Author Pov.
Felina seperti tak ada gairah ke kantor karena melihat Arnold selalu di hadapannya, apalagi duduk tepat di hadapannya hanya terpisah tembok kaca yang begitu bening. Namun jelas terlihat di depan matanya, apa pun yang di lakukan Arnold selalu menarik perhatiannya dan itu mengganggu konsentrasinya. Felina berusaha tidak melihat, meski bayangan wajah Arnold semakin membuatnya tidak konsentrasi.
Bekerja dengan sang mantan suami adalah sebuah situasi yang mungkin menakutkan dan berpotensi menjadi penuh kekacauan. Memutuskan hubungan percintaan saja sudah merupakan hal yang sulit untuk di lakukan bahkan ketika tidak harus terus bertemu secara teratur dengan sang mantan di tempat kerja. Akan tetapi, Felina dapat menghindari kesulitan ini dan menciptakan hubungan yang baik dengan sang mantan. Dengan bersikap terus terang dan fokus yang jernih keduanya bahkan dapat mengubah ketegangan yang mendasari hubungan tersebut menjadi motivasi yang baik untuk merawat diri sendiri dan berbagai tujuan yang menyangkut pekerjaan keduanya dengan lebih baik. Felina harus bersikap biasa-biasa saja meski sulit untuk ia lakukan.
Sampai di kantor, Felina langsung duduk dan menghela napas yang panjang, tak seorang pun ada di kantor saat ini, karena semua karyawan belum datang, apalagi di departemen keuangan.
Felina tak sengaja melihat Arnold baru keluar dari kamar ganti yang ada di dalam ruangan itu dan memakai jasnya. Felina berusaha menunduk agar tak sampai bertatap muka dengan mantan suaminya tersebut.
Ketika Arnold melihat ke arahnya, Felina kembali menundukkan kepalanya agar tak terlihat ketika ia sedang menatap mantan suaminya itu. Sungguh memalukan jika ia harus melakukan itu.
Sesekali Felina melihat ke arah Arnold yang sedang serius bekerja.
"Semua ini mungkin yang terbaik buat kamu, Nold, tak melihatku atau pun pura-pura tak mengenalku jika itu yang terbaik agar kamu merasa nyaman aku pun akan melakukan hal yang sama untuk kebaikan kamu, mulai sekarang aku akan pura-pura tak mengenalmu, aku berharap selalu kebahagiaanmu, semoga dengan ini akan mengurangi dosaku kepadamu, meski tak bisa ku bayar," kata Felina dalam hati sembari menatap ke arah Arnold yang lagi duduk sembari melihat pekerjaannya.
Arnold menyadari tatapan Felina, namun ia sengaja tak melihat ke arah mantan istrinya itu, karena kehadiran Felina di saat ia bekerja sudah mengganggunya, apalagi harus betatap muka setelah sekian lama.
"Kamu lagi liatin pak Arnold, ya, Fel?" goda Soli kepada Felina, karena tak menyadari kedatangan Soli dan Lena, ia lalu pura-pura membersihkan meja kantornya karena sudah terciduk dengan tatapannya barusan.
"Apaan sih, aku hanya bersihin ini kok," jawab Felina sembari meniup kotoran walaupun sebenarnya tidak ada kotoran.
"Udah ngaku aja, lagian ngapain bersihin kotoran, kan ada Mang Parjo yang udah bersihin semua ini sebelum kita datang, lihat tuh udah bersih banget, ‘kan? Kita mah gak masalah ya , kamu mau lihatin Pak Arnold apa gak, asalkan kamu musti bersaing secara sehat dengan kita semua," kata Soli yang duduk di kursi menghadap meja kerjanya.
Arnold sempat melihat ke arah Felina yang sedang di goda rekan kerjanya, namun dengan cepat ia langsung memalingkan wajahnya lagi karena tak ingin larut dalam perasaannya. Perasaan yang selama ini sangat susah jauh dari hati dan pikirannya.
Tidak mudah memang melupakan Felina. Namun, apalah artinya bertahan dalam perasaan yang membuatnya semakin tidak karuan. Apalah artinya menjaga harapan yang hanya melahirkan sesak demi sesak kemudian. Rasanya hati hancur berkeping-keping ketika harus menjadi bagian dari masa lalu pasangan dan kembali melihatnya di masa depan yang sudah di tata dengan rapi. Apalah daya, Arnold juga manusia, meski berusaha melupakan namun hati dan perasaannya semakin kuat.
Sejenak Felina melihat ke ruangan Arnold dan melihat Arnold masih fokus bekerja.
****
Renata masuk kedalam ruangan Arnold dan duduk tepat di hadapannya sesuai yang di perintahkan Arnold. Renata tidak tahu menahu tentang panggilan Arnold yang mendadak seperti ini, biasanya jika ia meminta berkas atau dokumen tentang keuangan, pasti Arnold hanya menghubungi lewat telpon.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Renata selaku manager di departemen keuangan.
"Karyawan atas nama Felina Bian Wulandari bisa kamu keluarkan dari perusahaan saya?" tanya Arnold tegas. Renata menautkan alis, merasa ada yang aneh kenapa hanya Felina yang menjadi sorotan sang CEO saat ini.
"Felina? Tapi kenapa, Pak? Alasannya apa? Lantas Bapak tahu dari mana nama lengkap Felina? Seingat saya, saya belum melaporkan nama dan resume karyawan kepada anda.” Renata begitu keheranan melihat sikap atasannya itu, rasa penasaran pun menguasai pikiran Renata.
Arnold lalu bingung harus menjawab apa kepada Renata yang belum mengetahui hubungan di masa lalu antara dirinya dan juga Felina. Apakah harus membawa hubungan masa lalu ke masa depan? Meski dalam lingkup pekerjaan? Apakah yang Arnold lakukan benar? Kenapa harus begitu?
"Saya melihatnya lewat sistem, tapi itu tidak penting, saya hanya mau keluarkan dia dari perusahaan saya, saya tidak harus memberikan alasan, ‘kan? Ini perusahaan saya, jadi terserah saya mau memperkejakan siapa dan menghentikan siapa," kata Arnold lagi. Membuat Renata menghela napas diam-diam karena tidak tahu alasan apa yang membuat Arnold menyuruh dirinya memecat Felina.
"Tapi, Pak, sesuai kontrak kerja yang sudah Felina dan perusahaan tanda tangani kontraknya berakhir dua bulan lagi karena Felina sudah bekerja selama 22 bulan di perusahaan dan Felina memiliki dedikasi yang baik, Pak, di antara karyawan saya hanya Felina yang kerjaannya cepat dan sesuai harapan, saya bermaksud akan menjadikannya karyawan tetap seperti yang lain, Pak," kata Renata menjelaskan. Tidak adil saja rasanya memecat Felina tanpa alasan.
"Baiklah kalau begitu, tunda pengangkatannya jadi karyawan tetap, kamu harus lapor ke saya setelah dua bulan itu, saya tidak perduli dedikasi atau apa pun itu, di luar sana masih banyak yang berdedikasi dan kompoten serta lulusan dari luar negeri, dia ‘kan hanya lulusan universitas pedesaan, ini perusahaan saya, saya berhak atas semuanya!" Arnold menegaskan. Renata mengangguk membenarkan.
"Baik, Pak. Kalau tidak ada lagi, saya permisi," kata Renata pamit.
Renata sempat keheranan kenapa Atasannya tak suka dengan Felina sedangkan Renata sangat menjempoli Felina atas kerja kerasnya selama ini, namun ia tak bisa mengatakan kepada Felina atau pun menanyakan sesuatu di luar dari pekerjaan. Meski Renata penasaran ada apa sehingga melibatkan Felina dan hanya Felina?
Ketika jam makan siang, Felina di ajak oleh Soli untuk makan bersama di kantin tapi ia tak bisa karena seperti biasa dia membawa bekal dari rumah yang bisa di makannya siang ini. Felina sudah terbiasa tidak jajan diluar, selain irit ongkos, Felina juga lebih suka membawa bekal dibandingkan harus makan diluar.
Felina memiliki rencana untuk mencari rumah yang agak besar sedikit dari kostsannya dengan Resta sekarang, asalkan punya dua kamar, dapur, ruang tamu serta dekat dengan kantor, namun uang yang dia kumpulkan selama ini belum cukup.
“Kamu gak makan siang di luar, Fel?” tanya Lena, kepada Felina yang masih mengotak-ngatik komputernya.
Felina menggeleng seraya tersenyum. “Seperti biasa, aku membawa bekal kok, makannya entaran aja, aku masih belum lapar.”
“Bekalmu juga gak sehat, Fel, makan yang bergizi kenapa, sih? Kasihan loh perut kamu kalau di masukin telur ceplok mulu,” Lena memang tahu apa isi dari kotak bekal Felina.
“Aku gak apa-apa, udah biasa makan seperti itu, kamu makan siang gih, Soli pasti udah nungguin, aku di kantor aja gak apa-apa,” kata Felina.
“Kamu beneran mau makan di kantor saja?” Lena kembali bertanya.
“Iya. Aku beneran gak apa-apa kok.” Felina mengangguk,
“Ya udah. Aku pergi dulu, ya,” kata Lena, seraya melangkah meninggalkan Felina yang masih bekerja.
“Felina, kamu tidak makan siang?” tanya Renata, ketika melihat Felina masih bekerja, sedangkan sudah waktunya jam makan siang.
“Bentar lagi, Bu, saya akan makan siang di pantry, saya bawa bekal,” kata Felina.
“Kita makan siang di luar saja, kamu mau? Saya traktir deh,” kata Renata.
Felina menggeleng. “Tidak usah, Bu, saya di kantor saja.”
“Anggap saja ini perintah, Felina,”
“Baik, Bu, biar saya bawa bekal saya dan makan sama Ibu,” kata Felina merunduk.
Renata tersenyum seraya menggeleng. “Taruh kotak bekalmu dan makan siang dengan saya.”
Karena tidak enak terus menolak ajakan atasannya, Felina akhirnya mau makan siang dengan Renata.
“Baiklah. Saya ambil tas dulu,” kata Renata.
Felina mengangguk dan mengiyakan. Sekilas Felina menatap ke arah ruangan Arnold dan melihat Arnold masih fokus bekerja. “Apa dia sudah makan siang? Kenapa masih kerja?”
“Siapa yang sudah makan siang, Fel?” tanya Renata, membuat Felina gugup.
“Bukan siapa-siapa, Bu.”
“Baiklah. Ayo ….”
****
Felina dan Renata sampai di sebuah restoran yang sepuluh meter jaraknya dari kantor, Felina merasa tidak enak menerima traktiran Renata yang sudah sering kali mentraktirnya.
“Kamu masih tinggal sama temanmu, Fel?” tanya Renata.
“Iya, Bu, masih.”
“Kenapa kamu gak tinggal sendiri aja? Kost di dekat kantor ‘kan banyak, Soli dan Lena juga kost di dekat kantor,” kata Renata.
“Resta bukan sekedar teman, Bu, tapi dia juga sahabat dan melebih saudara, saya juga memang sedang mencari kost baru, yang lebih luas, namun harganya lebih murah,” kata Felina.
“Kost yang luas, dengan harga yang murah? Memangnya ada?”
“Kalau ada alhamdulillah, Bu,” jawab Felina.
“Seperti yang saya dengar, kost Lena dan Soli luas juga loh, tempatnya juga strategis dan aman, itu yang saya dengar dari Soli.”
“Coba nanti saya tanya Soli, Bu, siapa tahu di tempatnya masih ada yang kosong, soalnya kalau dekat juga, ‘kan, saya jadi hemat ongkos kemari,” kekeh Felina.
“Saya tahu. Kan lebih baik seperti itu, kost dekat kantor dan bisa mengirit biaya ongkos. Sekarang ‘kan ongkos mahal.” Renata membenarkan.
“Ini pesanannya, Bu,” kata pelayan resto lalu menatap pesanan di atas meja.
“Ibu pesannya banyak sekali,” kata Renata.
“Makan saja, Fel.” Renata mengangguk seraya tersenyum.
Sepeninggalan pelayan hotel, Felina mencicipi satu persatu makanan yang sudah di pesan atasannya itu, Renata tidak beda jauh dengan umur Felina, namun Renata bekerja sebagai manager di tempatnya bekerja dan itu suatu kehormatan baginya untuk makan bersama atasannya.
“Apa saya boleh bertanya, Fel?” tanya Renata.
Felina mengangkat wajahnya. “Boleh, Bu, tanyakan saja.”
“Apa kamu dan Pak Arnold ada masalah?”
“Masalah? Kami–“ “Kalian kenapa?”
“Kami tidak ada hubungan apa-apa, Bu,”
“Jujur saja, Fel, jika memang tidak ada apa-apa, lantas kenapa Pak Arnold menyuruh saya tidak memperpanjang kontrak kerjamu? Saya mengatakan ini hanya karena ingin tahu alasannya apa yang sebenarnya terjadi sampai Pak Arnold menyoroti kamu.” Mendengar hal itu, Felina menjadi sedikit sakit.
“Sebenarnya–“ Felina ragu melanjutkan perkataannya.
“Ada apa? Kamu tidak ingin cerita ke saya? Apa kamu masih menganggap saya sebagai atasan kamu?”
“Bukan begitu, Bu, saya hanya ragu dan tahu harus cerita darimana awalnya,” kata Felina.
“Baiklah. Jika tidak ingin cerita tidak apa-apa,” jawab Renata.
“Sebenarnya Arnold adalah mantan suami saya, Bu. Kami sudah lama bercerai dan baru bertemu lagi sekarang ini,” kata Felina, berhasil membuat mata Renata membelalak tak menyangka. “Saya juga minta tolong, Bu, agar merahasiakan masalah ini dari rekan kerjaku yang lain, saya tidak ingin masa lalu mengusik saya.”
“Saya tidak akan menceritakannya, saya juga tidak akan tanya masalah apa yang menyebabkan perceraian kalian dan membuat Pak Arnold tidak suka sama kamu. Karena itu urusan pribadi kamu, saya cukup tahu alasan Pak Arnold ingin mencabut kontrak kerja kamu yang tersisa dua bulan lagi. Saya sebagai bawahannya sangat kecewa dengan cara Pak Arnold bekerja, perasaan pribadi dan pekerjaan tidak ada hubungannya, kenapa jadi disangkut pautkan?”
“Terima kasih, Bu, atas pengertiannya, meski Pak Arnold mengatakan hal itu mungkin karena dia tidak nyaman ada saya di perusahaannya,” kata Felina.