Bagian 3
Kharisma sangat mengagumi sosok ayahnya. Ada pelajaran hidup yang selalu dia ingat dari seorang Satya, yaitu selalu bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukan. Oleh karena itulah, dia berani untuk memberikan tanda pengenalnya pada seseorang yang mobilnya dia tabrak dan berjanji untuk bertanggung jawab.
Setelah tiba di parkiran sekitar Andalas Coffee, Kharisma mencari mobil Sedan hitam yang ditabraknya. Dia tidak melihat ada mobil yang sama di parkiran itu karena mungkin pemiliknya belum datang. Gadis itu memasuki kedai kopi dengan santai, melihat sekeliling dan memilih tempat duduk paling ujung yang menghadap ke jendela. Baginya, akan lebih nyaman duduk tanpa harus melihat orang yang berlalu-lalang.
Selang beberapa menit kemudian, ada suara seseorang yang mengejutkan Kharisma.
“Asalamualaikum, Nona Kharis,” sapa pria yang gayanya terlihat casual dengan mengenakan kaus berkerah hitam yang dipadukan dengan celana jeans cokelat muda.
Kharisma berdiri dan menatap Rama. Kali ini lelaki bertubuh tinggi itu tidak memakai masker sehingga wajah tampannya terlihat jelas.
“Wa alaikumussalam, Pak. Silakan duduk!”
Mereka duduk berseberangan. Rama terus memandang Kharisma sedangkan gadis itu malah menunduk karena merasa gugup.
“Ini KTP kamu, saya kembalikan,” ucap Rama seraya menyodorkan sebuah kartu milik Kharisma di atas meja.
“Saya minta maaf, Pak. Apa sekarang mobilnya masih di bengkel?”
Rama terkekeh. Di matanya, Kharisma terlihat lucu seperti anak kecil yang baru melakukan kesalahan.
“Apa saya kelihatan kayak bapak-bapak? Nama saya Rama, panggil aja Rama.” Lelaki itu berusaha berbicara setenang mungkin sambil menahan debar jantungnya. “Mobil saya udah selesai diperbaiki,” sambungnya lagi.
Kharisma merasa bingung. Entah dia harus menjawab apa. Jika bertanya berapa biayanya, dia khawatir Rama akan tersinggung. Namun, bila tidak bertanya, bagaimana bisa tahu biaya yang harus diganti?
Rama memetikkan jarinya di depan wajah Kharisma, membuat gadis itu sadar dari lamunannya.
“Kamu tetap harus bertanggung jawab, Nona Kharis dan aku akan bertanggung jawab atas kamu.”
“Hah, maksudnya?”
“Menikahlah denganku!”
Gadis itu terperanjat. Baru dua kali mereka bertemu, mana mungkin dia dilamar seperti itu?
“Maaf, Mas Rama tadi ngomong apa?” Kharisma berbicara selembut mungkin agar tidak menyinggung perasaan Rama.
“Aku mau kamu menikah denganku.” Rama mengucapkan kalimatnya dengan menekan setiap kata agar Kharisma benar-benar mendengarnya.
Gadis itu kembali terkejut. Kali ini dia memberanikan diri menatap mata Rama yang sejak awal terus menatap wajahnya. Dia merasa lelaki yang ada di hadapannya ini pasti sedang bercanda. Namun, Rama seolah-olah bisa membaca pikirannya.
“Aku gak bercanda, kok! Aku beri waktu tiga hari untuk kamu memikirkannya, Nona Kharis. Menikah denganku itu adalah satu-satunya cara untuk kamu bertanggung jawab.”
Sejak pertama kali Rama datang, ada sesuatu yang aneh bagi Kharisma. Kenapa Rama memanggilnya Kharis, bukan Kharisma, atau Risma seperti yang lainnya, karena hanya ayahnya yang biasa memanggilnya seperti itu.
Mereka saling menatap. Rama merasa ini harus cepat diakhiri karena dia sudah tidak tahan lagi dengan jantungnya yang terus berdegup kencang.
“Aku permisi dulu, Nona Kharis. Cuma tiga hari ya, lebih cepat lebih baik dan aku gak mau ada penolakan!” ucap Rama sambil beranjak dari tempat duduknya.
Kharisma tidak bisa berkata-kata. Bahkan, ketika lelaki itu pergi dan mengucapkan salam, dia hampir saja lupa untuk mejawab. Pikirannya entah ke mana. Akhirnya, dia pun bangun dan berjalan menuju pintu keluar tanpa menyadari bahwa Rama masih terus mengawasinya dari lantai atas.
Baru beberapa langkah Kharisma berjalan, pintu kedai kopi itu terbuka. Seorang pria masuk dengan menggandeng seorang anak perempuan cantik yang wajahnya sangat dia kenal.
“Tante Risma ….” Anak perempuan itu memanggil Kharisma sambil berlari ke arahnya.
“Tasya Sayang ….” Kharisma memeluk Tasya erat karena mereka memang sudah lama tidak bertemu.
“Pa, Tasya mau Tante Kharisma jadi mamanya Tasya. Boleh ya, Pa?” kata gadis kecil itu dengan suara yang cukup keras.
Sontak, semua mata tertuju pada mereka. Kharisma masih memeluk Tasya dengan mata terpejam karena menahan malu. Arya menghampiri mereka dan memanggil putrinya, tetapi Tasya tidak mau melepaskan pelukannya.
Tasya merupakan anak perempuan Arya yang berusia enam tahun. Dia sudah cukup lama mengenal Kharisma karena mereka sering mengobrol dan bermain ketika bertemu di rumah sakit. Kharisma membuatnya merasa nyaman dan ingin terus berada di dekatnya.
Tiba-tiba, ponsel gadis bermata sipit itu berdering. Ada nomor yang belum dia simpan meneleponnya. Tasya terpaksa melepaskan pelukannya saat Kharisma hendak mengambil ponsel dari dalam tasnya.
“Nona Kharis, apa kamu butuh bantuanku untuk mengeluarkan kamu dari situasi saat ini?”
“Mas Rama, sekarang di mana? Oh, baik, saya keluar, ya.”
Kharisma mengerti maksud Rama dan memanfaatkan momen itu untuk segera pergi.
“Tasya Sayang, Tante pergi dulu, ya. Lain kali kita main lagi, sekarang Tante lagi ditunggu sama seseorang di luar,” ucap Kharisma lembut sambil membelai rambut Tasya.
Arya hanya memperhatikan mereka. Setelah berpamitan, Kharisma segera keluar dengan mempercepat langkahnya seolah-olah dia sedang terburu-buru.
Setelah berhasil keluar dan menjauh dari pintu kedai, Kharisma membuang napasnya lega. Dia menengok ke kanan dan kiri mencari Rama, tetapi dia tidak melihatnya. Kharisma heran, di mana Rama dan bagaimana dia tahu kejadian tadi. Kemudian, dia membalikkan badannya.
“Aduh!” Kharisma meringis sambil mengusap dahinya yang sakit.
“Kamu gak apa-apa, Ris?” Rama juga merasa dagunya sakit.
‘Kamu?! Kenapa tiba-tiba ada di belakangku!"
Rama menatap wajah cemberut Kharisma yang justru membuat dia tampak lebih menarik. “Mau aku antar pulang?” tanya Rama agar dia memiliki kesempatan untuk berlama-lama bersama Kharisma.
“Gak perlu, aku bawa motor sendiri. Dan jangan ngikutin aku!” jawab Kharisma dengan ketus.
Rama sedikit menahan tawa. “Baiklah, Tuan Putri. Hati-hati, ya bawa motornya! Jangan sampai nabrak orang lain lagi! Karena aku khawatir, nanti aku jadi punya saingan,” ucap Rama meledek.
Kharisma membalikkan badan dan berjalan meninggalkan Rama menuju tempat parkir motor. Hatinya dipenuhi rasa kesal, malu, dan dilema. Hampir sepanjang jalan, gadis itu menggerutu memikirkan permintaan Rama yang rasanya tidak masuk akal.
Perkataan Kharisma tadi justru memunculkan ide dalam pikiran Rama untuk mengikuti gadis itu. Dia ingin memastikan Kharisma sampai ke rumahnya dengan selamat. Rama bergegas untuk masuk ke dalam mobil dan menunggu Kharisma melewatinya.
Setelah beberapa menit Kharisma keluar dari tempat parkir, Rama pun mengikutinya di belakang. Kharisma mengendarai motor dengan sedikit mengebut, menyalip ke kanan dan kiri, serta sering kali lupa menyalakan lampu sein sebelum berbelok. Rama hanya bisa menggeleng dan bertekad akan melarang Kharisma kembali mengendarai motor jika sudah menjadi istrinya kelak.
Sekitar lima belas menit perjalanan, Kharisma sampai di rumahnya. Dia memarkirkan motor, lalu menutup kembali pintu gerbang. Rama yang memperhatikan Kharisma dari kejauhan, akhirnya bisa bernapas lega. Langkah pertama sudah Rama lakukan dengan sukses dan dia bersiap untuk langkah selanjutnya.