“Genta sudah masuk dalam plan projek ini. Kita di manajemen juga memang merasa Genta cocok jadi tokoh utama. Image dia baik, sosoknya juga cocok dengan karakter tokoh utama, dan dia bisa menarik pemasukan. Secara budget bisa kita jalankan. Seperti kita tahu, dia bukan aktor dengan kontrak murah. Budgetnya tinggi, tapi dengan mengkasting Genta, setidaknya bisa mengundang investor atau para pengiklan,” Diajeng menyetujui.
“Hanya saja, soal pemeran utama wanita. Ada dua calon yang masuk dalam pertimbangan saya. Tapi, saya menginginkan bintang muda berbakat yang sekarang ini naik daun, Danti Chandara. Saya minta casting director nanti untuk menghubungi agency-nya. Karakter dan gayanya pas,” Aliando menerangkan.
“Iya setuju. Dia membawa penyegaran dalam drama ini,” Taqi mengangguk setuju. “Oh iya, dari tim manajemen juga ada usul, apa bisa Ishana Jasmine menjadi cameo dalam drama ini?” Diajeng menatap Aliando.
“Jadi, dari sisi pemasaran, ini kami rasa bisa menambah daya tarik. Bahkan episode saat Ishana muncul bisa kita langsung propose ke pengiklan dari sekarang. Apalagi, drama terakhir Genta dan Ishana sukses besar, iya tidak mas Taqi?” Diajeng menatap Taqi.
Taqi mengiyakan..
“Selain itu, hampir dua tahun kebelakang ini mereka hiatus bukan? Jadi ini sekaligus bisa mengobati kerinduan pada pasangan Genta-Ishana. Bagaimana?” Diajeng meminta pendapat Aliando dan Taqi.
“Nanti kita sesuaikan. Naskah baru progress sampai episode 3. Jadi masih banyak peluang untuk pengembangan. Iya tidak?” Taqi menatap Btari. “Iya mas,” Btari mengangguk.
Dadanya serasa sesak. Mendengar nama Genta dan Ishana, rasanya seperti dejavu kembali ke masa dua tahun lalu. Btari menghela nafas secara diam-diam.
Lupakan, anggap angin lalu! Move on Btari! Bagaimanapun ini pekerjaan. Jangan campur adukkan dengan persoalan pribadi!
Rapat terus berlangsung hingga sore. Banyak pembahasan yang menarik hatinya. Btari semakin semangat dan mencoba mengabaikan persoalan Genta dan Ishana. Hidupnya harus maju, tidak boleh terus mengenang masa lalu.
***
Teo menghampiri Genta yang berbaring di atas sofa membaca sebuah naskah, “Sudah kamu putuskan?”
Genta bangkit dan berubah ke posisi duduk. “Naskah di tanganku ini, positif aku ambil. Lalu tengah, itu bisa aku ambil selama jadwal tidak bentrok. Yang kiri, itu aku pass,” Genta menerangkan pada Teo.
“Apa itu naskah di tanganmu? Soal apa?” Teo penasaran. “Drama ini, aku suka. Setelah selalu berperan dalam film ataupun dram bergenre action, ini jadi penyegaran buatku. Drama ini lucu. Te, aku sedang ingin menjalankan sesuatu yang ringan dan tidak terlalu berat. Ini cocok untukku saat ini..” Genta memperlihatkan naskah itu pada Teo.
“Waahh.. Kombinasi luar biasa. Drama ini ada Aliando dan Diajeng. Nama-nama besar. Dan, penulis skenario ini Taqi Saskara dan Btari Kamala. Hmm.. Siapa Btari Kamala? Rasanya aku seperti tahu tapi siapa ya?” Teo berpikir.
Genta berdiri, ia tidak ingin Teo berhasil mengingat siapa itu Btari. Dengan kasar, ia mengambil naskah dari tangan Teo.
“Aku mau sendiri. Jangan ganggu!” Genta pergi membawa naskah itu dan beranjak memasuki bioskop mini yang ada di dalam rumahnya. Ia menutupnya. Ruangan itu cukup untuk kapasitas 10 orang. Tidak lengkap rumah seorang aktor tanpa bioskop di rumahnya. Kecintaannya pada industri perfilman membuatnya menjadi penggemar aneka jenis genre film dan drama. Dan hobinya kalau tidak berolahraga atau travelling, ya menonton.
Genta memilih film yang ada di dalam koleksinya. Ada satu film favoritnya yaitu film zaman dulu berjudul Gone with The Wind.
Gone With the Wind menurutnya film epic yang menghadirkan karakter yang rumit. Sebagai penonton, tidak mudah untuk memahami dan mengerti jalan pikiran seorang Scarlett o’Hara dan Rhett Butler. Apalagi, film itu hadir di tahun 1939. Ruang waktu kala itu tidak sebebas dan seterbuka sekarang. Namun, kehadiran keduanya berhasil menciptakan ketegangan emosional.
Akting Vivian Leigh sebagai Scarlett o’Hara dan Clark Gable sebagai Rhett Butler memang fenomenal. Dan, kadangkala untuk memancing segala emosi yang ada di dalam dirinya, ia sering menonton film ini. Setiap menontonnya, ada rasa sesak di dadanya, mungkin efek terlalu mendalami.
Tapi, film ini memang penuh emosi karena kisah epic Scarlett o’Hara dan Rhett Butler berakhir tragis. Dan membuat pikirannya terus melayang memikirkan ending yang mempengaruhi perasaannya.
Jelas kalau Rhett Butler jatuh cinta dengan Scarlett o’Hara. Tetapi, meskipun akhirnya menikah, hubungan mereka tidak pernah berhasil karena obsesi Scarlett terhadap lelaki lain bernama Ashley Wilkes. Ego yang besar membuat Rhett pun enggan mengungkapkan perasaannya secara jujur. Ego itu menutupi hati dan perasaan, dan Rhett pun berpikir kalau Scarlett akan mencemooh pria yang bisa dia menangkan dengan mudah. Akhirnya, Rhett menolak untuk menunjukkan padanya bahwa dia memenangkan hatinya. Itu yang ia pahami dari karakter Rhett.
Ya, lelaki mana yang akan mau merendahkan dirinya di depan perempuan?
Namun, di satu sisi, ia memahami, kenapa Scarlett terlambat menyadari perasaannya. Semua karena ego masing-masing.
Kesimpulan itu ia ambil setelah berulang kali menonton Gone with The Wind dan mencoba memahami jalan pemikiran tokoh utama.
Genta memang sensitif dan perasa, tapi ia tidak pernah mengakui itu. Ia duduk di salah satu kursi di ruang bioskop itu dan mulai menonton. Pikirannya melayang mendengar salah satu dialog iconic antara Scarlett o’Hara dan Rhett Butler.
“Sir, you are no gentleman.” (Scarlett o’Hara)
“And you, Miss, are no lady.” (Rhett Butler)
Dialog sederhana, namun begitu menggambarkan kalau karakter keduanya memiliki sifat tidak mau mengalah dan keras kepala. Sepertinya hal itu membuat mereka terlihat serasi namun juga menyulitkan cinta mereka untuk bersatu.
Scarlett dan Rhett memang tokoh fiksi, dan itu hanyalah film. Tapi, dengan banyaknya manusia di muka bumi ini, tidak tertutup kemungkinan ia akan menemui seseorang dengan karakter yang sama.
Genta tersenyum sendiri membayangkan bisa bertemu dengan seseorang yang akan menjadi Scarlett o’Hara dalam hidupnya.
Scarlett o’Hara bukanlah gadis yang paling cantik di Georgia namun para laki-laki jarang menyadarinya ketika telah tersihir oleh pesonanya. Sepertinya kepintaran dan kecerdasannyalah yang membuatnya berbeda.
***
Pagi itu, daftar casting drama terbaru sudah lengkap. Siang ini mereka akan rapat dengan tim produksi secara lengkap. Bahkan, kedua tokoh utama akan hadir.
Btari menenangkan dirinya. Ia menarik nafas panjang.
“Kamu. Tenang. Belum tentu Genta akan mengingatmu. