“Bapak?” panggil Paulina sekali lagi. Dirinya masih duduk di sofa yang ada di ruang televisi, matanya terpaku pada pintu kamar Jagapathi yang tertutup. Pria itu jelas tampak marah saat keluar dari kolam renang, tapi tidak dikeluarkan dan malah menyuruh Paulina membaca buku yang ada diperpustakaan sebelum tidur.
Paulina sudah mengambil salah satu buku, tapi mana bisa dia konsentrasi kalau belum bicara dengan Jagapathi. Terlepas dari itu, Paulina juga bingung memang benar bukunya yang ini? Jadi dia akan pura-pura bertanya sekalian minta maaf. Dosanya sudah terlalu banyak. “Bapak?”
“Tidur, Paulina.”
“Saya mau ngomong sebentar sama Bapak, saya mau minta maaf.”
“Gak usah. Tidur kamu.”
“Sekalian mau nanyain buku yang saya pelajari, ini gak papa ambil random?” Paulina berusaha memancing Jagapathi. Dan ternyata berhasil, pria itu membuka pintu kamarnya. Dia hanya mengenakan bathrobe saja. Tatapan Paulina langsung menunduk, hanya kuat tiga detik menghadapi tajamnya mata elang sang Dekan. “Maaf, Bapak…”
“Masuk, ambil bukunya di deket nakas. Baca itu dulu,” ucap Jagapathi memberi jalan masuk, sementara dia sendiri kembali ke meja kerja di ujung ruangan.
Paulina melangkah masuk, melewati pintu kayu gelap yang berat dengan gagang perak mengilap. Seketika, udara dalam ruangan itu terasa berbeda—lebih dingin, lebih mewah. Pandangannya langsung terpaku pada luasnya kamar Jagapathi. d******i warna hitam dan abu-abu menciptakan suasana maskulin yang elegan, dengan pencahayaan lembut dari lampu gantung modern di tengah ruangan. Sebuah karpet Persia besar berwarna abu keperakan membentang di lantai kayu gelap, melapisi suasana dengan kehangatan minimalis.
Kamar ini sangaaaat luas!
Dinding kaca yang sangat besar menjadi pusat perhatian, memberikan pemandangan kota Jakarta yang berkilauan di malam hari. Dari lantai 24 ini, lampu-lampu gedung tampak seperti taburan bintang yang tak terjangkau. Di sisi kanan, sebuah tempat tidur king-size berdiri megah, dilapisi seprai hitam dengan aksen abu-abu, sementara nakas kecil di sampingnya memegang sebuah lampu baca dan buku-buku yang tertata rapi.
Paulina berjalan mendekat ke nakas, tetapi pandangannya tertarik ke meja kerja di ujung ruangan, yang menghadap langsung ke dinding kaca besar. Meja itu berantakan, penuh dengan tumpukan kertas, folder, dan cangkir kopi kosong yang entah kapan terakhir kali dicuci. Jagapathi duduk di kursi kulit hitam yang tinggi, tubuhnya membungkuk sedikit, satu tangan menekan pelipisnya sementara tangan lainnya memegang telepon. Suaranya rendah dan tajam, berbicara dalam bahasa Prancis dengan kecepatan yang sulit diikuti.
"Non, non, c’est inacceptable! Je vous ai dit de terminer ce rapport avant midi. Pourquoi cela n’a-t-il pas été fait?” (Tidak, tidak, ini tidak bisa diterima! Saya sudah bilang untuk menyelesaikan laporan itu sebelum siang. Kenapa ini belum selesai?)
Jagapathi menghela napas panjang, mencondongkan tubuh ke belakang kursinya.
“Ecoutez-moi. Si cela n’est pas fait avant demain matin, nous aurons de sérieux problèmes." (Dengarkan saya. Jika ini tidak selesai sebelum besok pagi, kita akan menghadapi masalah serius.)
Paulina mengambil buku yang dimaksud dari nakas, tetapi pikirannya tidak sepenuhnya di sana. Matanya kembali melirik ke arah Jagapathi, memperhatikan garis-garis lelah di wajah pria itu. Meski nada bicaranya tajam, ada sesuatu yang rapuh dalam postur tubuhnya, seolah pria itu menanggung beban yang lebih berat daripada apa yang dia tunjukkan.
Begitu Jagapathi menutup telponnya, dia langsung berucap, “Baca dulu itu, saya kasih waktu dua hari diselesaikan. Seenggaknya kamu tahu dasar-dasarnya dulu.”
“Baik, Pak.” Paulina menggigit bibirnya ragu untuk mengatakan apa yang ada dipikirannya. Membuatnya malah diam mematung disana.
“Keluar saya bilang.”
“Bapak mau saya pijitin gak?” tanya Paulina dalam satu tarikan napas. “Waktu Mama saya sakit, saya belajar titik pijat yang bisa bikin rileks. Bapak mau cobain gak?”
“Kamu ada niatan apa, huh? Jangan bilang mau god-”
“Enggak, Pak! Saya serius! Itu cara saya meminta maaf atas kejadian tadi. Kalau bapak gak mau juga gak papa, sebagai gantinya besok saya buat sarapan yang enak ya, Pak. Sekali lagi maafin saya.”
“Eh tunggu.”
Baru juga Paulina berbalik, tubuhnya kini mematung. “Iya?” dan kembali menatap Jagapathi.
“Pijitin kepala saya deh, sakit banget nyutnyut-an. Nyalain Heatnestnya.”
“Heatnest?”
“Itu, pemanas Kasur. Temperature Controlnya di tablet di nakas,” ucap Jagapathi melangkah menuju walk in closet.
Paulina mendekati meja dengan langkah ragu, matanya tertuju pada tablet hitam. Begitu dia mengangkatnya, layar otomatis menyala, memperlihatkan antarmuka yang elegan dan futuristik. Di layar, aplikasi Heatnest langsung terbuka, menampilkan diagram kasur dengan zona-zona yang bisa diatur suhunya secara independen. Warna-warna lembut—biru untuk dingin, merah muda untuk hangat, dan merah untuk panas—mengisi layar, membuatnya seolah memegang kendali atas sesuatu yang lebih dari sekadar kasur.
Dia menggeser jarinya dengan hati-hati, dan peta kasur itu merespons dengan kehalusan yang nyaris ajaib. Angka-angka suhu naik perlahan saat dia menyetel suhu di zona kepala, sementara layar menunjukkan animasi kecil uap hangat yang menjalar perlahan, seperti hembusan nafas lembut. Di sudut layar, sebuah notifikasi muncul: Optimal Comfort Mode Activated.
Paulina memandang layar itu, terpesona. Kasur ini pintar banget anjir... kayak punya nyawa, pikirnya sambil memiringkan kepala, mencoba mencerna kemewahan teknologi yang belum pernah ia bayangkan.
Ketika dia akhirnya menekan tombol konfirmasi, suara lembut dan menenangkan terdengar dari tablet: “ThermaSuite is now warming your bed. Sweet dreams.” Paulina menahan napas sejenak, matanya melirik ke arah Jagapathi yang masih bersandar dengan ekspresi letih. “Gila,” gumamnya pelan, setengah untuk dirinya sendiri. “Ini kasur atau pesawat luar angkasa, sih?”
Namun ternyata, ada yang lebih mengejutkan lagi daripada Kasur dengan teknologi tinggi, yaitu Jagapathi yang keluar hanya memakai celana pendek saja. Badannya beuh! Keren sekali!
“Gak usah liatin saya kayak gitu.”
Dan suara tegas Jagapathi melunturkan kekaguman yang hampir datang, digantikan rasa takut. “Iya, Pak. Saya pijet ya.”
***
Sebagai mahasiswa yang bingung sekarang harus bagaimana sebab teman-temannya sudah sibuk dengan magang ataupun skripsi. Jadi yang Paulina tuju sekarang adalah Prodi, bertanya pada ketua Prodi harus bagaimana? Tentu saja Paulina mendapatkan teguran seperti, “Kamu ini gimana sih? Dari sebelumnya loh udah diperingatkan supaya lekas menyusul. Mahasiswa yang kayak kamu ini yang semakin memperburuk citra Fakultas dan Yayasan. Sekarang kamu temuin dosen dari semester 3 dari urutan mata kuliah paling atas.”
Hukum Perdata Internasional, ke ruangan Dosen itulah Paulina melangkah. Nama Dr. Siti Hardiyanti Paramitha, S.H., M.H. tertulis di depan pintu ruangan dosen yang ada di lantai dua Gedung Fakultas. Paulina mengetuknya beberapa kali, menunggu jawaban dari sang dosen. “Bu? Permisi?”
“Mau ke Ibu Siti?”
Paulina menoleh seketika. “Iya, Kak? Eh, Pak?”
“Hahaha, Kakak aja gak papa. Lagian aku Cuma Asdos. Bu Siti nya lagi keluar kota, jadi sama aku dulu aja ya,” ucap pria itu membuka kunci pintu ruangan dan masuk lebih dulu. “Ayok, masuk. Silahkan duduk.”
Sambil melangkah, Paulina berfikir kenapa asisten dosen ini tampak familiar sekali? “Kakaknya ini…. mantan ketua BEM bukan?”
“Iya, hehehe. Aku yang ospek kamu waktu itu. Kenapa keliatan ragu itu? Keliatan nih jarang banget masuk kampus ya?”
“Bener banget, Kak. Ini aja harus ngulang kelas, diminta Prodi dapetin kelas singkat dengan tugas pengganti. Harusnya aku lagi bimbingan atau magang, masih ngurusin ini.” Paulina otomatis jadi lebih santai karena pembawaan mantan ketua BEM bernama Raven ini. Bahkan tertawa mendengar situasinya sekarang. Bukan tawa menghina, melainkan menganggap hal ini lucu. Dan Paulina diberi saran untuk menguasai mata kuliah kalau ingin kelas susulan yang singkat. “Sebenernya menghafal sama memahami itu beda, ada tips and trick nya. Mau aku bantu gak?”
“Mau banget, Kak! Bisakah?!” Paulina antusias. “Jadi bisa wisuda akhir taun ini?”
“Hahahaha, gak sesingkat itu juga. Paling tahun depannya lagi, paling cepet gelombang kedua Angkatan 2019. Itu kalau kamu menguasai semua mata kuliah.”
“Bantuin, Kak,” ucap Paulina tanpa tahu malu. Dia sudah kepeped bingung.
“Hahaha, gampang. Mau ke perpustakaan sekarang nggak? Ambil buku Hukum Pidana Internasional, sekalian kasih tips memahaminya.”
“Mau, Kak!”
Dan ternyata, Raven bukan hanya memilihkan buku untuknya, tapi juga mengajarkan beberapa materi supaya Paulina memahaminya. Buku yang diberikan Jagapathi semalam hanya dasarnya saja, yang Raven lebih spesifik. “Paling nanti kalau kamu lulus test lisan, bakalan diminta buat bikin makalah. Sekarang pahami dulu peraturannya.”
Paulina juga merasa lebih nyaman dan paham bersama dengan Raven, sesekali diselingi candaan. Tapi serius! Pelajarannya bisa diserap dengan mudah, Paulina juga tidak tegang. TRING! Sampai ponsel Paulina berbunyi, pesan masuk membuat wajahnya serius. “Kenapa?” Tanya Raven.
Paulina salut, bahkan pesan dari Jagapathi bisa membuatnya merinding dan ketakutan. Dia tidak paham, mungkin efek berbagai kesalahannya juga. Padahal isi chatnya adalah:
Pak Dekan: Makan malam nanti bikinin bumbu yang pake mangga muda, pengen yang seger-seger.
“Na? Kenapa? Orangtuamu ng-chat?”
“Huh? Iya, Kak. Eh, mau tanya dong. Kalau buah mangga yang ada disekitar Rektorat itu boleh dipetik mahasiswa nggak, Kak?”
“Boleh lah, kan itu punya Yayasan. Asal jangan ambil semua aja. Kenapa emang? Kamu mau?”
“Iya, mau ambil dua, gak papa?” sebab Paulina tahu akan sulit mencari mangga muda di toko atau mall, lebih baik yang gratis juga sih.
“Ambil aja. Nanti beres aku kelas deh kita kesana ya?”
“Eh aku sendiri aja, Kak. Gak usah dianter serius.” Paulina menolak secara halus, malu kalau segala minta tolong Raven. Sebagai ganti penolakan, Raven meminta nomor ponsel Paulina, katanya nanti akan mengusahakan pada Bu Siti supaya Paulina tidak perlu mengulang kelas dengan adik tingkat.
Setelah perpisahan itu, Paulina melangkah menuju ke sekitar rektorat. Siang hari yang begitu Terik membuat beberapa orang memilih bersembunyi dalam Gedung, mempermudah Paulina untuk mengambil buah mangga. Pilihannya jatuh ke pinggir Gedung, dimana tempat itu benar-benar sepi. “Njirlah yang muda nya ada di atas.” Perempuan itu melihat ke sekitar. “Gak papa kali ya naik aja,” lanjutnya melepas Sepatu.
Paulina memanjat dengan cepat, memetic mangga dan memasukannya pada tas. Tidak peduli dengan getahnya, yang penting bisa memuaskan Jagapathi. Ketika hendak turun, Paulina samar-samar mendengar suara orang berbicara. Membuatnya cepat-cepat turun tapi tidak memperhatikan kemana kaki menginjak.
Hingga dahan kecil diinjak… “Aaaaaa!” Paulina menjerit memejamkan mata, siap menghantam tanah. Namun, dia tidak kunjung merasakan benturan.
“Loh, kamu ngapain di atas sana?!”
Paulina membuka mata, menyadari bahwa pakainnya menyangkut di dahan, membuatnya melayang dengan tangan dan kaki terlentang. Dan disana…. Jagapathi berserta jajaran Rektor, juga seorang satpam yang menunjuk tongkat padanya.
“Turun, mahasiswa mana kamu?” tanya satpam itu lagi.
Paulina menatap Jagapathi yang memalingkan wajah. Yakin bahwa pria itu tidak mau mengakuinya sebagai mahasiswa Fakultas Hukum.
***
Paulina berdiri di depan kompor, aroma mentega yang meleleh mulai memenuhi dapur. Dia menuangkan sedikit minyak zaitun ke wajan panas, lalu menempatkan fillet ikan kakap yang sudah ia bumbui sebelumnya. Bunyi “cesss” menggema ketika ikan bersentuhan dengan permukaan wajan, membuat Paulina tersenyum puas. Tangannya cekatan, membalik ikan itu dengan spatula, memastikan sisi luarnya berwarna keemasan sempurna. Di sebelahnya, mangga muda yang telah diparut halus dicampur dengan cabai, bawang merah, perasan jeruk nipis, dan sedikit madu, menciptakan salsa berwarna cerah yang menggugah selera.
Pan-Seared Fish with Spicy Mango Salsa, menjadi menu pilihannya untuk makan malam.
Lagu Jaran Goyang bergema dari ponselnya yang diletakkan di meja dapur, dan tanpa sadar, tubuhnya mengikuti irama. Pinggulnya bergerak luwes ke kanan dan kiri, selaras dengan hentakan dangdut, seolah dia sedang tampil di atas panggung, bukannya dapur mewah seorang dekan. Sesekali dia melirik salsa mangga muda di mangkuk, memastikan rasanya pas sambil bersenandung kecil, suaranya nyaris kalah oleh musik.
Jagapathi yang baru masuk apartemen, terhenti di ambang pintu. Mata tajamnya memperhatikan Paulina dari belakang. Perempuan itu begitu asyik berkutat, memunggunginya, hingga tidak sadar bahwa dia tengah menjadi pusat perhatian. Kaos longgar yang dia kenakan bergerak mengikuti alunan tubuhnya, menciptakan harmoni antara irama dangdut dan suasana dapur yang dipenuhi aroma lezat.
“Jaran goyang…. Jaran goyang.”
Ke kanan, ke kiri, dung tak dung tak! Begitulah pinggulnya goyang patah-patah.
“Bukannya saya bilang buat gak berisik?”
Paulina yang panik refleks berbalik, membuat ponselnya terbanting dan lagu berhenti seketika. “Yahhhhhh!”
“Ya enggak dibanting juga,” ucap Jagapathi sambil melangkah menuju kamar. “Ganti baju kamu, jangan pake celana pendek kayak gitu.”
Paulina sampai berfikir hari sialnya ini penebus dosa pada Jagapathi. Sebelum kembali dimarahi, perempuan itu melakukan apa yang diminta oleh sang Dekan. Jadi saat Jagapathi keluar, makan malam sudah siap dengan penampilannya yang sudah berganti.
“Kenapa makan malamnya Cuma satu?”
“Saya lagi pengen nasi goreng, Pak. Udah buat duluan, jadi itu buat bapak aja. Saya tinggal ya, Pak. Kalau ada apa-apa panggil saja,” ucap Paulina mengambil mangkok dari kulkas dan menuju kamar.
“Mau kemana? Makan disini,” ucapan Jagapathi lagi-lagi tidak bisa dibantah, terlalu takut jadi Paulina duduk saja di kursi biasa dimana dirinya berhadapan dengan sang Dekan yang kini mulai menyantap makanannya. Paulina pun mulai menyantap rujak mangga yang tadi dia buat. “Lain kali gak usah manjat gitu lagi, beli aja.”
“Iya, Pak.”
Dugaan Paulina benar, Jagapathi memarahinya perihal tadi, juga jangan bergoyang seperti sebelumnya. “Padahal saya gak kepikiran kamu suka dangdut loh?”
“Layla pernah ngajak saya nonton konser dangdut, jadilah saya suka, hhhh…” rasa pedas mulai menguasai lidahnya, tapi telinga Paulina tetap mendengarkan Jagapathi yang menyuruh Paulina tetap mempelajari dasar-dasar hukum dengan buku yang dia berikan.
“Iya… ahhh… iya, Pak… Ahh… shhh…”
“Ekhem!”
“Maaf, Pak. Rujaknya… ahhh… pedes banget.” Paulina menyeka keringat yang sampai menetes dari leher ke dadanya. Bagaimana wajahnya memerah, rambutnya lepek akibat pedas, dan mulutnya terus mengeluarkan suara seperti, “Ahhh… shhh… ahhh…”
“Kamu mau niat goda saya atau gimana? Gak usah desah gitu.”
Paulina langsung terdiam. “Enggak, Pak. Saya gak ada niatan goda, ini emang pedes, gak niat desah.”
“Hentikan godaan kamu, itu gak akan merubah keharusan kamu menguasai semua Pelajaran.”
“Pak? Saya bilang saya nggak goda loh. Ini emang… ahh… pedes.”
“Kalau gitu gak usah makan makanan pedes lagi di depan saya.” Kemudian menyelesaikan makan malamnya sebelum habis dan melangkah pergi begitu saja, meninggalkan Paulina yang menatap heran disana. Saking kesalnya, Paulina menusuk sisa daging ikan dengan garpu kemudian mengunyahnya kuat. “Pantesan itu orang gak laku-laku, orang kelakuannya kayak gitu,” gumam Paulina merinding. “Ganteng doang, akhlak gaada, lagian siapa yang mau goda dia. Takut duluan gue.”
Untungnya, Paulina punya moodboster baru, yaitu Raven. Mereka telponan sampai larut malam, dan Paulina merasa…. Hatinya berbunga-bunga ketika Raven mulai merambat pada hal pribadi. Saking nyamannya, dia tidak sadar jam berapa sekarang. Kembali tersadarkan oleh suara benturan dari unit disamping, ternyata ini jam 11 malam. Entah kenapa suara benturan di dinding selalu terdengar dari malam sampai menjelang pagi. Paulina jujur merasa terganggu, jadi begitu telpon terputus, dia keluar dari unit apartemen Jagapathi menuju ke pintu disebelahnya.
Dia ketuk dan tekan bel berkali-kali, menunggu dengan kesal. Beberapa menit berlalu, akhirnya pintu terbuka, dan Paulina langsung saja protes, “Tolong ya, Mas. Jangan berisik kalau malam, terdengar ke kamar saya, lagi malu atau gimana?”
Lawan bicaranya bersembunyi dibalik pintu, membuat Paulina kesal. “Tolong buka sebentar saya mau ngomong,” ucapnya sambil mendorong, terlalu keras sampai pria itu mundur dan pintu terbuka lebih lebar. Dan Paulina tidak pernah menyangka dengan apa yang dilihatnya, kepala manusia yang terlepas dari lehernya, dengan luka lebam dan darah mengalir sebagai bukti bahwa kepala bunting itu dibenturkan berkali-kali.
Seketika tubuh Paulina bergetar, kakinya tidak dapat bergerak apalagi saat pria yang ada dibalik pintu itu memegang pisau penuh darah.
“Aaaaaaa!”
JLEB! Dan sebelum pisau itu mendarat di tubuh Paulina, perempuan itu lebih dulu merasakan sebuah pelukan. Jagapathi menghadang tusukan dengan tubuhnya, tepat di pinggang.
“Bapak!”