Bagian 1
“Teh, cepet ke rumah sakit sekarang juga! Kondisi Ayah makin lemah,” kata Fatih sesaat setelah Kharisma menerima telepon darinya.
“Innalillahi. Kita ketemu di rumah sakit ya, Teh Risma bentar lagi otw.” Kharisma bergegas merapikan meja kerjanya dan berlari ke parkiran hotel.
Seperti biasa, dia mengendarai sepeda motor matic-nya. Jalanan cukup ramai dan suara klakson terdengar bersahutan karena bertepatan dengan jam pulang kantor. Jarak dari WK Royal Hotel ke Rumah Sakit Harapan hanya sekitar tujuh kilometer, tetapi perjalanan terasa sangat lama. Kharisma benar-benar mengkhawatirkan keadaan ayahnya.
Brak!
Tanpa diduga Kharisma menabrak sebuah mobil Sedan hitam yang tiba-tiba berhenti mendadak. Beruntung gadis itu tidak sampai terjatuh. Pengendara mobil terpaksa mengerem sekaligus karena ada orang yang menyeberang sembarangan.
Setelah menepi di bahu jalan, seorang lelaki bermasker keluar dari mobil itu dan melihat bagian belakang mobilnya yang tertabrak. Dengan terpaksa, Kharisma pun ikut menepikan motornya.
“Maaf, saya gak sengaja, Mas. Saya akan tanggung jawab.” Kharisma meminta maaf lebih dahulu karena tidak ingin terlibat perdebatan walaupun bagian depan motornya pun ada yang penyok.
Rama hanya bergeming menatap gadis itu. Bros inisial K dan blazer berlogo WK Royal Hotel yang dipakai oleh Kharisma sangat menarik perhatiannya. Lidahnya terasa kelu memandang wajah yang tidak asing baginya hingga sulit untuk berkata-kata.
Kharisma mulai tidak sabar. Dia membuka tas dan mengeluarkan sesuatu dari dompetnya.
“Mas, ini KTP dan kartu nama saya. Sekarang saya buru-buru karena ayah saya lagi di IGD Rumah Sakit Harapan. Nanti Mas hubungi saya aja, ya!” ujar Kharisma panik. Tanpa menunggu lama, dia segera pergi meninggalkan Rama.
“Hei, tunggu dulu! Hei, Nona!” teriak Rama yang baru tersadar setelah menerima kartu nama dari Kharisma. Sayangnya, gadis itu sudah melaju cukup jauh.
Rama segera kembali ke mobilnya. Dia memperhatikan informasi pada kartu yang dipegangnya. Tidak lama kemudian, lelaki itu menelepon seseorang yang biasa dia andalkan.
“Selamat sore, Tuan Muda. Ada yang bisa saya bantu?” sapa seseorang di seberang sambungan telepon.
“Pak Hendri, saya minta data lengkap tentang karyawati WK Royal Hotel yang bernama Kharisma Kala Purnama. Segera kirim ke email saya ya, Pak!” perintah Rama pada asisten pribadinya.
“Baik, Tuan Muda.”
Usai menutup panggilan telepon itu, dia pun kembali menyalakan mobilnya. Rama ingat bahwa Kharisma akan pergi ke Rumah Sakit Harapan yang letaknya tidak jauh dari posisinya saat ini. Dia harus memastikan dugaannya tentang gadis itu terbukti benar.
Sesampainya di rumah sakit, Rama mulai mencari Kharisma di sekitar lobi dan IGD. Saat melewati sebuah lorong, dia melihat gadis itu sedang berdiri dengan gelisah. Diam-diam Rama terus berjalan mendekat.
Ayah Kharisma menderita penyakit jantung. Biasanya, setiap dua minggu sekali harus kontrol ke rumah sakit ditemani oleh Kharisma atau adiknya yang bernama Fatih. Akhir-akhir ini, kondisinya semakin parah bahkan harus dirawat inap. Namun, karena tidak mau merepotkan istri dan anaknya, beliau bersikeras ingin tetap di rumah saja.
Arya–seorang dokter spesialis jantung dan pembuluh darah–keluar dari ruang tindakan. Raut wajahnya terlihat putus asa dan membuat Kharisma semakin cemas.
“Pak Satya ingin bertemu dengan keluarganya,” ucap dokter itu.
Mereka segera masuk ke ruangan. Kharisma memegang kaki ayahnya yang mulai dingin. Aisyah berdiri di samping suaminya sambil memegangi tangan dan mengusap kepalanya. Sedangkan Satya hanya menatap langit-langit dengan napas yang tidak teratur.
Aisyah seperti sudah memiliki firasat buruk. Dia berulang-ulang menalkinkan kalimat syahadat tepat di samping telinga Satya. Kharisma hanya bisa menangis sambil membenamkan kepala pada bahu Fatih karena ini pertama kalinya dia melihat bagaimana orang yang sedang sakaratul maut.
“Innalillahi wa innailaihi roji'un. Ayah sudah gak ada,” kata Aisyah sambil menahan tangisnya.
Arya kembali masuk dan memeriksa tubuh lelaki berusia enam puluh tahun itu. Mata dan bibirnya sudah tertutup rapat. Detak jantung pun sudah tidak ada. Satya benar-benar telah meninggal dunia. Kharisma terus menangis sambil memeluk tubuh ayahnya. Dia tidak siap dengan kepergian sang ayah hingga tiba-tiba dirinya pun tidak sadarkan diri.
Rama masih berdiri di balik pintu ruangan itu. Lamat-lamat dia sempat mendengar suara tangisan gadis itu. Hatinya dipenuhi oleh rasa bersalah karena kejadian tadi sempat menghambat Kharisma untuk bisa segera sampai ke rumah sakit.
Suara dering ponsel membuat Rama terpaksa harus menjauh. Dia pun segera menerima panggilan telepon yang masuk dari ibunya.
“Ya, Mi. Ada apa?” tanya lelaki itu dengan suara pelan.
“Tadi Mami belum selesai bicara, kenapa kamu tutup teleponnya? Pokoknya Mami gak mau tahu, bulan depan kamu harus bawa perempuan yang akan jadi istrimu. Kalau masih belum ada juga, Mami akan jodohkan kamu dengan putrinya Om Joni. Kali ini papi kamu gak mau ada lagi penolakan!” Rama menjauhkan ponsel itu dari telinganya, enggan mendengar omelan sang ibu.
“Tadi ada insiden, Mami. Please, kasih Rama waktu lagi ya, Mi!” jawabnya memohon.
“Oke, Mami kasih kamu tambahan waktu jadi dua bulan. Mami sama papi kamu itu udah tua, bentar lagi mau pensiun dan pengen nimang cucu, Rama.”
“Iya, iya, paham. Mi, udah dulu, ya. Rama lagi ada misi penting, nih. Nanti kita teleponan lagi.”
Rama sudah hafal betul dengan kalimat yang sering diucapkan ibunya bila sudah mengungkit masalah jodoh. Setelah panggilan telepon itu ditutup, dia memeriksa notifikasi yang masuk pada email-nya. Ada sebuah pesan yang berisi data-data yang dia minta pada Hendri. Matanya terbelalak saat melihat biodata lengkap gadis itu.
Dia adalah Kharis yang aku cari selama ini! Aku gak akan melepaskan dia lagi, ujarnya dalam hati.