Menantu sang Kiayi

1070 Kata
Pagi yang dingin sudah menyapa, sang muadzin mengumandangkan adzan dengan sangat merdu tanda untuk menyeru. Bulan dan Bintang yang masih terjaga menghapus air mata pasrah, berjalan gontai ke arah kamar mandi dan menjalankan kewajiban. Berharap apa yang mereka lakukan dapat menenangkan hati dan pikiran. Juga berharap keadaan akan lebih baik sesuai dengan apa yang di inginkan. Berbeda dengan Arka yang baru saja tertidur di sofa langsung terlonjak saat tangan halus menyentuhnya. "Umi?" Bangun dan merapihkan pakaian. "Kau tidur disini, Nak?" Umi menatap wajah menantunya sayu, wajah Arka terlihat begitu kelelahan. "Ah, tidak, Umi. Arka habis cari air dan duduk sebentar disini. Taunya tertidur," tutur Arka sopan. Tak lama Abah datang, dengan sarung, peci, lengkap dengan sorban yang sudah melekat di tubuhnya ia menghampiri istri dan menantunya. "Haih, sudah bangun?" "Sudah, Bah," tutur Arka sedikit membungkuk. "Abah kira akan kesiangan setelah membuka segel," tutur Abah yang langsung di pelototi Umi. Arka hanya tersenyum simpul. "Karena kau sudah bangun, ayolah kita ke mesjid. Kita sholat berjamaah disana," ajak Abah membuat wajah Arka seketika mengkerut lelah. Aku baru saja tidur, bukan baru saja bangun, Bah. "Baik, Bah. Arka siap-siap dulu, yah," tutur Arka sopan. Memangnya siapa dirinya berani menolak ajakan sang mertua, bisa-bisa di depak dari rumah hari itu juga jika ia berani melakukannya. "Ya, bersiaplah. Abah tunggu di depan, ya!" ucap Abah kemudian berjalan ke ruang depan bersama Umi. Arka tersenyum mengangguk kemudian buru-buru berlari masuk ke kamar, mencari alat sholat yang dibutuhkan. "Wudhu dulu," tutur Bulan saat melihat suaminya langsung ingin memakai sarung dan koko. Entah lupa atau panik, Arka menurut saja dan langsung masuk ke kamar mandi. Membersihkan tubuhnya secepat kilat kemudian berwudhu. "Ayo, Bah!" tutur Arka sopan saat sudah di samping mertuanya. Abah tersenyum bahagia, menantunya sigap juga. Ternyata tidak hanya tampan dan kaya, Arka juga merupakan pemuda yang baik. Kedua pria itu berjalan beriringan menuju mesjid. Mesjid besar yang berlokasi tidak jauh dari rumah dan astrama. Mesjid besar yang memang di percayakan pada Haji Abdullah untuk di kelola. Para santri langsung berdiri saat melihat kedatangan guru meraka bersama sang menantu baru, menyalami dan membungkuk hormat. Tak lupa juga mereka juga menyalami Arka. Menantu sang kiyai. Arka sempat tertegun karena di hormati. Padahal dia hanya seorang pemuda malas yang sibuk bermain motor dan basket. Selebihnya belajar semaunya dan menghabiskan waktu bersama Bintang. Bukan seorang pemuda baik dan panutan yang selalu menuntut ilmu agama. Arka merasa dirinya berubah dalam sekejap. Namun selanjutnya, Arka terkejut karena ucapan Abah. "Majulah, Nak. Ini adalah kali pertama kamu menginjakkan kaki disini, dan Abah ingin kamu mengimami kami," tutur Abah di angguki semua santri putra. Arka meneguk saliva kasar. Jalankan menjadi imam sholat subuh di mesjid, bisa sholat subuh jam 6 saja Arka sudah sujud syukur. "Baik, Bah." Lagi, dan lagi. Arka tidak bisa menolak. Dengan langkah sedikit gemetar, Arka mulai melafalkan takbir, diikuti seluruh santri dengan serempak. Arka memejamkan mata mulai membaca ayat tiap ayat suci yang ia hafal. Meski bukan ayat panjang, setidaknya ada surah yang Arka hafal untuk ia baca hari ini. Matahari mulai menyapa, menghangatkan penduduk bumi yang mulai menjalankan aktifitas mereka. Arka dan Abah sudah kembali dari masjid. Kini, mereka sudah berkumpul di ruang keluarga setelah sarapan pagi. Sudah ada Kakek dan Paman Jimmy di ruang itu, tak lupa juga Umi