Dan disinilah Paulina sekarang, dengan koper yang dia seret memasuki apartemen yang sebelumnya dia sumpahi tidak akan didatangi lagi. Bahkan Papanya sampai mengantarkan Paulina ke loby sambil berkata, “Gini ya takdir, kamu diangkat jadi Dekan Fakultas Hukum, jadi pas banget bisa bimbing Paulina. Dahlah mantap, saya gak jadi marah perihal bangkrutnya Perusahaan, bahkan saya nyesel dulu nangis. Eh, nggak deng, saya seneng dulu nangis, jadi kamu janjikan saya balas budi, hahaha.”
“Jadi…. Sekarang gimana, Pak?”
“Gimana apanya? Kamu harusnya bisa nolak ke Papa kamu, sekarang malah beneran masuk ke apartemen saya.”
“Maaf, Pak,” ucap Paulina. Jujur dia sangat malu dan merasa bersalah pada Jagapathi, belum lagi sekarang dirinya harus menumpang disini. “Saya takut sama Papa saya, kenapa tadi nggak bapak aja yang nolak?”
“Saya udah minta ganti hal lain buat balas budi, tapi Papa kamu gak mau. Kamu anaknya, harusnya tahu karakternya dan bantu saya dong.”
“Justru itu saya tahu karakternya, dia pasti gak bakalan berhenti sampai bikin drama nangis kalau kita gak setuju.” Paulina masih menunduk tidak mau menatap manik tajam pria didepannya “Yaudah kan udah terlanjur kita berdua iya-in. sekarang gimana?”
“Itu,” tunjuknya pada sofa. “Sama itu.” Jari bergeser ke dapur. “Kamu bersihin, habis itu baru boleh tidur. Kamar kamu yang itu.” Menunjuk pintu kayu berwarna gading yang ada dekat ruang makan.
“Maksudnya? Bapak minta saya buat jadi pembantu?”
Kali ini Jagapathi tampak lebih santai, bahkan membuka coatnya dan menatap Paulina seolah gue apai ya ini bocah? “Kamu tinggal disini harus ada kontribusinya, apalagi saya harus bimbing kamu ‘kan? Tiap pagi bikin sarapan, sama makan malam juga. Pastiin apartemen ini tetep bersih.”
“Pak, jadi bapak setuju tinggal bareng?”
“Mau gimana lagi? Kamu mau kabur silahkan, jadi kamu yang disalahkan Papa kamu. Kayaknya gak buruk juga kamu tinggal disini dan bantu apartemen saya tetep bersih. Selain itu, saya bisa singkirkan satu pulu-pulu di kampus,” ujarnya santai dengan tangan terlipat di d**a. “Sana beresin, kita mulai diskusikan kelas sama nilai kamu besok.” Kemudian berbalik menuju pintu kamar satu-satunya di sebelah barat.
“Pak, ini beneran kita tinggal bareng? Setelah apa yang terjadi diantara kita?”
Jagapathi terkekeh, dan entah kenapa suara kekehan itu terdengar menakutkan bagi Paulina. “Nah, itu salah satu kenapa kamu harus tinggal disini.”
Paulina menelan salivanya kasar. “Bapa… saya minta maaf atas apa yang terjadi, dari awal sampai terakhir yang saya mabuk. Saya benar-benar menyesal, Pak. Tolong maafkan saya. Pasti bapak kepanasan ya waktu sa-”
“Diem,” ucap Jagapathi tajam, pria itu menahan napas sejenak. “Kalau kamu berguna, baru saya kasih pengampunan.”
****
BRUK! “Hah? Kenapa? ada apa?” Paulina langsung membuka mata dan duduk seketika saat mendengar suara barang jatuh. “Gue dimana?” sedetik kemudian… “Oh, di apartemen Pak Jaga,” gumamnya lesu.
BRUK! Kembali terdengar suara dari unit sebelah, Paulina menghela napas dan kembali berbaring. Mengabaikan suara itu dan memilih meratapi nasibnya. Semalam Paulina benar-benar membereskan apa yang diperintahkan Jagapathi dan tidur disini. Ada niatan untuk pergi, tapi alasan pertama tidak punya uang, dan yang kedua adalah takut Papanya. Mobilnya saja belum diberikan, jadi Paulina tidak tahu harus pergi kemana tanpa uang. Hiks, menyedihkan.
Drrttttt….
“Layla! Anjirrr lu kemana aja?! kenapa gue hubungin dari kemaren gak diangkat-angkat? Lu harus tolongin gue!” teriak Paulina saat mengangkat panggilan. Tanpa memberikan Layla kesempatan bicara, Paulina menceritakan apa yang terjadi sambil terisak, air matanya turun begitu saja membayangkan uang jajannya berkurang drastic dan terjebak bersama dekan killer ini.
“Astaga! Double kill inimah, lu udah siram totongnya, terus mabok terus sekarang tinggal bareng?”
“Iya… Hiks… bantuin gue. Gue malu, takut juga sama Pak Jaga. Bawa gue pergi dari sini… Pinjem dulu seratus… hiks…”
“Seratus ribu ada, kalau serratus juta gak ada, Pau.”
“Ya mana cukup, hiks…. Gue sewa apa seratus ribu?”
“Sorry, Pau. Gue sekarang lagi magang sambil nyusun, jadi gak jualan risoles dulu. Gue aja sekarang tinggal sama ortu dulu, kecuali lu mau kost-kostan. Gue sanggup bantu. Gimana?”
“Gak tau… hiks… lihat dulu nanti… pokoknya gue gak mau terjebak sama dosen killer satu itu… hiks… gue udah banyak salah sama dia, pasti dia bakalan dendam kesumat sama gue.”
“Tapi, Pau, I think there’s something interesting. Body Pak Jaga tuh bagus, cuma ketutupan kacamata dan gaya rambutnya aja. Deep down, he’s probably good-looking and fit, right? Banyak yang penasaran, termasuk gue. Jadi gimana? Hot gak dosen killer kita?"
“Please lahhh! Gue lagi sedih!”
TOK! TOK! TOK! “Paulina, mana sarapan saya?”
Paulina seketika menutup panggilan telpon, dan lari membuka pintu. Dihadapannya, Jagapathi sudah siap dengan kemeja hitam dan rambut yang rapi, tidak lupa kacamata bertengger di hidung mancungnya. Paulina sampai melangkah mundur saking dekatnya mereka. “Mana sarapan saya?”
“Bapak gak serius kan minta saya ma- Iya, saya bikin sekarang. Maaf, Pak,” ucapnya segera pergi ke dapur. Yang penting Jagapathi makan, Paulina membuat sarapan alakadarnya dulu, roti panggang dengan telur ceplok dan bacon, beberapa sosis juga kentang goreng. Pokoknya yang banyak supaya tidak protes. “Saya gak tahu bapak suka apa, jadi saya bikin ini.” meletakan sepiring sarapan di meja makan, dimana Jagapathi sudah duduk disana.
Kok serasa jadi peserta master chef ya? Ketika Jagapathi mencobanya, Paulina sampai gugup, dia menunggu sampai pria itu memberikan komentar, tapi ternyata terus lanjut makan.
“Kamu ngapain berdiri disitu? Cuci piringnya nanti kalau saya udah selesai.”
Tuhkan benar dirinya diperbudak. Memang sih kesalahan Paulina sangat fatal, tapi dia benar-benar takut pada Jagapathi. “Pak, kita beneran mau satu apartemen ini? emang gak akan kena masalah?”
“Emang apa yang dipermasalahin?” Tanya Jagapathi enteng. “Kalau ada yang nanya, tinggal bilang kamu disini sebagai pembantu saya.”
“Pak?”
“Ya terus kamu berharap apa? Lagian yah, kamu nantinya bakalan saya poles itu otak biar bisa kejar Angkatan kamu, jadi kamu juga diuntungkan. Gak usah drama.” Jagapathi mengeluarkan kartu akses apartemen dan ATM, mengatakan nantinya Paulina yang bertanggung jawab belanja keperluan apartemen dan menyiapkan makanan-makanan kesukaannya. Dengan beberapa aturan tidak boleh dia langar, seperti berisik.
Paulina tersenyum miris, dia benar-benar merasa seperti pembantu disini. Sebelum Jagapathi berangkat, Paulina kembali bertanya, “Pak, beneran saya tinggal disini?”
“Kamu gak tinggal disini, kamu nebeng sama saya.”
Kemudian Jagapathi pergi, meninggalkan Paulina yang menghela napas menatap piring kotor. Kalau dia benar-benar tinggal disini, artinya dia akan menjadi pembantu. Namun jika dirinya pergi, yang disalahkan oleh Papanya pasti dirinya, Jagapathi kebagian enaknya, tinggal beralasan kalau dirinya yang kabur.
Tapi gak mau tinggal disini, gumamnya dalam hati. Terlebih lagi kamar yang ditempatinya tidak memiliki kamar mandi di dalam. Paulina tidak terbiasa dengan itu. Mumpung Jagapathi sudah pergi, dia memutuskan melihat dua kamar lainnya yang kosong. Masing-masing dari mereka punya kamar mandi di dalam. “Kayaknya gue nempatin kamar pembantu deh. Gak mau ah.”
Mana ada satu kamar dengan cat warna pink, warna favorite Paulina. Dengan kamar mandi yang luas dan menghadap ke pemandangan kota. Tidak bisa! Paulina tidak bisa menghindari keinginannya mandi disana. Jadilah pagi itu, dia mandi di kamar pink tersebut. Berendam dalam bathub dengan busa yang melimpah. “Lebih enak lagi kalau keramas sih,” ucapnya berdiri dan pergi ke shower box.
Shampoo yang tersedia juga shampoo mahal dan wangi, Paulina jadi berlama-lama sambil bersenandung. Terus menggosok kepala dengan senyuman sampai air tiba-tiba berhenti, senyuman pun hilang. “Kok? Airnya mati? Duh, perih! Aduh!”
Disisi lain, Jagapathi yang sudah setengah perjalanan itu kembali mengambil dokumen yang tertinggal. Begitu dia membuka pintu. BRUGH! “AAAAA! Sakittttt! Mamaaaaa!”
Yang membuat pria itu langsung berlari ke sumber suara, membuka pintu dan mendapati…. Paulina yang terjatuh, tanpa busana, dengan tubuh licin penuh sabun. Perempuan itu persis seperti cacing kepanasan, menggeliat mencoba bangun, dengan mata tertutup sebab perih.
Jagapathi menggeleng, mencoba menghilangkan pikiran yang iya-iya. Dia raih handuk, kemudian berjongkok dan memakaikannya pada Paulina. Saat itulah Paulina baru sadar ada orang lain di kamar mandi ini, saat itulah dia juga sadar tubuhnya tidak berbalut busana. “Aaaaaaa!” seketika dia menjerit. BUGH! Dan memukul Jagapathi hingga terjungkal.
Tuhannnnn, kenapa anak ini selalu membuat masalah?!