khawatir dia menunggu jawaban sambil menggigit jari. “Papa?”
“Iya, kenapa?”
“Papa…. Kenapa gak bilang ke Paulina kalau mau ke London? Kenapa gak pamitan dulu?”
“Papa gak akan tega ninggalin kamu kalau pamitan dulu. Apalagi gak ada yang tersisa disana, Papa sewain ke temen.”
“Ih iya, kok gitu sih? Aku semalem ke rumah mau nyari Papa tau! Kaget banget, mana mobil aku dipake mereka, Pa, kok Papa tega?” Paulina merengek.
“Nak, ini Papa berusaha buat kamu juga, buat masa depan kamu termasuk dengan mendisiplinkan kamu. Papa titipkan kamu ke Jaga bukan tanpa alasan, dia bisa bantu kamu menangani permasalahan kuliah, Papa juga tahu kalau Jaga bukan pria yang berani macam-macam. Coba kamu ingat lagi, Mama ingin kamu jadi pengacara hebat ‘kan? Papa mau bantu wujudin, dan kamu adalah kuncinya.”
“Tapi….” Kalau sudah menyangkut Mama, Paulina juga lepas tangan. “Aku akan berusaha, Pah. Wujudin itu tanpa harus tinggal sama Pak Jaga. Dan sekarang aku butuh dukungan dari Papa dengan transfer sejumlah uang, sebab dompet aku dibawa kabur taksi online. Ini baru mau bikin laporan ke kantor polisi.”
“Yaudah, kamu berusaha juga beresin masalah sendiri. Hati-hati ke kantor polisinya.”
“Pah?!”
“Kalau duit habis, pulang aja ke Jaga ya, minta lagi ATM yang kemaren. Udah dulu ya, Papa ada urusan. Bye.”
Dan berakhir begitu saja tanpa ada penyelesaian, bagaimana dirinya terangkat dari kehidupan ini? tidak mungkin Paulina mau tidur tanpa Kasur lagi. “Oke, ke kantor polisi dulu,” ucapnya mencoba berusaha menyelesaikan masalah sendiri. sebelumnya, Paulina berusaha menelpon beberapa teman untuk mengantarkannya, tapi ya tentu saja mereka sibuk dengan semester akhir ini, Layla juga sibuk magang.
Dengan jarak yang begitu jauh, memangnya Paulina bisa ya kesana dengan jalan kaki? Menepis semua pemikiran itu, Paulina memutuskan mandi dulu tanpa sabun. Iya tanpa sabun untuk pertama kalinya, kemudian dengan sisa uang terselip di kopernya, Paulina pergi ke warung terdekat. Dan apa yang terjadi? Benar, Paulina mual saat baru satu suap. Makanan jenis apa ini? langsung saja dia kembali ke kostan, dan dikejutkan dengan bapak kost yang memasukan Kasur. “Loh, pak?”
“Iya, hadiah buat neng, semoga betah ya disini.”
Paulina tersenyum hambar, tatapan bapak kost menakutkan juga. Jadi Paulina langsung meminta kunci cadangannya supaya dia memegang keduanya. Terlepas dari tatapan yang tampak c***l itu, Paulina focus pada Kasur baru. Memang tidak seempuk Kasur mahal, tapi mampu membuat Paulina senyum dan memejamkan mata, mengganti malam yang dia lewati dalam kedinginan dan rasa pegal.
Disertai hujan melanda pagi itu, Paulina tidur begitu lamaaaaa. Dia hanya bangun untuk minum dan ke kamar mandi. Ke kantor polisinya besok saja lagi, menunggu Layla bisa mengantar mungkin. Berjam-jam Paulina tertidur, sampai tidak sadar ada hewan masuk ke celah pintu kemudian merayap di tangannya. Mengganggu Paulina hingga membuatnya membuka mata dan.. “Aaaaa! Ular!” teriaknya langsung berlari keluar, licinnya tembok akibat hujan tidak diketahui Paulina hingga… BRUK! Dia jatuh dengan tangan…. “Aaaaa! Taik dombaa!”
Teriakannya menarik penghuni kost lain, dan juga bapak kost. “Neng, kenapa? ada apa?”
Paulina yang sudah menangis itu bangun sendiri, pergi ke kran dan mencuci tangan, mengabaikan hujan yang masih melanda.
“Permisi-permisi!”
Karena gang yang sangat sempit dan hanya ada satu jalan, Paulina terdesak ketika tukang sampah lewat membawa tong yang menyenggol kepalanya, membuat bibirnya semakin melengkung ke bawah.
“Pak! Ada ular tuh dikamar baru itu!” teriak penghuni kost lain. “Keluarin, Pak! Udah mau jam lima ini, nanti keburu malem.”
Seketika, ucapan Jagapathi terngiang di kepalanya. Saya kasih kamu waktu sampai besok sore jam 5, pikirkan baik-baik mau tinggal disini atau sama saya.
Paulina tidak mau tinggal disini selamanya, dengan semua kebau-an, dan juga kemiskinan ini. Jadi dengan kondisi yang masih berantakan dan basah, Paulina berlari menembus hujan menuju ke fakultas hukum di sebrang jalan. Saking takutnya Jagapathi keburu pergi, Paulina tidak melihat kemana kakinya melangkah hingga…. BYUR! “Aaaaa!” dia jatuh ke got, tanpa ada yang menolong sebab suara hujan lebih deras.
Tangisan Paulina semakin menguat, tapi dia kembali berdiri, kemudian kembali berlari dan menyebrang jalan. Tubuhnya yang hitam seutuhnya itu menarik perhatian orang-orang yang melihatnya. “Hoi! Ada orang gila mau masuk kampus!” teriak salah satu satpol PP.
Harapan terbit saat Paulina melihat sosok Jagapathi keluar dari kampus dengan payung dan hendak menuju mobil. Seketika, dia berteriak, “Pak!”
Persetan dengan rasa malu dan harga diri, Paulina tidak mau mati dengan tubuh panu, kadas dan kurap. “Bapak!” teriaknya semakin kencang. “Bap- Aaaaakkkhhhhh!” tiba-tiba saja tubuhnya terangkat oleh seseorang yang memeluknya dari belakang sambil berkata, “Orang gilanya udah ditangkap nih. Bawa mobilnya kesini!’