Mengungkap Jati Diri

1558 Kata
Westminster, Inggris "Masih betah disitu?" Seorang gadis menghampiri gadis lainnya yang setia menyedekapkan tangannya di depan jendela tinggi lantai 2 rumah itu. Hamparan rerumputan hijau tersedia di depannya. Suguhan panorama pagi yang menyejukkan di di awal musim semi membuat mata seakan enggan untuk berpaling. "Aku hanya merasa lebih tenang seperti ini," jawab gadis yang kini mendudukkan diri di sebuah kursi dengan sandaran punggung tinggi. Rumah berlantai dua yang bergaya Victoria dengan nuansa dinding putih dan beberapa bagian di d******i oleh kaca membuat kesan rumah lebih luas. Mempertahankan gaya furniture klasik membuat rumah terasa sejuk ditambah musim semi yang sedang indah indahnya ini. Ya, gadis itu adalah Anjani. Ia dengan semua keyakinan hatinya memutuskan untuk mengikuti Femy ke salah satu rumah yang gadis itu bilang adalah rumahnya. Anjani sendiri tak mengerti apa maksud pasti Femy. Yang dulunya mereka selalu bersitegang atas ketidaksukaan Femy karena David selalu mendekati Anjani kini gadis itu malah dengan tangan terbuka mengatakan untuk membantu Anjani menemukan jati dirinya. Tidak terlalu mengejutkan setelah Anjani menemukan map di ruang kerja Desta yang berisi tentang semua aset keluarga Atmaja. Dan entah ini keberuntungan atau kemalangan ada namanya yang terselip disana. Anjani belum mengerti sepenuhnya dan apa hubungan dari semua ini hanya saja firasatnya berkata lebih baik mengikuti Femy. Ancaman David untuk menghancurkan Desta bukanlah main-main. Setelah kepergiannya, dia membaca berita di salah satu laman tentang dirinya, Desta, dan David. Anjani tidak bisa hanya berlindung dibelakang Desta menuruti kemauan pria itu sekarang. Bahkan pernikahannya pun batal. "Kita tidak akan buru-buru. Kamu akan tahu banyak hal tentang dirimu disini. Besok kita akan bertemu Tuan Vinc dan Tuan Mario yang khusus aku bawa dari Indonesia untuk menyelesaikan urusanmu," tutur Femy masih gamblang. "Urusan tentang apa?" Anjani tidak mau menerka yang akan membuat kepalanya makin pening. "Aset kekayaanmu, jati dirimu, dan kebenaran semua keluargamu. Termasuk hubungan kita berdua," setelah mengucapkannya Femy menghela napas kasar. Pada akhirnya dia harus menyelesaikan ini semua. Kesadaran yang ia dapat setelah menemukan bukti yang bertahun tahun disembunyikan sang papa. Anjani hanya mengangguk kecil dan kembali memalingkan wajahnya ke hamparan rerumputan. "Kamu mau jalan-jalan? Kita bisa berkeliling. Kamu mau kemana. Banyak tempat yang bisa kita kunjungi. Hyde Park, Big Ben, Galeri Nasional, Westminter Pier, atau kamu mau duduk santai menikmati suasana di sekitar sungai Thames mungkin," ucapan Femy sangat bersahabat. Anjani terkekeh dengan pertanyaan Femy. Dia sendiri bahkan tidak berpikir apapun apalagi jalan-jalan. Sesuatu yang masih mengganjal di hatinya itulah yang ingin dia tekan sekarang. Mempengaruhi keyakinan yang sudah gadis itu pupuk sejak beberapa hari lalu. "Femy" Anjani tiba-tiba berucap dingin dan hampir membuat Femy tersedak moccha latte nya sendiri. "Apa?" Anjani yang memang tidak suka berbasa basi menatap Femy lurus seakan tujuannya sekarang hanyalah pada gadis itu. "Katakan padaku apa maksudmu melakukan ini semua" ucapan Anjani masih tajam dengan mata yang terus lekat pada lawan bicaranya. Femy tergelak mendengar penuturan Anjani. Akhirnya dia bangkit dan meraih lengan Jani menuju ke sebuah ruangan. Semacam ruang kerja dengan rak buku yang mengelilingi, ada sebuah meja tak begitu besar dan kursi kerja yang masih bernuansa klasik. Sofa tamu letter L dengan meja kayu terlihat usianya sudah cukup lama. Femy bergerak ke meja kerja dan mengambil sebuah map memberikannya pada Anjani yang sudah duduk di sofa. Map berisi beberapa berita kecelakaan yang semuanya adalah kecelakaan mobil. Anjani tidak mengerti karena semua berita itu memuat tentang keluarga pengusaha ternama Jordy Putra Atmaja dan istrinya Hilda Rumi. Atmaja? Bukankah ini keluarga Femy? Seakan memahami arah pemikiran Jani, Femy mendudukkan dirinya di sofa single berseberangan dengan gadis itu. "Itu kecelakaan yang dialami keluarga pamanku, lebih tepatnya kakak dari Papa, beberapa tahun silam. Dia dan istrinya meninggal, dan putri mereka dinyatakan hilang." Anjani menatap Femy kembali. Sebuah benang merah seperti terulur di otaknya dan kini kepalanya mulai terasa pening. "Dulu Papa pernah bilang bahwa aku punya kakak sepupu yang usianya sepantaran denganku. Saat kecelakaan itu gadis itu hilang dan Papa menemukannya di sebuah panti asuhan. Aku tidak tahu siapa yang melakukan yang pasti gadis itu pernah disekap dengan tujuan untuk dibunuh tetapi buktinya gadis itu bisa kabur dan sampai sekarang belum ditemukan," jawaban Femy kembali menuai garis benang yang sedikit demi sedikit membuat banyak cabang di saraf memori Anjani. Anjani merasakan kepalanya pening kembali. "Aku...," ucapan gadis itu terbata. "Asal kamu tahu Jani, saat aku menemukan fotomu dan David di hotel waktu itu bukan karena perbuatan kalian yang membuatku tercengang. Tetapi bekas luka di punggungmu yang akhirnya membuat Papa sadar bahwa kamu lah gadis itu. Putri Tuan Jordy, Tiffany Rumi Atmaja," kembali Femy menghela napas beratnya. Jani tercengang. Bukan lagi, dia kaget. Jadi apa yang Desta cari itu adalah tentang kebenaran dirinya dan keluarganya. "Siapa saja yang tahu tentang ini?! Katakan padaku Fem!!" Anjani kini berkabut emosi. Jadi orang tua yang selama ini ia pikir menelantarkannya di panti asuhan ternyata sudah meninggal. Dan bagaimana ia bisa kesana. Lalu disekap?! Pantas saja mimpinya selama ini begitu buruk. Memori demi memori itu kembali berkumpul dan saling menghubung. Luka di punggung. Anjani tahu itu. Dia selalu menyembunyikan luka itu. Meski dia tidak pernah ingat bagaimana ada bekas luka itu, namun ia selalu tertegun setiap melihat luka yang setia menghiasi punggung cantiknya. Tiba-tiba terdengar suara isakan. Femy menangis? Kenapa? "Fem, kenapa menangis? Apa aku bertanya hal yang salah?" Anjani semakin dibuat pening. "Maafkan Papa, Jani!" Ucapan Femy jelas terdengar mengejutkan. Untuk apa dia meminta maaf untuk Papanya. Bukankah berarti mereka bersaudara dan harusnya dia senang untuk itu. "Papa yang sudah membuatmu begini dan juga, Tuan Daniel Wijaya... maaf," bagai tersambar petir berkekuatan ribuan kilo volt Anjani diam memaku. Apa ini kabar baik atau kabar buruk? Femy membongkar kebusukan ayahnya sendiri. Anjani memegang dadanya yang mendadak sesak. Semua oksigen di udara terasa hilang entah kemana. "Jangan hukum Papaku Jani, itu semua karena dia ingin kehidupan kami bisa seperti kalian, keluarga Atmaja yang sebenarnya," derai tangis Femy makin deras. "Apa aku harus mengutuk kalian?! Atau berterima kasih padamu Fem?! Kita bersaudara tapi kenapa harus kalian yang melakukan ini padaku dan kedua orang tuaku!!" Anjani marah. Baru kali ini dia meluapkan amarah sebesar ini. Pribadinya yang tidak suka meladeni emosi dan lebih memilih menggunakan hati dalam setiap masalah kini sulit dikendalikan. "Maafkan kami Anjani..." Femy duduk bersimpuh di kaki Jani. Gadis itu menangis meluapkan semua rasa bersalah yang sebenarnya baru dia sadari sekarang. Bahkan semua kesalahan itu bukanlah karena sendiri tapi ulah ayahnya. Namun semakin lama dia semakin kehilangan David karena rencana yang disusun Papa dan rivalnya Tuan Daniel Wijaya. Jadi mau tidak mau, Femy harus menghentikan semua ini. Dengan berharap pengampunan Anjani untuk dia dan ayahnya. "David juga? Inikah tujuannya yang terus saja mengejarku, benar seperti itu?!" Anjani terasa bangun dari tidur. Kenyataan yang ia dapat seakan membalik hatinya saat itu juga. David yang dulunya baik, perhatian, makin lama menjadi obsesi karena tertarik padanya hanya semata-mata demi kekuasaan dan akal bulus ayahnya juga, Daniel Wijaya. Femy tak kuasa lagi membalas. Ia mengangguk beberapa kali menyatakan semua yang disangka Anjani memanglah benar. Anjani ikut luruh. Tubuh itu terduduk di sebelah Femy dengan map yang ia lempar begitu saja. Gadis itu merengkuh kepalanya yang semakin berat. Kelebatan peristiwa tentang kecelakaan dan penyiksaan itu kembali muncul. Femy panik. Anjani terus saja menggeram sambil memegangi kepalanya begitu tubuh gadis itu luruh ke lantai. Marmer yang dingin tidak bisa mendinginkan isi kepala Anjani. Femy masih saja meneriaki gadis yang secara hukum adalah sepupunya itu. "Jani! Bangunlah!! Jangan tekan kepalamu seperti itu!" Ucapan Femy seperti angin lalu yang terbang begitu saja bersama udara yang makin sesak di penciuman Anjani. "Argghh!!" Kepalanya berdenyut hebat. Semua terlihat samar dan gelap. Mungkin inilah hidupnya. Haruskah ia menyusul kedua orang tuanya sekarang. **** Suara monitor deteksi salah satu ICU The Gordon Hospital berbunyi nyaring. Gina setengah berlari setelah sebuah panggilan menginterupsinya untuk berangkat kesana. Sampai di ruang rawat Anjani nampak Femy sedang terduduk lesu di ruang tunggu ICU itu. Gina masuk. Lewat pembatas kaca dia bisa melihat Anjani terbaring dengan alat bantu pernafasan yang masih terpasang. Lama Gina memandangi Anjani kini fokusnya beralih ke arah Femy yang juga menatapnya. "Apa yang kau lakukan padanya!" Gina tidak bisa untuk tidak marah. Dalam kekhawatirannya karena Anjani yang tiba-tiba menghilang dan mendapat kabar gadis itu dari Femy, membuat semua prasangka buruk langsung bersarang di kepalanya. "Aku hanya ingin membantu kakakku," ucap Femy tenang. Ya, dia menyebutkan hal yang benar kan. "Kakak? Anjani, kakakmu?" Gina tidak percaya. Dia masih saja menatap Femy dengan tatapan yang menghunus tajam. "Iya, memang seperti itu kenyataannya." Femy tidak berniat buruk. Yang dia harapkan adalah pengampunan Anjani untuk perbuatan sang Papa. Dia sadar semua itu tidak akan bertahan lama lagi karena Desta mulai mencari tahu tentang diri Anjani meski gadis yang tengah terbaring itu belum menyadari dengan pasti. Gina spontan menutup mulutnya dan kembali memandang Anjani bergantian Femy seolah tak percaya. Jadi, Anjani adalah anggota keluarga Atmaja. "Namanya Tiffany. Tiffany Rumi Atmaja, putri tunggal pamanku, Tuan Jordy Putra Atmaja. Dia hilang setelah kecelakaan mobil yang menewaskan kedua orang tuanya," kembali Femy meruap wajahnya yang terlihat kuyu. Sudah sejak 4 jam yang lalu tapi Anjani belum juga sadarkan diri. Gina duduk di sebelah Femy. Gadis ini, entah mengapa Gina merasa kalau Femy terlihat sebagai pribadi yang berbeda dari dia yang biasanya. Gina yang biasanya akan meledak ledak jika bertemu Femy kini menjadi prihatin, sama seperti yang ditunjukkan Femy. Tentu saja, kalau gadis ini bukan orang baik, pasti Anjani tidak akan sampai mendapat perawatan seperti sekarang. Oh bukan lagi Anjani, tetapi Tiffany.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN