Peraturan rumah

1611 Kata
Semilir angin menggerakkan hijab putih nan bersih milik Bulan. Berterbangan bebas menampilkan betapa indah dan sucinya dia. Setelah kepulangan Umi, Abah, Kakek, dan Paman Jimmy. Bulan berdiam diri di atas balkon rumah baru mereka. Tidak! Balkon rumah Tuannya lebih tepatnya. Tuannya? Ya, setelah kepergian para orang tua, Arka melempar buku besar tepat ke wajah Bulan. Buka itu berisi aturan-aturan dan pekerjaan rumah yang harus di kerjakan oleh Bulan selama di rumah ini. Semuanya tertulis dengan sangat jelas dan terperinci. Semua pekerjaan bisa Bulan laksanakan, karena itu memang biasa dia lakukan. Namun kalimat terakhir di buku itu membuat hati Bulan hancur berkeping-keping. Tidak ada kontak mata atau fisik, dilarang mencampuri urusan pribadi masing-masing. Dan yang lebih menyakitkan lagi, mereka akan bercerai setelah satu tahun pernikahan. Bulan menepis air mata kasar, membiarkan angin mengeringkannya dengan cepat. Bulan kira pelukan Arka dan Bintang di kamar tadi adalah bentuk perpisahan mereka. Bersedih hati tapi tetap menerima pernikahan ini. Namun Bulan salah, cinta Arka dan Bintang ternyata lebih kuat dari pada pernikahan suci ini. Namun ucapan kakek di sambungan telepon tadi membuat Bulan bingung. "Kakek titip Arka padamu ya, Bulan. Kakek percaya kamu adalah gadis baik dan kuat. Kamu pasti bisa merangkul Arka dan membuatnya menjadi lebih baik. Nak Bulan, Arka sudah tidak memiliki siapapun lagi selain aku dan kamu di dunia ini. Dan kakek tidak tahu usia kakek bisa sampai kapan, jadi kakek mohon berbahagia dan cintailah Arka dengan sepenuh hati hingga kalian memberikan cicit padaku," tutur Kakek terdengar begitu lirih. Wejangannya tidak beda jauh dengan Umi dan Abah. Intinya, para orang tua mengharapkan Bulan dan Arka menjalani pernikahan ini dengan baik dan menerima satu sama lain. "Apa kamu tuli hah? Saya tanya dimana ponsel saya yang saya kasih ke kamu tadi!" suara tegas Arka membuyarkan Bulan dari lamunannya. Pria tampan yang kini terlihat lebih dewasa dengan postur tubuh tinggi dan d**a bidang itu terlihat begitu kesal. Bagaimana tidak, setiap kali ia melihat Bulan Arka selalu teringat pada kekasihnya Bintang. Sekaligus mengingatkan ia pada pengusiran Bintang padanya tadi. Ya, setelah pelukan itu Bintang tersadar dan mendorong d**a Arka, mengusir pria itu agar segera keluar dari kamarnya dan mengunci pintu. Bintang marah pada Arka, pada abah juga pada dirinya sendiri. Takdir kisah cinta yang rumit membuat Bintang marah tapi tak kuasa berbuat apapun. Semalaman gadis itu menangis, berusaha berdamai dengan keadaan dan menerima semua. Tapi tetap saja dia benci, andai saja dia tahu calon pria yang di maksud abah adalah Arka, Bintang pasti akan berada paling depan. Menerima bahkan menawarkan diri sebagai calon pengantinnya. Karena menikah dengan arka adalah salah satu impiannya, hidup berdua di rumah baru serta menjalankan rumah tangga. Namun nyatanya kak Bulan lah yang akan hidup berdua dengan kekasihnya itu. Bintang kesal. Kenapa juga Arka tidak memberitahunya? Berpura-pura tidak tahu dan berjanji tidak akan pergi seolah akan hidup bersama saja. “Kamu tidak memberitahuku,” tutur Bintang dengan tatapan sinis, menarik bibir menertawan dirinya sendiri. Arka seperti tersidak, “Ak-ku, aku bisa jelasin, Sayang.” “Cukup!” Bintang mengangkat tangan. Membuat Arka semakin berkeringat gusar. Bodoh! Bintang benar, kenapa dia tidak memberitahu Bintang saja. Bukankah dengan begitu Bintang bisa menghentikan perjodohan sialan ini, atau setidaknya Bintanglah yang menjadi pengantinnya. Arghhh! Entahlah. Arka begitu ketakutan saat itu maka dari itu dia lebih memilih menyembunyikannya. “Sayang, please-.” Bintang kembali mengangkat tangan, tidak ingin mendengar apapun lagi. Apa yang Arka lakukan, mengingatkan Bintang pada suatu hal. Hal yang membuat Bintang tersadar. Pantas Arka tidak pernah ikut membuli kakaknya. Ya, Bintang tahu, Arka hanya biasa memaki atau mengucap dengan kata jelek. Tidak dengan berlaku kasar seperti siswa lain. “Kamu tidak memberitahuku dan menerima pernikahan ini. Itu artinya kamu mencintai kakakku,” tutur Bintang berasumsi. Bibir kecilnya tersenyum kecut. Sedang Arka melotot tajam. “Sayang, what you say?” Arka tak habis fikir, bagaimana bisa kekasihnya mengira dia mencintai gadis cupu itu. That’s impossible! "Sayang, sepetinya kamu sudah kehilangan akal. Aku tidak mungkin mencintai si cupu itu. Aku hanya mencintaimu. Bintang? Bintang?" Bintang tak mendengarkan, mendorong d**a pria itu dengan sekuat tenaga. “Pergi dari kamarku!” “Sayang! What are you doing?” Arka mengangkat tangan, tak menyangka akan di usir. “Bintang! i love only love you, I can’t life without you.” Teriak Arka saat pintu sudah tertutup dan terkunci “s**t!” Pria itu berteriak seraya hendak menonjok pintu, tapi belum sampai tangannya sampai Arka menarik kembali tangannya. Mengingat posisi dan suasanya. Membuang nafas kasar kemudian melenggang pergi. Sedang Bintang semakin menangis setelah kepergian Arka. Jujur, Bintang ingin Arka mendobrak pintu itu saja, menenangkannya dan membawanya pergi sejauh mungkin. Bukan malah pergi seperti itu! "Maaf, Kak, maaf, Bulan sedang membaca buku tadi. Ini ponselnya," tutur Bulan begitu ketakutan, membungkuk seraya memberikan ponsel Arka tanpa berani menatapnya. Arka meraih tisu dan mengambil ponselnya kasar. Namun karena tisu kering yang licin membuat ponselnya jatuh dan retak. "s**t! Kamu ini manusia atau bukan sih? Heran saya kenapa ada manusia se oon kamu!" hina Arka tak habis fikir. Menatap nanar ponselnya, persis seperti kue ulang tahunnya tempo hari. Gadis ini benar-benar membuat Arka naik darah. Selain jelek, si cupu ini juga b**o dan pembawa sial. Berbanding terbalik dengan Bintangnya yang perfect. Bulan kelimpungan, langsung jongkok meraih ponsel itu dan mengusap-ngusapnya. "Stop! Jangan sentuh!" "Tapi, Kak," sanggah Bulan seraya mendongkak membuat Arka semakin murka. "Jangan sentuh dan tatap saya, Bodoh!” "Maaf, Kak. Bulan khilaf, Bulan nggak akan ulang lagi kok. Bulan juga akan coba perbaiki ponsel ini.” Langsung menunduk lagi seraya membenarkan kacamatanya. Kemarahan Arka adalah hal yang paling tidak Bulan harapkan. "Bulan, CUKUP! Saya bilang jangan sentuh, Bodoh! Saya benci semua yang ada dalam diri kamu, kenapa juga harus kamu? Kenapa bukan Bintang yang jadi istri saya!" Deg! Suara menggelegar Arka kali ini membuat Bulan langsung diam membeku, meletakan ponsel di lantai dan berbalik pergi. Hatinya begitu hancur. Teriakan dan Makian Arka masih bisa bulan terima, tapi di bandingkan dengan wanita lain rasanya lebih sakit dari apapun. Apalagi dengan adik sendiri di tambah dengan adegan pelukan Arka dan Bintang di kamar tadi, semua masih terlihat jelas di mata Bulan. Membuat gadis itu melow. Air matanya mengalir deras bersamaan dengan tubuhnya yang kini sudah jatuh ke lantai. Bulan tidak sekuat apa yang kalian bayangkan, hiks…. Arka sendiri sempat terkejut melihat reaksi Bulan yang demikian, sedikit merasa bersalah tapi kemudian kembali acuh dan meraih ponselnya. “Kakek … kau telah memberi azab pada Arka kah?” Desah Arka kesal, berjalan masuk kedalam kamarnya. *** Pagi yang hangat sudah menjelang. Setelah semalaman menangis dan memikirkan apa yang harus di lakukan, akhirnya Bulan kembali pada posisinya, menjadi istri dari seorang Arka Arzen Prasetya dan melaksanakan tugasnya dengan baik. Sangat tidak tepat jika dia harus menyerah sekarang, bukankah ini baru saja di mulai? Pernikahan yang sudah di takdirkan tuhan ini berhak di perjuangkan. Menu sarapan sudah tertata rapi, tinggal menunggu Arka turun dan menemaninya. Bulan ingat betul, hari ini adalah ujian pertama Arka. Ujian Nasional penentu kelulusan. Sedangkan Bulan bisa menemui Bintang karena mereka yang masih duduk di bangku kelas sebelas libur sekolah hari ini. “Sarapan dulu, Kak,” sahut Bulan saat melihat seseorang turun. Arka melirik Bulan, menatap jijik makanan yang terhidang. “Kak!” sahut Bulan lagi menghentikan langkah Arka yang hendak pergi. “Bulan mau ijin keluar hari ini,” tutur Bulan sopan tapi tidak di pedulikan Arka. Pria itu melenggang pergi tanpa kata. Bulan tersenyum manis, menegarkan hati. Matanya melirik makanan yang sudah susah payah ia siapkan dari subuh. “Baru di tolak sekali, semangat Bulan!” tutur Bulan menyemangati dirinya sendiri. Langsung bergegas membersihkan seluruh rumah agar bisa cepat bertemu Bintang. Semenjak pernikahan kemarin, Bulan belum bertemu dengan Bintang lagi. Bulan Ingin meminta maaf sekaligus berbicara berdua secara kekeluargaan dengan adik kesayangannya. Secepat mungkin Bulan membereskan rumah. Namun, pukul 11 siang Bulan baru selesai membereskan rumah besar bertingkat dua itu. Setelah membaca pesan dari Bintang, Bulan langsung bergegas pergi menuju lokasi. Taman asri tempat Bulan dan Bintang sering bermain dulu. Mengingatkan kembali kenangan manis di antara kakak beradik tersebut. Namun senyum Bulan seketika luntur melihat hal tak terduga di depannya. “Aku hanya mencintaimu, Bintang! Kumohon jangan pergi!” Menarik Bintang dan mendekapnya. Arka terus berusaha meyakinkan kekasihnya jika dia sama sekali tidak menginginkan pernikahan ini. Arka bahkan tidak tahu jika calon yang kakek maksud adalah Bulan, kakak dari kekasihnya sendiri. “Ada apa?” tanya Arka cemas saat Bintang mengurai pelukan dan melangkah mundur. “Kamu kakak iparku, tidak sepantasnya kita berduaan dan berpelukan seperti ini,” ujar Bintang lirih. Berusaha tegar padahal pudar. Siapa yang tidak hancur melihat orang yang paling kita cintai menikah dengan orang lain. Apalagi menikahnya dengan saudara sendiri, rasanya lebih sakit dari apapun. Tapi Bintang tidak ingin egois, Arka sudah menikah. “What? Apa yang kamu ucapkan, sayang. Sudah ku katakana aku tidak menganggap asli pernikahan ini, aku dan kamu. Kita tetap sepasang kekasih, tidak akan ada yang bisa memisahkan kita. Come back to me, please.” Arka sudah frustasi, tidak tahu harus meyakinkan Bintang dengan cara apalagi. Setelah ujian tadi Arka langsung meluncur ke taman ini saat temannya memberi tahu posisi Bintang. “Tidak, Ka! Kembalilah, istrimu pasti sudah menunggumu,” tutur Bintang sangat menyayat hati Arka. Ucapan bodoh apa itu? Arka tidak peduli, hanya Bintang yang Arka inginkan. “s**t!” Menarik Bintang dan mendekapnya kuat. “Kamu, istriku. Tidak akan ada wanita lain yang bisa mengambil posisi itu,” tegas Arka menahan Bintang yang memberontak, hingga akhirnya gadis itu menyerah dan menangis di pelukan Arka. “Maaf, maafkan aku. Kumohon jangan menangis, sayang,” pinta Arka sambil terus menciumi pucuk kepala gadisnya. Bulan yang masih berdiri menyaksikan, langsung berbalik saat bibir mereka mulai bersentuhan. Menepis air mata kasar dan melangkah pergi. Bersambung….
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN