Satu Atap, Beribu Masalah

1973 Kata
“Bapakkkkkk!” Teriakan melengking dengan suara yang sama persis ketika Jagapathi membantu Paulina mendapatkan kepuasan itu terdengar di telinganya. Membuat sang Dekan menggelengkan kepalanya. “Jangan lagi, Jaga. Inget dia pulu-pulu,” gumamnya berusaha secepat mungkin menuju mobil. “Bapak! Saya bukan orang gila!” Kakinya berhenti melangkah dan menoleh ke sumber suara, ternyata itu bukan halusinasinya. Suara yang sangat familiar mengisi pikirannya itu membuat Jagapathi yakin siapa perempuan bertubuh hitam yang diangkut tersebut. “Pak, berhenti, Pak,” perintah Jagapathi. Salah satu satpol PP itu ada yang mengenali Jagapathi, langsung mendekat untuk memberi salam tapi Jagapathi mengabaikan uluran tangannya dan malah menunjuk Paulina yang hampir dinaikan ke mobil. “Turunin, dia mahasiswa saya, bukan orang gila.” “Oh ya ampun, maaf, Pak. Tadi ada laporan dari Dinas Sosial kalau ada orang gila kabur.” Paulina seketika berlari ke belakang tubuh Jagapathi, berlindung dari hujan dan orang-orang yang menatapnya aneh. Dirinya sadar kok penampilannya, yang hitam dan bau, tapi tetap menempel pada Jagapathi yang untungnya tidak protes, malah memarahi satpol PP tersebut sebelum membawa Paulina menuju ke mobilnya. “Bapak….” “Saya tau. Langsung masuk mobil. Nanti saya minta orang buat bawa barang-barang kamu.” “Makasih,” ucap Paulina menunduk, jijik melihat kulitnya yang hitam. “Boleh ikut ke kamar mandi di ruangan bapak gak?” “Nanti aja mandinya di apartemen.” “Emang bapak gak masalah saya duduk di mobil mahal bapak?” Karena Jagapathi tidak menjawab, jadi Paulina masuk saja ke dalam mobil. Tidak ada kesempatan untuk bicara banyak, sebab Jagapathi langsung memasang earpiece dan berbicara dengan seseorang dari luar negeri. Paulina menangkap pembicaraan itu terkait pertukaran mahasiswa dan program lainnya. Begitu mobil sampai di basement, Paulina melangkah mengikuti Jagapathi. Agak ragu sebab air got masih menetes di tubuh Paulina, baunya juga tidak main-main. Ketika security menatapnya tajam, Paulina lantas menunduk. Ternyata tanpa disangka, Jagapathi yang masih menelpon itu memberikan dua lembar uang seratus ribu pada sang satpam. “Buat bersihin lantainya, dia keponakan saya.” “Terima kasih banyak, Pak.” Paulina tersenyum, mungkin Jagapathi tidak seburuk itu. “Kamu langsung mandi,” perintahnya disela pembicaraan telpon. “Iya, Pak.” “Heh, mau kemana?” “Mandi,” tunjuk Paulina ke kamar mandi dekat dapur. “Kamar mandi itu, udah saya benerin krannya.” Jagapathi menunjuk kamar tamu warna pink sebelum melangkah menjauh dan melanjutkan panggilan. Membuat Paulina semakin agak tenang, Jagapathi mungkin tidak seburuk itu sebab dirinya diizinkan memakai kamar mandi ini. Ternyata alasan tidak dibiarkan masuk karena kamar mandinya yang rusak. Paulina jadi merasa semakin bersalah, ingat bagaimana dia memukul Jagapathi disini. Dengan keberadaannya disini, Paulina berjanji akan memperlakukan Jagapathi dengan baik. sebelum keluar dari kamar, Paulina memastikan dirinya wangi, cantik dan juga enak ditatap. Bukan untuk menggodanya kok, Paulina berniat mengabdikan diri pada Jagapathi yang sudah mau menolongnya, menepis rasa takut yang sebenarnya masih ada. Berdiri di depan pintu dengan senyuman yang masih mengembang, Paulina mendengar suara dari luar. Sepertinya Jagapathi berada di dapur. Oh iya, ini bagian makan malam, Paulina berniat untuk membuatkan makanan yang enak dan bergizi. “Kalau senyuman gini, disangka godain dia gak ya?” gumam Paulina masih belum membuka pintu. “Yaudah sih, kan niatnya juga bener-bener mengabdi sebagai mahasiswa. Tepis semua rasa takut lu, Pau. Udah ya,” lanjutnya kemudian membuka pintu. “Bapak, makan malam ini mau makan apa? Biar saya masakkan buat bapak.” Jagapathi yang baru saja selesai minum itu hanya menatap datar Paulina, kemudian berucap, “Terserah.” Yah, sepertinya Paulina harus lebih sabar menghadapi pria ini. “Oke, saya buatkan makan malam terbaik yang bisa saya buat ya, Pak? Saya boleh ikut makan malam nantinya?” “Kalau kamu bisa makan angin, gak usah ikut makan sama saya.” Tuhkannn! Padahal Paulina berniat untuk meredakan ketegangan diantara mereka, tapi Jagapathi selalu menyebalkan! *** Paulina berdiri di dapur modern dengan sentuhan maskulin yang memancarkan kemewahan minimalis. Kitchen island dari marmer hitam mengilap berdiri megah di tengah dapur, dikelilingi lemari dapur dengan finishing matte abu-abu gelap. Cahaya lampu gantung geometris di atasnya memancarkan sinar lembut, membingkai ruangan dalam nuansa elegan. Dari dapur terbuka itu, pandangannya sesekali menjelajah ke ruang tamu yang terhubung langsung, di mana sofa kulit hitam bergaya modern memeluk sebuah meja kaca persegi. Jendela besar dari lantai hingga langit-langit memamerkan pemandangan kota yang berkilauan di malam hari, sementara karpet abu lembut di bawahnya menambahkan sedikit sentuhan kehangatan di tengah interior yang dominan gelap. Melalui jendela kaca geser yang terbuka sebagian, Paulina bisa melihat Infinity Terrace, balkon luas yang menyatu dengan keindahan malam. Kolam renang persegi panjang dengan tepian kaca menciptakan efek infinity, airnya memantulkan cahaya bulan dengan keperakan memukau. Di sebelahnya, perapian modern berdiri sebagai pusat perhatian, dengan kursi-kursi santai berlapis kain abu muda mengelilinginya. Meja kayu rendah di dekat perapian menyimpan beberapa buku dan gelas anggur kosong, seolah menunggu untuk diisi. Lantai balkon berlapis keramik tahan cuaca berwarna batu alam, menciptakan nuansa outdoor yang harmonis dengan kemewahan di dalam. Udara malam yang segar menyusup masuk, membawa aroma pemandangan kota yang tenang namun megah, melengkapi malam yang sempurna di apartemen ini. Keindahan apartemen ini tidak ada apa-apanya dibandingkan apartemen yang Paulina sewa. Kenapa dia baru sadar tempat ini senyaman itu? Sampai pandangannya terus bergeser dan menangkap Jagapathi sedang duduk dengan macbook di depannya. Angin malam membelainya, hingga rambut tampak berantakan tapi tidak mengganggunya sama sekali. “Dia diem aja nyeremin cuy,” gumam Paulina pada dirinya sendiri. Beruntung Paulina bisa memasak. Dia memang tipikal princess, tapi bukan berarti tidak pernah menyentuh dapur. Semenjak Mamanya meninggal, tidak ada yang bisa memasak makanan khas Mamanya, jadilah Paulina memasak sendiri dengan mengandalkan memori. Akibatnya, dia bisa memasak mandiri kadang kala. Malam ini, Paulina memutuskan untuk membuat hidangan Jerman favorit yang sering dia pelajari dari Mamanya, sebuah Sauerbraten—daging sapi yang dimarinasi dengan rempah dan cuka, dipanggang hingga empuk dan disajikan dengan saus cokelat kental. Sebagai pelengkap, dia menyiapkan Kartoffelklöße, bola-bola kentang lembut yang dipadukan dengan sedikit mentega, serta Rotkohl, kubis merah tumis manis yang memberikan keseimbangan rasa. Setiap elemen hidangan dirangkai dengan hati-hati, porsinya pas untuk dua orang. Dia menata meja makan dengan detail sempurna. Piring putih porselen dengan tepian emas diletakkan di atas tatakan hitam, serbet kain dilipat rapi di sebelah garpu dan pisau perak. Paulina menarik kursi dan memandang hasil tataletaknya dengan kritis, memastikan semuanya terlihat sempurna. Hidangan ini bukan sekadar makanan; ini adalah permintaan maafnya atas ketegangan yang terjadi antara dirinya dan Jagapathi akhir-akhir ini. Saat mendengar suara langkah kaki masuk, Paulina segera menegakan tubuhnya. “Makanannya sudah siap, Pak.” Jagapathi terdiam menatap makanan yang tersaji disana. Membuat Paulina sedikit khawatir dan negative thinking. “Um, kalau bapak keberatan, saya bisa bawa makanan punya saya ke tempat lain. Jadi bapak bisa makan sendiri disini.” “Gak usah, duduk aja. Saya mau ngomong aturan-aturan yang harus kamu patuhi disini.” Paulina menelan salivanya kasar, sudah pasti dirinya akan penuh kedisiplinan disini. Dan benar saja, aturan-aturan itu mengharuskan Paulina untuk lebih banyak belajar, dan merawat apartemen. ATM dan kunci apartemen dikembalikan, Paulina bertanggung jawab belanja, bahkan Jagapathi berucap, “Kalau mau jajan silahkan, tapi tahu diri juga jangan sampai melebihi pengeluaran dapur.” “Misalnya…. Saya jajan camilan?” “Iya itu boleh.” “Makasih banyak, Bapak.” “Jangan ge’er, saya kasih izin sebab masakan kamu lumayan enak.” Paulina langsung terdiam. “Saya gak ngomong apa-apa loh, Pak?” “Kamu boleh main, tapi tahu batasan. Saya disini pengganti Papa kamu.” “Iya, Pak.” “Buku-bukunya nanti kamu ambil di perpustakaan, asah dulu otak kamu sebelum menghadap dosen bersangkutan.” “Iya, Pak.” TING TONG! Suara bel berbunyi menghentikan pembicaraan mereka, bersamaan dengan Jagapathi yang menyelesaikan makanannya. “Kenapa malah liatin saya? Buka pintunya,” perintah Jagapathi sambil meraih dessert. Yah, sepertinya Paulina benar-benar menjadi pembantu disini. Padahal dia belum selesai makan. Tidak apalah, daripada berharapan dengan Jagapathi yang menakutkan itu. Paulina kaget begitu melihat monitor, dengan cepat dia membuka pintu. “Layla?” “Hehehehe, gue anterin koper lu nih. Sembari Bapak Kostan titip salam katanya.” **** “Gila ya lu?” Paulina sampai sakit kepala mendengar alasan temannya ini datang, Layla ingin melihat wajah tampan Pak Jagapathi, katanya. Memang awalnya Layla hendak menjenguk Paulina ke kostan baru, tapi ternyata Paulina tidak ada disana, ponsel mati hingga akhirnya Layla yang khawatir menghubungi Pak Dekan menanyakan apakah sang sahabat bersamanya? Jadilah Jagapathi langsung menyuruh Layla membawakan koper dan barang-barangnya dari kostan. Sekalian kesempatan melihat wajah tampan Jagapathi. “Tapi seriusan loh, Pau, wajah Pak Jaga beda banget. Pas di kampus dia nyeremin banget, mana ada waktu buat kagumin dia.” “Lu pikir disini dia gak serem? Serem banget, mana dia tuh nyebelin banget. Tiap detik gue tahan napas kalau deket dia tau,” ucapnya lebih terdengar seperti rengekan. “Ck, tapi lumayan bisa liat wajah gantengnya, Pau. Dia jomblo kan?” “Jangan mikir aneh-aneh, atau gue DM laki lu kalau lu tengil disini.” Seketika Layla tertawa. “Eh, tapi laki gue kasih kabar, katanya beberapa bulan lagi si Ezra rencananya bakalan balik ke Indonesia, dia lagi nyoba masuk ke Perusahaan teknologi yang gede itu, AetherWorks. Di Luar Negara gak seindah bayangan dia soalnya, hahaha kasihan banget ya?” Seketika ekspresi wajah Paulina berubah. Ezra, nama sang kekasih yang menemaninya dari masuk kuliah. Kakak Tingkat yang membuatnya terpesona, sampai akhirnya dia ketahuan selingkuh dengan teman perempuannya yang juga akan ke Luar Negara. Dengan tega, Ezra memilih memutuskan Paulina sambil menorehkan luka dengan kalimat-kalimat seperti, “Aku capek sama kamu, kamu itu manjanya keterlaluan, aku ingetin buat kuliah pun gak nurut. Yang ada dipikiran kamu itu seneng-seneng aja. bukan masa depan. Lihat aja, gak akan ada laki-laki yang mau sama kamu.” “Tentu, aku lebih memilih Jelita daripada kamu. Masa depan dia cerah, kita bakalan kerja bareng ke luar negara. Dan kamu? Jadi beban doang yang ada.” Layla yang menyadari itu berusaha mengembalikan mood sahabatnya dengan mengalihkan pembicaraan, memuji kamarnya sekarang yang bagus dan punya kamar mandi di dalam, juga menggoda bisa menggunakan ATM Pak Jaga sesuka hati. Tapi itu tidak merubah apapun, Paulina masih tampak sedih sampai waktunya Layla pulang. “Udah dong, jangan sedih nih. Gue harus pulang, gue ngerasa bersalah kalau lu masih cemberut gini.” “Kayaknya, ini waktu yang tepat buat gue dapat pacar baru gak sih? Buat buktiin ke dia.” “Heh, fokus dulu sama Pelajaran. Biar lu patahkan semua ucapan si Ezra.” “Ya belajar sambil pacaran, jadi dua-duanya.” “Taulah, dimarahain Pak Jaga baru tahu rasa.” Layla mengedarkan pandangan saat keluar kamar. “Eh, ngomong-ngomong dia dimana? Atau udah tidur?” “Gak usah kepo, gue beneran kasih tau laki lu ya,” ancam Paulina mendorong punggung Layla sampai keluar, kemudian dia menutup pintu dengan cepat. Hhh… memikirkan Ezra membuat kepalanya tidak tenang, Paulina butuh kesegaran sebelum menghadapi Jagapathi di hari-hari berikutnya. Bukan hal mudah melupakannya, mereka bersama terlalu lama, dan Ezra adalah type idealnya, dan cinta matinya. Sehari setelah putus saja, Paulina mengurung diri di kamar tanpa makan dan minum, lalu keesokan harinya ditemukan pingsan oleh Layla, berujung diinfus di rumah sakit. Langkahnya membawa Paulina ke balcony terrace, membiarkan angin membelai wajahnya. Paulina refleks memejamkan mata, membiarkan rambutnya dibelai sempurna, dengan kaki terus melangkah, sambil membayangkan dirinya ada di film india. Anginnya begitu sejuk, sampai Paulina tidak mau membuka mata, dan kaki tanpa sadar melangkah menuju ke pinggiran kolam renang. Di dalam kolam itu, Paulina tidak tahu ada Jagapathi yang tengah bersandar di dinding kolam. Sama halnya seperti Paulina, Jagapathi memejamkan mata merasakan angin yang menerpa berharap membawa pergi permasalahan kampusnya. ‘Astaga, Tuhan, kenapa permasalahan di kampus semakin rumit? Apakah pikiran hanya tenang jika mati? Haruskah aku mati?’ Sedetik setelah Jagapathi membatin, tiba-tiba kepalanya diinjak. DUGGHH! Kepalanya seperti dihantam palu godam, membuatnya tenggelam saat itu juga. “Ya ampun, Bapak?!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN