Dalam ketidakberdayaan menghadapi hatinya yang sekarang sering naik turun jika mengingat Jani, akhirnya Desta memutuskan untuk kembali lebih awal. Perjalanan ke London yang semula dijadwalkan selama satu minggu kini di perpendek menjadi 5 hari saja.
Ronald Barack memandang heran putranya yang kini sering ia temukan tersenyum sendiri dengan memandang ponsel, atau sekedar membuncah jika melihat sesuatu yang indah seperti bubga, dan kerlip bintang. Sepertinya sebentar lagi ia harus berbagi cinta putranya dengan seorang gadis, namun entah itu siapa.
"Sepertinya kau sudah tidak betah dirumahmu sendiri nak..." ujar Ronald sambil menyunggingkan sebuah simpul meledek. Kini Desta tengah sibuk merapikan barangnya yang tidak banyak ke dalam sebuah koper kecil.
Desta mengangkat wajah dan mendapati sang ayah dengan penampilan cool-nya berjalan mendekati. Terbesit rasa tak enak hati saat ia mendapati sang ayah yang ia juga paham mungkin itu hanya ujaran meledek, atau bahkan menyelidik.
"Maaf Pa, aku tak bisa membiarkan Ricko sibuk sendiri. Dia pasti lelah juga karena kemarin menemaniku saat menyelesaikan urusan dengan perusahaan Raph's Corp" Desta memberi alasan. Entah apa maksud ayahnya, mungkin saja sekarang sang ayah perlu memiliki waktu lebih darinya.
"Ya... aku mengerti. Oh ya nak, jika ada seorang gadis yang sudah mengganggu hatimu boleh saja kau ajak kemari untuk bertemu dengan ayah" ucap pria baya yang bahkan kini mempunyai timbunan lemak di bagian perutnya.
Desta terkekeh dengan ucapan ayahnya. Pria di depannya itu bukan orang sembarangan. Kemampuannya sampai membesarkan 'B&G Group' yaitu perusahaan keluarga mereka yang sekarang sudah mempunyai banyak anak perusahaan yang bahkan terletak di berbagai benua dan negara itu, pasti bisa membaca kemungkinan yang ditunjukkan raut wajah Desta. Desta bisa saja bersikap dingin pada setiap hal yang ia temui, namun ayahnya dan ibunya sangat tau seperti apa putra semata wayangnya itu.
"Segera akan kuajak dia jika memang dia berkenan menerima hatiku..." ucap Desta namun tak berjanji.
Ronald membalas ucapan anaknya dengan senyum dan tepukan tulus di pundak anak laki-laki yang kini telah menjelma menjadi proa hebat sekarang.
***
Jani dan Gina masih asyik dengan ipad Gina di sofa ruang tengah. Mereka asyik menggulirkan jari ke beberapa halaman web penilaian ujian yang sudah diunggah oleh pihak fakultas masing-masing. Sesekali diantara mereka tersenyum atau terkikik sambil terus menggulirkan dan menggeser layar website kampus mereka.
Fredy mendapati kedua gadis imut yang asyik sendiri sampai tak menyadari kedatangannya di sore hari menuju gelap itu.
"Seru sekali pekerjaan kalian sampai tak ada sambutan untukku..." Fredy mencium puncak kepala Gina dan mengacak rambut Jani. Lalu duduk di sofa single berhadapan dengan sofa panjang tempat kedua gadis itu duduk.
Seorang maid datang membawa teko berisi minuman dingin dan beberapa gelas dalam sebuah nampan. Fredy meneguk sedikit minuman itu melegakan dahaganya sepulang bekerja.
"Kakak... kami pun punya pekerjaan kami sendiri, sama sepertimu..." ucap Gina sedikit kesal karena celotehan kakaknya.
"Baiklah... bagaimana ujian kalian, semua berjalan lancar?" Tanya Fredy meredakan kekesalan adiknya.
"Lancar kak... nilai kami seluruhnya baik. Setidaknya tak memalukan untuk kau periksa..." jawab Gina lagi lalu memberikan ipad di tangannya pada Fredy.
Fredy menerima benda pipih itu lalu memeriksa beberapa halaman web disana. Dia tersenyum puas karena kedua adiknya itu mendapat nilai yang memuaskan di ujian mereka ini. Ya, Jani mrmang seperti adik sendiri bagi Fredy.
Jani senang karena apresiasi yang disampaikan Fredy. Lalu ia terpikir tentang program magang yang harus ia dan Gina jalani sebelum mengerjakan ujian kelulusan.
"Oh ya kak, kami diharuskan menjalani program magang sebelum kelulusan. Apa bisa kami magang di perusahaan kakak?" Tanya Jani kemudian.
Fredy hanya mengulas senyum lalu menatap pada Gina. Adiknya ikut tersenyum. "Aku sudah mengatakan itu pada kak Fredy, jan..." jawab Gina kemudian.
"Oh maaf, kupikir kemarin kau bercanda Gin..." ucap Jani dengan semburat merah pipinya.
Fredy dan Gina tergelak dengan tingkah Jani. Masih saja gadis itu kaku pada mereka.
"Jangan khawatir Jani. Bahkan kalau kau mau, aku bisa merekomendasikanmu ke beberapa perusahaan yang bekerja sama dengan perusahaan kami. B&G Group mungkin..." tawa Fredy kembali tergelak setelah menggoda Jani.
Yang benar saja, itu adalah perusahaan Desta. Bisa mati kaku dia kalau harus magang disana dan bertemu Desta setiap hari. Itu sangat tidak baik untuk kesehatan jantung dan hatinya. Jani tertawa kecil sambil masih menahan pipi kemerahannya.
***
Desta menarik kopernya sampai seorang maid datang dan mengambil koper itu. Ia melangkah menuju kamarnya. Rumah itu luas, sangatlah luas. Dengan segala furniture bergaya europan klasik kesukaan mendiang sang ibu, dan berbagai fasilitas seperti kolam renang, lift, halaman depan dan belakang yang sama-sama luas. Belum berbagai fasilitas lain mengisi mansion besar itu. Namun sayang, kini hanya berpenghuni dia seorang. Bahkan jumlah maid lebih banyak dibanding tuan pemilik rumah itu sendiri.
Desta merebahkan tubuhnya. Jam menunjukkan pukul delapan malam. Baru ia akan menuju kamar mandi pikirannya berubah untuk berenang. Ya, mungkin dengan berenang akan lebih segsr sekalipun badannya kini sedikit letih setelah perjalanan udara dadakan dan lamanya sampai 17 jam.
Kaki kekar berotot nan jenjang itu menuju ke arah kolam. Menceburkan diri lalu sedikit bergaya dari ujung ke ujung kolam tersebut. Berenang di malam hari tak buruk juga.
Cukup dengan kegiatan berenang Desta melangkah keluar masih dengan boxer hitamnya. Lalu mengambil bathrobe yang sedari tadi sudah dipersiapkan salah satu maid pria dirumah itu. Ya Desta kebanyakan mempekerjakan maid pria dibanding wanita. Hanya beberapa yang terpaksa ia pekerjakan maid wanita, termasuk Reni karena sesuai kebutuhan bidangnya.
Desta menaiki tangga menuju kamarnya. Lalu mandi dan kembali ke ranjang membaringkan badannya. Memeriksa beberapa pemberitahuan di ponselnya.
Sampai ia menemukan sebuah nama di layar itu, Jani. Desta mencoba membuat panggilan namun sepertinya gadis itu sedang sibuk. Desta letakkan ponsel itu lalu bersandar pada punggung ranjangnya.
Tak lama seseorang mengetuk pintu kamarnya.
"Masuk" ucap Desta mempersilahkan.
Namun tak ada suara dari luar.
Desta kemudian beranjak dan membuka pintu itu. Matanya membulat setelah ia menemukan penampakan di depan pintu kamarnya. Seorang gadis dengan rambut uitam sedikit pirang di ujungnya. Berhias curly lucu yang langsung membuat Desta memeluknya.
"Kau.. aku sangat merindukanmu..." Desta membenamkan wajahnya di ceruk leher gadis itu. Mendekap tubuh gadis yang mematung karena tindakannya itu.
Tiba-tiba suara deheman berat membuyarkan romantisme di depan pintu kamar itu. Muncul Fredy dan Gina di belakang Jani. Desta yang pertama melihat mereka dengan kikuk melepaskan pelukannya pada Jani.
"Rupanya cukup Jani saja yang kau rindukan Des..." ledek Fredy pada sahabatnya.
Gina dan Jani terkekeh mendengar ucapak Fredy. Desta yang masih kikuk hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal karena menahan malu di depan mereka.
Obrolan berlanjut di meja makan karena memang Fredy sengaja mengajak kedua adiknya untuk makan malam di rumah Desta sambil memberi surprise setelah tau kabar kepulangan Desta.
Jani hendak membereskan peralatan bekas makan setelah mereka selesai makan malam. Namun tangannya yang sudah terjulur dicegah oleh Desta. Lalu pria itu memanggil beberapa maid untuk merapikan meja makan tersebut.
Gina terkekeh melihat tingkah sahabatnya, tak pelak Fredy. Sepertinya gadis itu memang dilahirkan dengan budi yang baik sampai tak pernah keberatan untuk melakukan apapun sendiri.
"Jani, kau harus terbiasa dengan kehidupan serba terlayani oleh pelayan disini. Kelak kalau kau sudah menjadi Nyonya Desta Barack, kau bahkan cukup mengayunkan satu jari untuk memanggil pelayan" kelakar Gina menasehati sahabatnya.
Jani kembali tersungging merah di kedua pipi mendengar ucapan Gina. Desta memandangi wajah ayu yang selalu menampakakkan kecantikannya itu. Tuhan, bisakah kuminta ucapan Gina tadi benar-benar terjadi? Kabulkanlah... hati Desta seakan memohon atas apa yang ingin didapatkannya.
Dalam obrolan malam itu, tiba-tiba dering ponsel Desta mengalihkan fokus semuanya. Pria itu sedikit beringsut saat di layar tertera nama Ricko.
"Kenapa lagi Rick, kebiasaan sekali kau menelponku malam-malam..." kesal Desta menyambut panggilan Ricko.
"Maafkan aku Boss kalau mengganggu istirahatmu tapi ini sangat penting. Pembangunan jembatan di Kalimantan yang direncanakan akan dimulai pengerjaannya bulan depan terhambat. Rekanan kita mengatakan kalau mereka kekurangan alat berat untuk pembangunan itu. Kabar buruknya penyedia alat itu sekarang hanya dimiliki oleh perusahaan milik Daniel Wijaya. Namun setelah aku hubungi mereka, mereka malah menolak untuk menyewakan bahkan menjual alat itu karena alasan yang tak mereka sebutkan..." jelas Ricko panjang lebar.
Desta berpikir sebentar lalu kembali berucap.
"Apa kita tidak bisa mengimpor alat itu? Bisa saja kan jadi solusinya?" Kembali Desta melayangkan pertanyaan krpada Ricko.
"Bisa saja, tapi akan berakibat pada biayanya nanti. Staff kita sudah memperhitungkan semuanya, bukan laba yang ada kita rugi. Dan nominalnya tidak sedikit" jelas Ricko kembali membuat Desta mengerutkan dahi. Sekilas ia memijat pelipisnya. Hal itu pun disaksikan oleh ketiga orang yang masih hyaman duduk di meja makan.
"Baiklah kita bicarakan lagi besok. Terimakasih untuk informasinya..." panggilan diputus.
Desta meletakkan ponselnya lalu menangkupkan kedua tangannya sejenak.
"Apa ada masalah?" Tanya Fredy membuka kesadaran Desta.
"Ya... sedikit. Tapi aku belum menemukan solusinya. Padahal besok aku ingin sejenak bersantai dulu ternyata sudah ada tugas baru untukku..." jawab Desta sambil menyeringai dirinya sendiri.
"Memang ada apa?" Tanya Jani kemudian. Desta menghangat karena ternyata Jani memperhatikan kesahnya saat ini.
"Hanya masalah proyek, besok aku akan membicarakannya di kantor..." ucap Desta melembut lalu tersenyum agar gadisnya tak khawatir lagi.
"Kalau kau butuh bantuan aku bisa membantumu..." ucap Fredy.
"Ricko bilang alat yang kubutuhkan hanya tersedia di perusahaan Daniel Wijaya. Tapi mereka menolak memberi bantuan bahkan untuk membelinya mereka tidak memberi. Namun mereka tidak memberikan alasan penolakan itu" terang Desta.
Fredy menggumam sembari berpikir, apa yang dijelaskan jelas sangat membingungkan. Dalam dunia bisnis hal seperti itu bisa saja dianggap lucu.
"Daniel Wijaya? Oh ya. Dia ayah David bukan, David Arkan Wijaya, ya kan Jan?" Gina terlonjak mengingat nama yang seakan tak asing baginya.
Jani mendelik, kaget. Jangan sampai pemikirannya itu benar. "David?"
"Oh tidak..." Fredy seakan mengingat sesuatu. Antara Fredy, Gina, dan Jani saling bertatapan. Tautan mata antar ketiganya seakan mengisyaratkan sesuatu yang Desta tak mengerti tentang itu.
"Hei kalian ini kenapa? Sudahlah... pasti aku bisa mengurusnya. Jangan membuat makan malam kita bercampur dengan urusan pekerjaanku..." Desta pun terkekeh.
Pikiran Jani berkecamuk. Ada rasa mengganjal di hatinya. Apa ini benar? Membiarkan Desta tak perlu tau apa yang menjadi sumber masalahnya? Jani mengerti. Halangan bantuan alat itu pasti karena David, dan David melakukan itu karena dirinya. Apa Jani benar? Hatinya bergemuruh dan memaksakan senyumnya kala masih berada dengan Desta.