Hancur

1047 Kata
Prosesi akad secara Islam telah di persiapkan. Meski di lakukan secara tertutup karena permintaan Arka dan Bulan, tapi masih di persiapkan dengan rapi dan istimewa di kediaman Haji Abdullah. Di hadiri keluarga dekat dan di saksikan oleh para santri. Bersama para petinggi astrama Haji Abdullah menyambut kedatangan keluarga Prasetya. Tiga mobil mewah sudah parkir di halaman rumah Haji Abdullah. Semua bersigap turun ke halaman dan menyambut sang besan. Ada banyak seserahan yang dibawa dan langsung di angkut oleh para santri putra. Sedang keluarga Prasetya yang hanya terdiri dari Tuan Besar Prasetya, Arka, Jimmy, Pak Jo, Bik Jamin dan dua pelayan lain di giring memasuki ruangan prosesi akad. Hati Arka berdegup kencang saat kakinya sudah menginjak di ruangan tersebut. Seperti acara sakral pada umumnya, Arka tidak menyangkal hal tersebut. Sekuat dia menolak serius, sekuat itu pula hatinya terus berlarian. "Nak, Arka. Sudah siap?" tanya seorang pria paruh dengan wajah berseri mengejutkan Arka. Seorang itu tak lain adalah Haji Abdullah, calon mertua Arka. "Siap, Bah," jawab Arka setenang mungkin. Tidak ada kaum hawa di dalam ruangan tersebut, termasuk Bulan calon istri Arka sendiri ataupun Bintang yang sedari tadi ditakuti Arka datang dan melihatnya. Semua saling pandang dan tersenyum. Melangsungkan pembukaan, penerimaan tamu hingga akhirnya pada acara inti yaitu akad. Arka semakin tegang tatkala seseorang menarik tangannya. “Sudah hafal?" tanyanya membuat Arka melongo. "Ha?" Hafal apa? Kakek tidak menjelaskan harus menghafal apapun. Arka melirik kakek yang terkekeh. "Doa anu nya," ujar bapak berpeci hitam itu mengundang gelak tawa. Sedang Arka membulatkan mulut membentuk huruf O. Eh tunggu, siapa juga yang mau anu anuan sama si cupu. Ogah gue. "Ikuti kata bapak dan ucapkan dengan lancang tanpa terpotong ya," ujar bapak tadi lembut, Arka mengangguk. "Arka Arzen Prasetya, saya nikahkan dan saya kawinkan kamu dengan putri kandung saya Bulan cahaya Az-Zahra dengan mas kawin 7 batang emas di bayar tunai!" Menghentakkan tangan Arka diikuti oleh ucapan Arka. “Saya terima nikah dan kawinnya Arka Arzen Prasetya dengan Bulan cahaya Az-Zahra dengan mas kawin tersebut di bayar tunai!" "Alhamdulillah!" "Alhamdulillah!" ucap syukur menyadarkan Arka. Melihat kakek dan Haji Abdullah yang saat ini sudah menitikan air mata sambil mengangkat tangan berdoa. Seperti habis melepas sesuatu, hati Arka menjadi tenang setelah mengusap wajah mengakhiri doa. Sesaat dia tidak sadar jika calon istrinya belum tiba di sana. Hingga akhirnya sang calon pengantin wanita di temani umi dan adiknya masuk ke ruangan untuk menyalami suaminya. Sorak ramai para santri menyiulkan kedua calon pengantin. Begitu juga dengan Bintang yang saat ini menuntun kakaknya, dia ikut menangis terharu dan menggoda kakaknya. "Cie yang mau belah duren nanti malem," goda Bintang yang di dengar umi. "Sut Bintang!" Bintang hanya tertawa lebar menanggapi. Namun di detik kemudian tawanya sirna melihat wajah suami dari kakaknya tersebut. Tubuhnya bagai tersambar petir, tulang-tulang di tubuhnya lemas seketika. Jangan di tanya air matanya yang sudah menetes deras membasahi pipi mungilnya. Hatinya hancur melihat wajah tampan di depannya. "Bintang...." ucap Arka menggantung. Pria itu juga merasakan hal yang sama. Ingin mengejar Bintang yang sudah berlari, tapi kakek menahan kuat. "Jaga sikapmu!" hardik kakek membuat Arka membenci kakek kali ini. Dia membenci dirinya yang tidak bisa berbuat apapun demi melindungi gadisnya. Menahan dan menghentikan kekonyolan ini. Arka bodoh! t***l! Untuk apa kekayaan dan kekuasaanmu selama ini jika kau masih membuat Bintang menangis dan kecewa. Arka mencengkram tangan Bulan yang saat ini sudah bersentuhan ingin menyalaminya. Membuat gadis itu merintih tapi ia tahan. Rahang dan tubuh yang berdesir penuh emosi ia salurkan lewat cengkraman tersebut. Tak peduli berapa sakitnya yang dirasakan Bulan. "Nak," tutur Umi saat menyadari seperti ada yang salah pada wajah putrinya. "Oh iya, Maaf," tutur Arka sok salah tingkah membuat para santri dan saksi kembali tertawa karena mengira Arka tidak sabaran. Arka tersenyum miris, melihat mereka bahagia di atas penderita dia dan kekasihnya. Padahal, tidak ada orang paling peduli padanya selain Bintang. Namun kenapa ia harus melukai kekasihnya seperti ini. Sungguh, ini tidak adil bagi dia dan Bintang. Karena acara inti sudah selesai di laksanakan. Arka dan Bulan langsung di giring ke kamar mereka. Kamar besar yang masih terdapat di kediaman Haji Abdullah. Dengan langkah tergesa-gesa Arka menyeret istrinya. Tidak peduli pada Bulan yang kesusahan oleh kebaya yang lebar. Bugh! "Auw!" Bulan merintih kesakitan, belum sembuh luka di tangannya akibat cengkraman Arka tadi. Kini Arka sudah kembali menyakitinya dengan mendorongnya tepat di pojok ruangan dan membuat kakinya keseleo. "Kakak macam apa kau ini? Apa kau tidak punya hati? Apa kau tidak punya harga diri hah? Kenapa kau biarkan Bintang masuk dan melihat semuanya. Tidakkah kau memikirkan bagaimana perasaan adikmu, tidakkah kau memikirkan perasaan kekasihku hah?" Seperti hanya Bulan saja yang bersalah dalam hal ini. Arka meneriaki Bulan dengan emosi yang sudah meluap-luap. Untung ruangan ini kedap suara, membuatnya leluasa berteriak. Bulan menangis. Bukan karena luka di tangan atau kakinya, melainkan luka di hatinya yang baru saja di torehkan Arka. Tidakkah Arka juga memikirkan perasaanku, hatiku begitu sakit melihat tatapan cintamu pada adikku, suamiku. Lirih Bulan di dalam tangisannya. Dia mengaku salah telah merebut posisi Bintang, tapi demi Allah ini bukan keinginannya. Seminggu yang lalu, sudah beberapa kali Bulan mencoba berbicara dengan Abah dan meminta pernikahan ini di batalkan atau Bintang yang menjadi pengantin. Namun Abah malah menjawab jika kita tahu apa yang akan di jawab Bintang perihal pernikahan ini selain penolakan membuat Bulan mau tidak mau meneruskan ini demi nama baik keluarga. Juga demi kemakmuran para santri. Namun rasanya percuma saja jika menjelaskan itu semua pada Arka. Lidah Bulan menjadi kelu, tidak ada yang ia lakukan selain menangis semalaman. Begitu juga dengan Bintang. Gadis cantik dengan polesan make up tipis itu masih menangis tersedu-sedu di pojok kamarnya. Melihat kebahagiaan semua orang begitu menyesakkan hatinya, apalagi saat ia tahu pengantin prianya adalah Arka, kekasihnya. Di tambah dengan janji Arka yang tidak akan meninggalkannya beberapa jam lalu membuat Bintang semakin menangis menjadi-jadi. Bintang merasa sangat di tinggalkan, di tinggalkan oleh orang yang dia cintai secara bersamaan. Bintang menyayangi kakaknya Bulan. Namun di sisi lain Bintang juga mencintai suami Bulan, Arka Arzen Prasetya. Arka adalah hidupnya, masa depan dan tujuannya. Bintang tidak bisa bayangkan akan seperti apa kehilangan nya setelah ini. Bulan begitu takut membayangkannya hingga ia memilih menangis saja, menumpahkan segala rasa cinta, rindu, kecewa dan sedihnya dalam tangis. Kakak beradik itu menangis secara bersamaan, sangat dekat dan hanya di pilah oleh satu dinding. Bersambung….
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN