Dengan penuh rasa khawatir langkah kaki Desta bergerak setengah berlari melewati deretan pintu di sebuah lorong rumah sakit. Panggilan yang mengabarkan bahwa Anjani jatuh pingsan tiba-tiba saat di kampus tentu saja membuat pria tampan ini khawatir tak karuan.
"Apa dia mengalami luka serius?" sahut Desta begitu menemukan Anjani yang tak sadarkan diri di ruangan IGD.
"Dia mengalami kejutan memori pak, riwayat sakit yang dialami pasien membuatnya bisa seperti ini jika mengalami tekanan akan ingatan yang mungkin kembali" jawab Dokter yang merawat Jani dengan gamblang.
Desta terpaku sesaat. Ini diluar dugaan, keadaan Anjani dirasa makin memprihatinkan sekarang.
"Apa ada efek berikutnya?" Desta masih memberondong pertanyaan.
"Kita tunggu nona Anjani sadar terlebih dahulu baru bisa dilakukan pemeriksaan selanjutnya..." ulas sang dokter lalu pamit undur diri.
Gina yang mengantakan Anjani pun masih terlihat sembab. Kekhawatirannya pada sahabatnya itu membuat perasaan Gina benar-benar pilu. Selama ia kenal dengan Anjani dialah yang sering menemani Anjani, dalam keadaan apapun. Namun kali ini ia bahkan merasa takut.
"Desta..." Gina mendekati Desta yang masih termenung menatap Jani dalam tidur lelapnya.
Desta mencoba menghembuskan napas perlahan. Ia sadar apa yang harus diperbuatnya sekarang.
"Mungkin kita harus melakukan pengobatan yang lebih dari ini" jawab Desta singkat.
Gina membola mendengar jawaban Desta. Pengobatan? Tentu saja harus atas persetujuan Anjani dulu.
"Apa tidak ada jalan lain?"
"Ada"
Ucapan Desta yang singkat tentu saja membuat Gina hanya mengernyit pelan.
"Tapi aku belum bisa menyampaikan apa-apa untuk hasilnya. Mungkin butuh waktu lebih lama" seketika Desta menunduk lesu.
"Apa maksudmu?"
Desta beralih berjalan menghampiri Gina yang menepi hampir di sudut ruangan.
"Aku mencari tahu tentang jati diri Jani. Asal usulnya, keluarganya, bahkan kehidupannya yang dulu. Karena yang dokter pernah sampaikan, Jani hanya mengingat namanya saja, hanya itu..."
Ungkapan Desta disambut isak tangis bahagia Gina. Tapi gadis itu juga sadar kalau apa yang dialami gadis malang itu pasti sangat menyakitkan sampai ia harus kehilangan sebagian memorinya.
"Kau tau Des, Jani hampir tertabrak mobil tadi karena kami terlalu asyik mengobrol di jalanan komplek kampus" sambut Gina dengan sedikit rasa takut kalau Desta akan meninggi mendengar keteledoran mereka.
Benar saja, mata Desta sontak tajam menatap Gina. Namun segera ditepis oleh pria tampan itu dan beralih memandang tubuh ayu yang tak sadarkan diri itu lagi.
"Maaf aku tidak bisa menjaga Jani dengan baik. Kami benar-benar teledor. Setelah itu Jani sempat berteriak tak karuan dan mengeluh kepalanya sakit. Dia bahkan menjambak rambutnya sendiri karena rasa sakit itu. Aku tidak pernah tau apa yang terjadi pada Jani sebelum kami bertemu menjadi mahasiswa baru di kampus, karena kami juga mulai dekat baru setelahnya..." ulasan Gina tak mendapat reaksi dari Desta.
Tapi apa yang diucapkan Gina jelas mengiris perasaan Desta. Sesakit itukah Jani? Apa yang harus kulakukan demi dirimu, gumam sedih Desta dalam hati.
Obrolan setengah berbisik itu rupanya mampu mengusik ketenangan si empu ruangan tersebut. Jani masih mengerjap saat Desta merengkuh jemari tangannya dan mengecup pelan jemari yang layu itu dengan tulus.
"Aku... di rumah sakit?" Ucap Jani seketika sadar bahwa ruangan itu berubah menjadi serba putih dan sedikit aksen biru.
"Iya Jani, sabar ya, mungkin kalau keadaanmu sudah membaik nanti kita bisa pulang hari ini juga..." titah Desta menenangkan kegundahan gadis di depannya.
Gina dengan langkah pelan dan masih memperbaiki raut sedihnya menyodorkan diri dan membelai lembut pucuk kepala sahabatnya. "Maaf aku tidak bisa menjagamu dengan baik" suara Gina agak serak karena menangis.
Jani meraih tangan lembut yang membelainya itu lalu tersenyum. "Tidak apa, aku juga yang salah, memang aku selalu saja ceroboh..." dan di iringi gelak kecil gadis itu.
Desta menatap tawa manis gadisnya dengan seksama. Ia terpaku akan pesona Jani, yang terkesan selalu menutupi luka dirinya seorang diri.
***
Mobil sport Desta sampai di halaman mansion mewah keluarga Gina, disambut Fredy yang melangkah santai dari teras rumah menuruni tangga.
Gina yang turun dari pintu belakang, berturut Jani yang dibukakan pintu oleh Desta.
"Bagaimana Desta?" Fredy langsung memberondong Desta dengan sebuah pertanyaan.
"Tenang saja kak, masuk saja dulu. Jani harus beristirahat..." ucap Gina mencegah kekhawatiran kakaknya tentang kondisi Jani.
"Baiklah"
Desta dan Jani sama-sama tak bersuara. Desta sibuk memapah Jani untuk masuk ke dalam rumah.
Mereka disambut dengan suguhan makan malam dan beberapa kudapan di meja makan yang sengaja disiapkan oleh Fredy pastinya dengan memberi titah para maid dirumahnya.
"Kita makan malam dulu, baru nanti Gina dan kau Jani istirahatlah di kamar atas" ucap Fredy sambil mengajak ketiganya menuju ruang makan.
"Aku akan menginap disini" ceplos Desta setelah mendaratkan bokongnya di kursi dan menegakkan punggung pada sandaran kursi.
Itu membuat Gina mendadak menahan tawa dan Fredy pun ikut geleng-geleng kepala melihat tingkah sahabat dekatnya itu. Tentu Desta akam khawatir sepanjang malam karena keadaan Jani kalau dia tak memantau sendiri gadisnya itu.
"Hei, memang siapa tuan rumahnya disini? Dan apa rumahmu itu belum cukup luas untuk ditinggali satu orang saja, hah..." Fredy kembali menimpali dengan ledekannya.
Sontak para gadis disitu tertawa karena ocehan Fredy dan Desta. Makan malam kali ini begitu menyenangkan karena ulah kekanakan Desta.
"Oh ya, kau nanti tidur di kamar tamu bawah ya Des. Karena adik-adikku ada di lantai atas. Jangan sampai kau ikut menguntit dan mencari kamarmu diatas juga" Fredy dengan santai memberi perintah pada Desta.
Yang disinggung sengaja pura-pura tak mendengar dan terus melahap makanan di piringnya. Jani tersenyum melihat Desta yang begitu mengkhawatirkannya.
"Pulanglah Des, ada Gina dan kak Fredy yang menjagaku..." Jani melontarkan ucapan dengan tetap menyunggingkan senyum.
Desta menyeringai dengan smirk," Tidak. Aku tetap akan menginap, sudah tak perlu membujuk" sahut Desta sambil meraih tisu membersihkan sisa makannya.
"Ya... ya... jangan membuatku iri dengan caramu itu Des. Kakak... carilah sahabatmu yang lain yang perhatian padaku tapi setidaknya tidak segila kekasih Anjani ini..." seloroh Gina disambut gelak tawa bersama kakaknya.
"Kekasih?" Sekejap Anjani terkejut, "Aku hanya gafis beruntung yang menerima bantuan dan kepeduliannya saja Gin"
Sungguh. Ucapan Jani itu merubah raut wajah gadis itu menjadi datar tak berekspresi. Secepat mungkin ia melepaskan suapan terakhir dan sedikit terburu meminum jus melon yang disiapkan untuknya. Desta yang melihat reaksi dengan sergahnya meraih lengan Jani yang akan beranjak berdiri hendak ke kamar.
Kedua pasang mata yang berpandangan itu seakan saling berperang. Menciptakan banyak tanya di hadapan Fredy dan Gina. Namun sepertinya kakak beradik itu mengerti bahwa sebuah pengakuan belum terlontar dengan sebenarnya.
Desta semakin erat menggenggam lengan gadis ayunya saat Jani benar mengoyak berusaha lepas. Tapi tetap Jani adalah Jani. Genggaman itu lepas dan pria tampan pemujanya pun hanya mampu mengepal menahan frustasi.
Gina merasa celetukannya tidak tepat waktu. Atau malah akan menjadi permulaan untuk jalan yang benar dalam mendalami sebuah kisah? Entahlah. Ia mengejar sahabatnya menuju lantai atas. Fredy yang juga sudah selesai makan pelan bangun dan melingkari ujung meja yang berbentuk oval itu lalu menepuk pundak Desta, " Masih ada hari esok. Harusnya kau bertindak cepat. Tak selalu semua bisa dibawah kendalimu kan," tukas Fredy yakin lalu kembali menepuk beberapa kali pundak pria tampan trah Baracl tersebut.
Ya, Desta mungkin lupa. Tindakan tak sepenuhnya terwujud tanpa adanya pengakuan ataupun sebuah ikrar. Seperti goresan salam dan pembukaan dalam sebuah surat. Harusnya ia sadari itu. Sekian lama mengenal Jani dan ia lupa poin penting itu, payah sekali... rutuk Desta untuknya sendiri.