dan Bulan. Sedang Bintang? Entahlah, setelah kejadian semalam, gadis itu belum juga menampakan batang hidungnya. Bi Lastri mengatakan jika Bintang sedang tidak enak badan dan meminta sarapannya di antar ke kamar. Hal itu membuat Arka cemas dan ingin menemuinya. Namun Arka urungkan niatnya mengingat ini bukanlah waktu yang tepat. “Kakek sudah menentukan rumah yang pas untuk kalian tempati,” tutur Kakek dengan senyum antusias. Arka hanya mengangguk, membiarkan kakek menentukan apapun pada hidupnya. Arka sudah tak peduli apapun lagi perihal dirinya. Cinta dan hidupnya sudah hancur bersama dengan air mata Bintang. Tidak ada hal apapun lagi yang Arka inginkan saat ini, melainkan hanya ingin menemui Bintang, memastikan kondisi gadisnya baik-baik saja. Padahal awalnya Arka mengira Kakek akan membebaskan dia dari perjodohan ini setelah ia ma belajar ilmu bisnis di LN. Tapi setelah kepulangan, ternyata kakek benar-benar menjodohkan dia dan memaksa dia agar segera menikah. Dan kalau tidak, maka hidup kakek taruhannya. Karena tidak ada sanggahan apapun dari Arka maupun Bulan, Kakek menyimpulkan itu sebagai persetujuan dan membuat obrolan perihal pindah rumah cepat selesai. Arka dan Bulan kembali ke kamar, menyiapkan segala keperluan yang akan mereka bawa ke rumah baru. "Apa aku perlu membawa semua bajuku?" tanya Bulan sopan saat mereka sudah berada di dalam kamar. Arka melirik koper Bulan acuh. "Gue nggak peduli!" jawab Arka sinis, matanya kembali menatap pintu kamar Bintang yang berada tepat di depan kamar Bulan. Hati Bulan seperti teriris melihat mata biru itu terus menatap kamar adiknya. "Apa kakak ingin menemui Bintang?" tanya Bulan membuat Arka langsung menatapnya. "Pergilah, Bulan akan mengalihkan perhatian semua orang," tutur Bulan lagi sopan. Arka terlihat menarik bibir, kemudian langsung berlari mengabaikan wajah Bulan yang saat ini sudah basah oleh air mata. Bulan bodoh! Apa yang kau lakukan? Kau biarkan suamimu menemui kekasihnya? Bulan menggeleng cepat, dia tidak boleh egois. Mereka saling mencintai. Dengan tangan gemetar Bulan mulai mengemas barang-barang, kemudian buru-buru membawanya ke bawah. Takut jika mereka tiba-tiba ke atas dan melihat Arka di kamar Bintang. Mata Bulan seakan tertusuk ribuan belati melihat pintu kamar Bintang yang saat ini sedikit terbuka, dari posisinya Bulan dapat melihat jelas Arka sedang memeluk Bintang. Suaminya memeluk adiknya sendiri. Tubuh Bulan seakan dihantam batu besar, hancur berantakan. Namun ia abaikan rasa sakit itu dan segera bergabung ke bawah. "Kau sudah selesai? Umi baru saja ingin membantumu," tutur Umi yang sudah berada di anak tangga. Bulan dengan segera meraih Umi dan menuntunnya untuk duduk. "Umi tidak perlu repot-repot, Bulan sudah selesai kok," Berusaha menampilkan yang terbaik dengan menampilkan senyum terbaiknya. "Lalu dimana Arka? Bukankah dia tidak mengemas apapun?" Pertanyaan kakek membuat Bulan sedikit kebingungan kali ini. Kakek dan Paman Jimmy saling pandang. "Ah, iya. Anu, Bulan minta tolong sesuatu sama Kak Arka tadi, Kek. Jadi dia sedikit terlambat," ujar Bulan sambil tersenyum kikuk. Kakek dan Paman Jimmy dapat melihat jelas hal itu. Kemudian beranjak dan mulai melangkah. "Kakek mau kemana?" pekik Bulan sudah tak karuan. Matanya menatap atas lantai, berharap Arka segera keluar sebelum kakek melanjutkan langkah lagi. “Kakek hanya ingin membantu cucuku, sayang," tutur Kakek lembut tapi membuat Bulan semakin ketakutan. "Bantu apa? Aku sudah selesai kok, Kek," Arka datang dengan sebuah kardus di tangannya membuat Bulan menghembuskan nafas lega. Bersambung….
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN