Sebelum Terlambat

1857 Kata
Jani menuruni lantai 2 dengan santai. Minggu ini adalah terakhir magang yang ia lakukan di perusahaan milik Desta. Setelan kemeja silver dengan rumbai dibagian kancing beserta rok span pendek kesukaannya dengan warna mint menambah aura tenang di penampilannya pagi ini. Disambut Fredy dan Gina yang sudah akan berangkat bersama karena Gina memilih magang di perusahaan keluarganya sendiri memhuat Jani kini duduk sendiri di meja makan. Dihadapannya beberapa menu pagi seperti roti kukua isi selai sirkaya, s**u rendah gula, dan menu lain yang tersaji di meja makan. Pintu kamar tamu terbuka nampak Desta masih mengancingkan lengannya sambil berjalan mengarah ke meja makan. "Fredy dan Gina dimana?" Sambut Desta setelah duduk di hadapan Anjani bersama senyum hangatnya. Yang ditegur masih tidak menyahut alih-alih kembali menggigit roti isi selai nya yang tinggal beberapa gigitan saja. Desta heran Anjani jadi terkesan cuek padanya. Apa karena semalam? Memang mood seorang perempuan mudah sekali berubah dengan cepat. Bukannya kemarin mereka melewati hari menegangkan bersama, dan sekarang Jani malah mengabaikannya. Baru saja Jani beranjak meraih tas selempangnya, kembali Desta melayangkan ucapan. Kopi di cangkir masih setengah bagian pun diabaikan oleh pria itu demi mengikuti gadisnya. "Berangkat bersamaku Jan..." tangan Desta meraih jas yang sempat ia letakkan begitu saja di kursi sebelahnya, lalu memakai dengan cepat sambil mengitari meja makan kearah Jani. Jani masih diam namun tatapannya mengisyaratkan kalau ia tak setuju. "Kenapa? Kamu tidak mau berangkat bersamaku?" Desta masih saja memasang wajah heran. "Aku bisa pergi sendiri, terimakasih tawarannya", ketus Jani disambut tangan yang meraih lengannya pelan namun tegas. "Kamu kenapa? Sejak semalam cuek dan tidak menanggapiku? Sedang marah, hm?" Bibir Desta menguraikan hal manis tepat di depan wajah cantik gadisnya. Bukannya menangkis, Jani malah terpaku. Sungguh, pria tampannya ini tidak bisa membuatnya berpaling lebih lama. Cukup lama, sepasang mata itu hanyut dengan tatapan mendalam. Seakan lewat tatapan itulah mereka saling mengobrol, bukan, saling menyampaikan maksud di pikiran dan hati masing-masing. Tangan Desta masih setia menggenggam kedua lengan gadis cantiknya. Sampai Jani akhirnya merasa genggaman itu mulai terasa lembab. Oh tidak! Apa aku sedang grogi? Degupan gemuruh itu naik turun di dalam rongga Jani, apa ini? Gadis itu masih setia menunggu waktu bergulir menentukan nasib tatapan di depannya. Tanpa ia sadari jarak antara keduanya mengikis, hinggan pucuk hidung Desta yang mancung menyentuh puncak kepala Jani dan sebuah kecupan lembut mendarat di kening mulus gadis itu. Gadis itu terkesiap sampai Desta mengucapkan sesuatu tepat di sisi telinga kirinya," Apa gadisku ini perlu ku kecup sekali lagi? Tapi aku tidak yakin mungkin setelahnya kita tidak perlu ke kantor karena bibirmu itu sangat mempesona pagiku sayang..." senyum smirk Desta pun terbit. Ia sendiri tak mengerti mengapa selalu terlena jika sudah berhadapan dengan gadis ayu itu. Jani langsung melepas genggaman di lengannya dan mundur selangkah. Ia baru sadar kalau wajahnya terlihat bodoh di depan Desta sejak tadi. "Baiklah, ayo berangkat" ucap Jani singkat masih dengan gelagat membangunkan dirinya sendiri. Entah apa yang ada di pikirannya hanya saja pagi ini bisa saja jadi salah satu momen indah di album kisahnya. Langkah Desta melebar saat mereka hampir sampai di halaman tempat mobilnya terparkir rapi. Jani yang baru saja menutup pintu mobil terkejut dengan tangan yang membalik tubuhnya hingga punggungnya menempel badan mobil. Desta kembali melayangkan kecupannya, tapi bukan lagi di dahi, bibir merah muda tipis yang selalu basah itu menyatu dengan bentuk kenyal yang terpoles liptint cerah menampakkan kenaturalan pemiliknya. Seketika Jani membola lalu mendorong d**a rata Desta hingga sedikit menjauh. "Mau apa lagi Des! Jangan seolah kau berhak atas diriku Desta! Kita bukan apa-apa, tidak ada!" kesal yang tertahan sejak semalam akhirnya tertumpah. "Kenapa?" Desta malah melayangkan pertanyaan." Apa kamu keberatan aku menciummu pagi ini Jani? Atau kamu memang ingin menghindariku!" Balas Desta tak kalah kesalnya karena selalu diabaikan. Jani mendekati Desta yang beberapa langkah jauhnya," Bukannya benar Desta? Kita ini siapa?" "Kau kekasihku! Apa kamu tidak bisa merasakan perasaanku padamu Jani! Apa perlu mulutku berucap di depan banyak orang agar kamu memahaminya!" Wajah Jani seketika mengerut. Antara ingin menangis dan apa itu, ada sembuat merah di pipinya. Dia tersanjung? Atau malah senang akhirnya Desta mengungkapkan perasaannya. "Jangan pernah berpikir kau tidak ada artinya bagiku sayang, bahkan kalau mau aku akan membuat papan pengumuman besar di gedung kantor agar semua melihat siapa gadis cantik di depanku ini..." " Desta, kau..." belum sempat Jani melanjutkan ucapannya. "Aku menyayangimu, bukan lagi, mencintaimu malah. Tidak, hmm apa ya... aku selalu ingin--" ucapan Desta berbalas sentuhan lembut bibir Anjani. Wajah Desta seketika memerah, sentuhan bibir itu oh hanya sementara. Tapi rasanya cukup menjawab apa yang menjadi kegelisahannya sejak kemarin malam. Anjani tersenyum dan mengajak Desta untuk segera beranjak sebelum mereka benar-benar terlena dan melupakan agenda hari itu. Dengan berbunga Desta mengayunkan genggaman membentuk sebuah selebrasi kemenangan, dan menciptakan suasana bahagia pagi ini. *** Ricko melangkah menuju sebuah ruangan divisi perencanaan keuangan. Beberapa orang yang sempat bertatap muka menyapa ramah, namun pria itu masih saja lurus dengan langkahnya ke sebuah meja. Ya, meja kerja Jani. Gadis itu rupanya sedang sibuk juga. "Nona Jani?" suara Ricko membuat Jani sedikit terjingkat. "Oh Pak Ricko, ada yang bisa saya bantu?" jawab Jani ramah. "Maaf Pak Desta memanggil nona untuk ke ruangannya..." Ricko masih setia dengan senyumnya. Jani berpikir sejenak. Apakah ada kesalahan atau sikapnya selama 2 bulan ini. Namun tanpa terlalu bertanya semata-mata bersikap profesional Jani melangkah menuju rungan CEO dituntun Ricko di depannya. Di ruangan Desta, Ricko pamit untuk keluar mengurusi pekerjaannya kembali. Kini tinggal di dua insan yang sedang saling tatap. Cukup lama, Jani yang masih berpikir tentang teka teki dirinya diminta ke ruangan itu pun setia meremasi ujung rok span yang hampir jadi kucel karena ulahnya. "Apa kamu masih mau berdiri disitu sayang?" ucap Desta sontak mengagetkan gadis di depannya. Jani beralih menempati kursi di depan meja kerja Desta. Raut wajahnya berubah antara gugup dan kesal. Dan itu membuat Desta seketika tertawa terbahak-bahak. "Haha... apakah nanti ketika kamu menjadi karyawan sesungguhnya di perusahaan kekasihmu ini kamu akan selalu gugup setiap aku panggil ke ruanganku sayang..." goda Desta sukses membuat semburat kesal di wajah Jani menjadi seratus persen. "Oh Tuhan, apa aku sedang dikerjai? Sudahlah Desta, apa yang harus aku lakukan sehingga kau panggil kesini, kalau tidak ada aku akan kembali menyelesaikan pekerjaanku..." keluh Jani sedikit menegakkan tubuhnya. "Baiklah sayang, sebelum aku menyampaikan keperluanku, harus kau ingat, panggil aku dengan sebutan 'sayang' jika kita sedang berdua saja..." kembali Desta menyeringai menang. Jani heran, lalu mencondongkan wajahnya," apa aku sedang diperintah oleh kekasihku sendiri?" kini gadis itu dengan berani membalas tingkah jahil Desta. Keduanya pun tersenyum lebar menengahi canda siang itu. "Sayang, aku harap kamu tidak terlalu lelah bekerja, karena pasti kepala divisi tempatmu magang akan banyak memberikan tugas ataupun referensi, oh ya jangan suka lembur jadi usahakan kerjakan tugasmu tepat waktu". " Tenang saja pak, saya menyelesaikan semuanya dengan baik dan tepat waktu..." Jani tersenyum ramah seolah mereka sedang berbincang formal. Desta bangkit menghampiri kursi Jani lalu mengusap lembuat puncak kepala gadisnya. "Aku rasa magangmu sudah selesai dan kamu segera selesaikan studimu, karena aku sudah tidak sabar untuk menikahimu..." Desta mengedipkan sebelah matanya. "Kurasa pembicaraan ini sudah tidak pada topiknya, jadi aku akan keluar dan segera menyelesaikan tugas terakhirku" dan Jani langsung saja berbalik arah, namun tangan Desta menahannya sampai mereka kembali bertatapan. "Hmm.. mau makan siang bersama?" ucap Desta setelah beberapa detik mereka saling terpaku. Dengan gelagapan Jani mencoba mengalihkan pandangan dan tetap saja gagal. Desta menarik lengannya melewati koridor lantai gedung itu menuju lift khusus CEO. Untung saja ini jam makan siang dan tidak ada orang yang melihat seorang Jani bersama CEO tampan seperti Desta. Kalau tidak, bisa malu dia jadi pusat perhatian para karyawan disana. Desta dan Jani sampai di basement dan keduanya beranjak membelah jalanan ibukota. Tidak banyak pembicaraan diantara keduanya, sampai mereka tiba di sebuah kedai kopi kenamaan. Desta masih setia membimbing Jani menggenggam lengannya lalu membuat pesanan untuk mereka berdua. "Apa setelah ini kita akan jarang bertemu karena kamu akan sibuk dengan skripsi?" Desta membuka pembicaraan mereka. "Ya... pastinya, laporan, skripsi. Mungkin hanya beberapa bulan..." jawab Jani santai. Pria tampan itu berdecak tanda tak suka. "Kalau begitu biar Ricko yang menyelesaikan semuanya dan kamu akan lulus bulan ini juga" alis Desta pun bertemu dan dahinya mengkerut menyampaikan itu. Sengaja ia melakukannya agar Jani masih punya waktu lebih dengannya. Hmm... ala-ala cowok bucin seperti itu lah... "Hah? Desta ini studiku tidak ada hubungannya dengan Ricko. Yang benar saja kamu. Setelah ini aku harus fokus membuat laporan lalu lanjut ke skripsi. Sudahlah, kamu tidak perlu repot" Jani mengibaskan sebelah tangannya tanda tak setuju. "Oke... aku tau pasti jawabannya seperti itu. Baiklah, tapi selama itu aku akan menemanimu, ya setidaknya kalau kau butuh pembimbing aku ada disampingmu" ucapan Desta mantap dengan senyum lebarnya. Anjani sudah malas berdebat dengan kekasihnya itu. Pria tampab, seorang CEO muda yang bertemu dengannya secara tidak sengaja, bahkan sudah menjadi sandaran susahnya beberapa waktu ini. Kebahagiaan yang ia dapatkan sekarang membuatnya tak percaya bahwa gadis sebatang kara sepertinya berhak mendapatkan itu semua. *** "Bagaimana hasilnya? Apa kau sudah bisa mendekati gadis itu?" Seorang pria paruh baya berjalan mendekati putranya yang masih tenang menatap pemandangan kota sore itu. "Sepertinya akan sedikit lama, bahkan putra Ronald Barack itu sudah merebutnya dariku" "Begitu rupanya..." Daniel Wijaya duduk di kursi kerja putranya. Sementara David hanya menoleh sesaat dan kembali menatap panorama senja yg sedikit demi sedikit menunjukkan gelap. "Aku paham, tapi kita tidak bisa terus begini. Cepat atau lambat gadis itu akan mengetahui segalanya, aku dan Martin Bagaskara sudah bersusah payah sampai saat ini. Kalau bukan masih ada 60% kekayaan Atmaja yang harus disahkan oleh hak warisnya itu agar bisa aku kuasai, tidak mau aku masih berkutat dengan permasalahan yang bahkan sudah berlalu bertahun-tahun ini..." ucap Daniel penuh penekanan. David masih mendengarkan dengan seksama apa yang diucapkan ayahnya. Ya, ayahnya dan Mertin Bagaskara ayah Femy, memang sudah menjadi sekutu sejak lama. Dan dengan cara kotor mereka mengeruk harta kekayaan keluarga Atmaja bahkan menghabisi seluruh keluarga itu. Namun mereka baru mendapatkan 40% nya setelah pihak berwenang mendapati masih ada ahli waris keluarga Atmaja yang masih hidup tapi belum diketahui dimana keberadaannya. "Pa, apa yang kalian dapatkan sekarang belum cukup untuk mengembangkan bisnis kalian? Bahkan aku harus merelakan keinginanku mengambil gelar master di luar negeri demi mengikuti perintahmu untuk mengawasi gadis itu" Ucapan David demikian sontak membuat Daniel berdiri tegak. Ia mulai meragukan kesetiaan anaknya. "Aku mulai ragu kalau kau sudah bermain dengan hati.." balasan Daniel tak kalah menohok. David pun berbalik menatap ayahnya. Mencoba mengingkari apa yg diucapkan sang ayah, tapi dadanya berdenyut mengungkapkan hal yang lain. "Ingatlah tujuan awal kita. Bagaimanapun pernikahanmu dengan Femy sudah kita putuskan sedari lama. Jangan mencoba membuat jalanmu sendiri. Semua ini kulakukan demi garis keluarga kita. Kalau bukan karena si Martin, pengkhianat tak tahu diri dari keluarga Atmaja itu, aku masih perlu waktu lama untuk mengumpulkan kekayaan kita seperti sekarang..." Daniel berlalu setelah menepuk pundak putranya. Sepeninggal sang ayah, David menggeram meluapkan kekesalannya. Lalu ia mengambil sebotol anggur dari salah satu laci di sudut ruangan yang memang khusus ia tempatkan untuk menyimpan koleksi minumannya. Meneguk perlahan sambil membayangkan gadis yang sebenarnya telah menyentuh sudut kecil hatinya itu. Membuat David tersenyum, namun ucapan ayahnya yang menggaung kembali dalam pikiran membuat pria tampaan nan atletis itu seketika bermuram dingin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN