Kembali Seperti Dulu

1849 Kata
Pagi menusuk menengahi ketenangan tidur Desta. Udara sejuk memenuhi ruangan ketika dengan serta merta pintu balkon terbuka. Desta tersenyum walau hanya dengan hamparan halaman samping yang di desain indah oleh sang mama. Langkahnya santai menuju sebuah kamar yang biasa ia hampiri jika pagi menjelang. Senyum tersungging di bibir tampannya lalu meraih handel pintu dan pemandangan yang terhampar adalah kosong. Desta masih melangkah sampai balkon kamar itu, tapi pintunya pun masih tertutup. Sejenak Desta menenangkan pikirannya lalu kembali melangkah ke kamar mandi. Ia berpikir kembali lalu urung untuk masuk dan mengarah ke walk in closet. Kembali Anjani tidak tampak. Suara kran kamar mandi pun tidak didengar. Benar saja Desta tak menemukan Anjani lagi. Ia melangkah lebar segera turun ke lantai bawah dan menuju dapur. Tetaplah kosong. Raut wajah Desta berubah panik. Sekali hentakan seluruh maid diperintah untuk mencari Anjani di setiap sudut rumah. Tapi hasilnya tetap nihil. Desta meraih ponsel namun panggilan yang dilakukan tidak terjawab karena nomor tidak aktif. Frustasi, seketika itulah yang Desta rasakan. Apa Anjani kembali diculik? Itu yang dia pikirkan. Desta kembali ke kamar Anjani. Dengan lesu ia duduk di pinggir ranjang dan matanya terpana saat menemukan sebuah notes coklat diatas nakas terhimpit diantara tumpukan beberapa lembar yang lain. Surat berisi pesan Anjani itu diremas kasar. Disana Anjani bahkan menuliskan kata maaf dan selamat tinggal. Apalagi ini, batin Desta terus bergejolak. Memunculkan keraguan kalau saja Anjani diculik, bisa saja gadis itu berniat pergi. Tapi apa alasannya. Ia merasa tidak ada permasalahan sebelum ini. Dimana sebenarnya Anjani. *** Suasana B&G group hari ini sangat ramai. Berita yang menyebar seiring kepergian Anjani membuat Desta pusing dibuatnya. David benar-benar menyebarkan berita tentang dirinya dengan Anjani di hotel waktu itu. "Boss, apa kita masih harus diam saja? Saya bisa bungkam para media itu jika anda mau..." Ricko berucap khawatir. "Kepalaku pening sekali, aku lebih mengkhawatirkan keberadaan Anjani saat ini..." kesah Desta sembari memijat pangkal hidungnya. Ricko merasa iba melihat atasannya seperti ini. Karena saat kejadian itu pun dia juga berada disana. Berita yang menyebar pagi ini pasti juga mengingatkan Desta akan kejadian hari itu. Tiba-tiba pintu diketuk oleh seseorang. Dengan sekali anggukan Desta, Ricko menuju ke pintu dan mempersilahkan tamu untuk masuk. Dua orang pria dengan badan tegap menghampiri Desta terburu-buru. "Kami mendapat informasi baru Tuan muda," ucap salah satu tamu yang datang itu. "Katakan" nada Desta terdengar dingin. "Nona Anjani memutuskan pergi. Terakhir dari data yang kami dapat, ia bertolak ke Inggris. Sekarang, Tuan Fredy dan adiknya juga sedang mencari Nona kesana" "Jani baru pergi tadi pagi, berarti dia masih dalam perjalanan bukan?" "Maaf Tuan, tapi data yang kami dapat penerbangan Nona Anjani sekitar pukul 11 malam kemarin" Desta terpaku, Anjani benar merencanakan semua ini. "Dan ini adalah data tentang keluarga Atmaja yang sudah kami kumpulkan sisanya. Seperti dugaan Tuan sebelumnya, dan itu juga berkaitan dengan Mr. Daniel Wijaya dan juga partnernya Mr. Rifan Atmaja" Desta dengan terburu membalik dan membaca seksama laporan dari orang suruhannya. Amarahnya makin memuncak. Kenyataan kalau kedua tua bangka itu bersekutu adalah benar. Namun yang Desta tak mengerti sekarang, apa Anjani sungguh tidak tahu asal usulnya. Membanting map dengan kasar. Membuat semua yang di ruangan terkejut. Ricko bahkan meringis melihat bos nya yang menjadi tak karuan karena ditinggal kekasih pujaannya itu. Dering panggilan memecah suasana mencekam saat ini. Desta memalingkan pandangannya sekilas. Lalu dia beralih memperbaiki duduknya dan menerima panggilan segera. "Halo Fred, bagaimana?!" Sergah Desta begitu nada terima berbunyi. "Desta, aku dan Gina masih menunggu keberangkatan. Pesawat kami delay, apa kau sudah mencari kabar keberadaan Anjani? Gina juga sudah merengek dari tadi. Dia begitu mengkhawatirkan Anjani," ucapan Fredy rupanya tak memyurutkan hal pelik di dalam otak Desta. "Oh begitu. Aku hanya menerima laporan kalau Anjani pergi atas kemauannya sendiri. Dimana dan bagaimananya aku belum mendapat kejelasan," balasan Desta terdengar menyedihkan. Ricko dan kedua orang suruhan yang datang di ruangan itu saling berpandangan menyaksikan wajah memadam boss mereka. "Aku hanya punya waktu 3 hari. Kami akan pulang ke rumah kami baru melakukan pencarian sebisa mungkin. Hanya saja aku tidak bisa lama. Tapi Gina akan tinggal lebih lama disana untuk mencari Anjani," Fredy kembali bersuara dan itu sukses membuka celah harapan untuk Desta. Desta tak langsung menjawab. Pria itu nampak berpikir. Otaknya diperas sepersekian detik baru dia kembali berucap," Lakukan yang kalian bisa. Maksimalkan pencarian dan kabari aku segera. Aku juga akan menyusul," panggilan pun selesai. Ruangan kembali lengang setelah kedua orang suruhan Desta keluar. Ricko masih menunggu dengan tenang sambil mengutak atik IPad ditangan sementara Desta hanya terdiam dan membalik kursi kebesarannya mengarah ke hamparan gedung yang nampak saat ini. Pikiran Desta melayang pada kejadian-kejadian sebelumnya dan mulai mengukir satu persatu kemungkinan yang ada. "Rick," suara Desta kembali terdengar. Ricko yang fokus pada pekerjaannya agak terjingkat karena kaget. "Iya bos?" Ricko antusias bersiap jika saja mood Desta masih buruk saat ini. "Periksa cctv perusahaan selama satu minggu ini dan berikan padaku jika kau menemukan sesuatu," titah Desta sudah seperti petir menyambar. Tidak ada opsi untuk tidak dilaksanakan. Ricko segera bangkit dari duduk nyamannya. Melangkah ke luar ruangan meninggalkan Desta masih dalam posisi yang sama. Pria itu tak bergerak sedikitpun. Masih sibuk dengan pemandangan yang terdampar di depannya, namun bukan itu yang jadi buah pikirannya sekarang. Justru otaknya sedang merakit dan mencari jalan kemana ia bisa menemukan Anjani. Desta menyelesaikan berkas terakhir yang harus ia bubuhi tanda tangan. Memeriksa laporan hasil kerja sama dan pembagian hasil yang sudah disepakati. Meski hari ini adalah salah satu yang terburuk baginya, dia masih harus melaksanakan tanggung jawab demi mendapat keuntungan perusahaan dan sanggup membayar gaji para karyawannya. Pintu ruangan terketuk lalu muncul Ricko disana dengan tergopoh gopoh. Desta sendiri heran ada apa dengan asistennya ini. "Maaf Tuan, eh bos. Ini... ini yang anda minta," ucapan Ricko masih diwarnai nafas tersengalnya. "Duduklah dulu Rick dan bicara yang benar. Kau seperti baru bekerja satu hari saja disini!" Desta ikut geram karena Ricko seperti karyawan urakan yang notabene tidak seperti pria itu biasanya. "Sekali lagi maaf, tapi ini memang sangat darurat!" Kembali Ricko membuat Desta kesal. Tak menunggu waktu lama Desta mengambil sebuah keping dvd hasil record cctv yang Ricko dapat. Pria itu sudah memeriksa semua cctv kantor yang jumlahnya bukan puluhan lagi bahkan ratusan. Satu hari saja sudah membuat mata pusing apa lagi seminggu. Kalau bukan karena mood Desta yang sedang buruk, Ricko pasti sudah meminta negosiasi waktu lebih. Layar laptop menyala nampak gambar Anjani yang sedang berdiri di pantry. Sejenak Desta terhanyut akan kenangan bersama gadis itu. Wajah ayu yang sudah menjadi bunga dalam benaknya, kini entah kemana terbang sampai ia begitu rindu. Rekaman itu masih berlanjut hingga seorang pria masuk ke dalam pantry dan mata Desta langsung membulat. Tidak dia melotot. Pria itu David, si b******k itu! David berbicara sebentar dengan Anjani dan itu sebuah intimidasi. Darah Desta mendidih seketika. Kenapa Anjani menyembunyikan semua ini! Desta masih tak habis pikir. Sedang lalai dalam emosi yang meninggi sebuah panggilan kembali terdengar. Desta tak menghiraukan namun Ricko yang bersuara. "Nomor tidak dikenal? Tapi sepertinya itu nomor dari luar negeri?" Celetuk Ricko saat melihat pemanggil di ponsel Desta yahg tergeletak diatas nakas. Desta yang semula enggan akhirnya menerima panggilan itu. "Siapa," dingin dan tajam, Ricko yang duduk di hadapan Desta menjadi saksi kegarangan raut tampan pria penerus trah keluarga Barack itu. "Apa kamu sedang mencariku?" Suara yang lembut dan terdengar genit menyapa Desta. Bagai sebuah sexofon yang mengalun bersama biola memainkan lagu aliran melankolis. Desta luruh. Dia menyandarkan pundak yang seharian ini sudah tegang dan selalu berurat. "Sayang..." jawaban itu yang sanggup dilontarkan Desta. Sebuah kekehan lembut terdengar. Dan riuh seperti di jalanan pun mengiringi suara itu kembali. "Jangan diambil hati. Aku yakin kamu mengerti apa yang sudah kutuliskan jadi tolong berhenti mencariku. Dan sampaikan pada kakak beradik itu untuk tidak ikut ikutan menambah suasana menjadi runyam. Karena semakin kalian bertindak makan semakin kecil kemungkinan kita bertemu kembali," Anjani menyuarakan kalimat yang lembut, namun pedas. Begitu menusuk layaknya jarum es yang menembus kulit. Dingin dan membuat berdarah. "Sayang tolong--" ucapan Desta terhenti. "Dan berhenti menyebutku dengan panggilan itu!" Panggilan terputus. Desta menatap layar ponsel yang gelap. Kalimat terakhir Anjani sangat menyakitkan. Gadis itu berucap seakan mereka berdua bukanlah siapapun. Apa ini benar Anjani yang dia kenal. Desta marah, dia marah karena Anjani bukan lagi menjauh darinya tapi juga mematahkan hatinya. Ponsel dalam genggaman terlempar keras hingga pecah berserakan di salah satu bidang tembok ruangan itu. Ricko membelalak dalam mulutnya yang terkatup. Ini sudah naik level dari sekedar buruk. Amat sangat buruk. Ia memandang pada ponsel yang sudah pecah berserakan. Dan kembali menatap Desta yang kini terlihat frustasi, berat. Ricko mencoba mengambil langkah. Membiarkan Desta sendiri untuk saat ini adalah hal yang tepat. Ia merasa Desta perlu ruang sendiri untuk melampiaskan amarahnya. Pintu ruangan Ricko tutup pelan dan ia mengunci akses ruangan itu dengan password. Semacam kunci namun ini bersifat elektronik. Hanya bisa dibuka oleh si pemilik akses dan pastinya selain dia adalah Desta sendiri. Desta meraup wajahnya keras. Menjambak rambut yang sudah berantakan sejak tadi. Penampilan pria itu tak nampak biasanya yang selalu rapi. Jas yang terlempar begitu saja di sofa. Lengan digulung sampai siku dan dasi yang berserak di meja kerja. Deta beranjak dari kursinya. Kata kata Anjani bagai jarum yang menusuk nusuk hatinya. Bagaimana mungkin! "Aaarrgghhh!!!" Sebuah gebrakan meja terdengar. Disusul suara dentingan berbagai barang. Desta meratakan meja kerjanya lalu memukul mukul dengan kepalan tangan hingga tangan itu berdarah. Bahkan pecahan gelas yang tertinggal kini merobek lengannya. Membuat darah mengalir dari sana. Ruangan itu sudah tak berupa lagi. Desta terduduk lesu bersandar pada meja kerja. Desta kembali berdiri. Ia menuju ke salah satu sudut ruangan tempat sebuah lemari beraksen hitam dan gold disana. Ia membuka dan mengeluarkan sebotol wine dari sana. Kepalanya sakit, pening sekali. Segala pikiran tentang Anjani seperti setan yang terus saja membayangi dan menggodanya. Pria itu duduk di sofa dan bersandar. Meneguk wine langsung dari botol tanpa berniat mengambil gelas. Dia tak peduli dengan sensasi pengar yang dirasakan. Justru itulah yang dia cari. "Anjani... sayang..." Desta terus meracau. Semua kelebatan tentang gadis pujaannya seperti venus yang menjadi bintang kejora selama beberapa hari saja lalu menghilang tanpa menyisakan keindahan merahnya. "Aku rindu... sayang kembalilah," setiap kalimat hanyalah angin yang makin mengacaukan pikiran Desta. Meneguk lagi wine yang sedap dicecap demi menghilangkan sejenak rasa yang pernah dia rasakan dari Anjani. Jelas ini mengganggu otak dan jantungnya. Desta merasa tak waras. Pria itu berjalan pelan menuju intercom yang sudah terhampar menggantung di sebelah meja kerja. Ia menekan angka dan terdengar suara Ricko disana. "Hentikan semua pemberitaan tentang Anjani. Habisi siapapun yang membantah! Aku tunggu satu jam dari sekarang!" nada dingin itu kembali menginterupsi. Setelahnya Desta tersungkur bersandar pada salah satu bidang tembok dibawah gorden yang masih terbuka. Desta meneguk kembali botol wine yang sudah berkurang setengah bagian. Desta, Anjani, David. Ketiganya berputar putar. Menciptakan irama genderang yang bertabuh tanpa berhenti. Diikuti irama lainnya. Bak orkestra dan pagelaran teater dengan kombinasi gelap terang. Kilatan lampu dan bunyi bunyian yang menggelegar mengisi semua ruang kepala Desta. Desta mendongakkan kepala. Menyudutkan diri untuk sejenak mencari ketenangan yang dibutuhkannya. "Anjani, kembalillah..." matanya terpejam lekat. Berusaha mengusir jajahan kelebatan liar yang menyiksa batin. Desta menghembuskan napas kasar berulang kali entah sampai berapa kali lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN