Bagian 2
“Ris, ponsel lo bunyi, tuh! Dari tadi gue perhatiin, lo ngelamun sambil muter-muter sedotan doang.” Suara Silvi membuyarkan lamunan Kharisma.
Hari-hari yang dilalui gadis itu terasa berat setelah kepergian ayahnya. Dia tidak ceria seperti biasa, bahkan jarang sekali tersenyum. Bayangan ayahnya sering kali muncul dalam pikiran dan membuatnya menjadi sering melamun. Kharisma melihat ke layar ponsel dan ada nama Arya muncul di sana.
“Dokter Arya? Ngapain ya dia nelepon gue?” Kharisma merasa heran. Selama ini, dia berkomunikasi dengan Arya hanya sebatas untuk berkonsultasi tentang penyakit ayahnya.
“Ya mana gue tahu. Angkat aja dulu, siapa tahu memang ada yang penting!”
Kharisma mengikuti saran Silvi untuk mengangkat panggilan telpon dari Arya. “Asalamualaikum, Dok.”
“Wa alaikumussalam, Ris. Gimana kabar kamu?”
“Alhamdulillah, baik. Dokter Arya sendiri gimana?”
“Alhamdulillah, baik juga. Oh, ya Ris, apa bisa kita bertemu nanti sore?”
Kharisma mengernyitkan dahi sambil menatap ke arah Silvi. Dia menutup bagian bawah ponsel dan meminta pendapat sahabatnya sambil berbisik, “Doi minta ketemuan sama gue. Gimana, dong?”
Silvi hanya memberikan isyarat dengan mengangkat jempolnya.
“Halo, Ris. Kamu masih di situ, kan?”
“Oh iya, Dok. Boleh, nanti sore sekitar jam setengah empat, gimana?”
“Baik, saya hubungi lagi nanti, ya.”
Setelah menutup panggilan itu, Kharisma mulai menyantap makanan dan minuman yang dia pesan sambil mengobrol dengan Silvi. Namun, tak lama ada seorang petugas keamanan hotel yang datang menghampiri mereka. Dia membawa satu buket bunga mawar merah yang masih segar.
“Mbak Kharisma, dari tadi saya cari ke ruangan. Ternyata, lagi nongkrong di sini, toh. Ini ada titipan bunga untuk Mbak,” ujar petugas satpam itu.
Kharisma dan Silvi saling memandang. Ini pertama kalinya ada kiriman bunga yang ditujukan padanya. Kemudian, gadis berkulit putih itu pun menerima.
“Cie ..., yang punya pengagum rahasia! Jangan-jangan, itu dikirim sama dokter yang barusan nelepon lo, Ris!” kata Silvi meledek.
Kharisma mencari memo yang mungkin saja terselip di antara bunga-bunga itu. Sayangnya, dia tidak menemukan petunjuk apa pun dari si pengirim.
Tepat pukul 16.30, Kharisma sudah sampai di Andalas Coffee, tempat yang dipilih Arya untuk bertemu. Dia mengedarkan pandangan mencari keberadaan Arya. Saat matanya melihat dokter itu melambaikan tangan, Kharisma segera berjalan menuju meja tempatnya berada.
Mereka duduk berhadapan dan suasana terasa sedikit canggung. Ini pertama kalinya Kharisma bertemu dengan Arya selain di rumah sakit. Dokter berkacamata itu berpakaian sangat santai dengan kaus kerah berwarna biru muda yang membuatnya terlihat lebih muda.
“Udah nunggu lama ya, Dok?” tanya Kharisma untuk mencairkan suasana.
“Enggak, kok. Cuma sekitar lima menit. Gimana kabar Bunda dan Fatih?”
“Alhamdulillah, mereka sehat. Bunda harus selalu ditemani supaya gak sedih terus. Karena Fatih masih ngerjain skripsi dan jarang ke kampus, jadi dia bisa menemani Bunda di rumah.”
Keduanya kembali terdiam. Seorang pramusaji datang dan menyajikan dua gelas mochaccino dingin untuk mereka.
“Maaf, saya lebih dulu pesan mochaccino untuk kita. Kamu suka, gak?”
“Saya kira, seorang dokter gak suka minum kopi,” komentar Kharisma disusul tawanya. “Kalau saya, sesekali suka minum, sih, Dok. Oh ya, ngomong-ngomong ada apa, Dok?” tanya Kharisma tanpa ingin banyak berbasa-basi.
“Hmm … saya cuma pengen ketemu kamu aja. Biasanya, kan, saya ketemu kamu setiap dua minggu sekali,” jawab Arya sambil tersenyum hingga membentuk kedua lesung pipinya.
“Wah, jangan-jangan ... Dokter Arya rindu, nih, sama saya!”
Arya sedikit menahan tawa karena tebakan Kharisma memang benar. Rindu. Mungkin, itulah alasan yang tepat bagi dokter jantung itu untuk mengajak Kharisma bertemu. Berawal dari suatu kebiasaan, yang lama-kelamaan menjadi sebuah kebutuhan karena sepertinya, benih-benih cinta mulai tumbuh dalam hatinya.
“Kalau saya beneran rindu gimana, Ris? Tasya juga bilang gitu, dia ngomong terus pengen ketemu kamu,” ujar Arya mengalihkan kegugupannya.
“Lho, kenapa gak ajak Tasya sekalian?”
“Saya, kan, langsung dari rumah sakit, gak sempat pulang dulu.”
Arya terus mencari bahan pembicaraan agar dia bisa mengobrol dengan Kharisma. Sedangkan dari lantai atas, ada seseorang yang memperhatikan mereka tanpa melepas pandangan.
Rama berdiri sambil memasukkan kedua tangan pada saku celana. Otaknya terus berpikir untuk mengingat-ingat wajah lelaki yang sedang mengobrol dengan gadis yang dia incar. Hatinya merasa kesal saat melihat Kharisma tersenyum manis sekali di hadapan lelaki itu. Kemudian, dia mengambil ponselnya dan mengirim sebuah pesan.
[Selamat sore Nona Kharis, saya pemilik mobil yang Anda tabrak beberapa waktu lalu. Kapan kita bisa bertemu?]
Pesan sudah terkirim. Ceklis dua berubah menjadi biru. Rama tersenyum saat Kharisma menjawab pesannya.
[Sore. Terima kasih sudah menghubungi. Besok saya libur kerja, bagaimana kalau besok sekitar jam 11.00.]
Jantung Rama berdegup lebih kencang hanya dengan membaca pesan dari gadis itu. Dia menyentuh dadanya, menarik napas dalam, lalu kembali mengetik pesan balasan.
[Baik, besok pukul 11.00 saya tunggu di Andalas Coffee, ya. Terima kasih.]
[Ok. Terima kasih kembali.]
Setelah selesai mengetik balasan yang terakhir, Kharisma terlihat memasukkan ponselnya ke dalam tas dan berpamitan pada lelaki itu. Rama tersenyum tipis, sebentar lagi misinya akan segera dimulai.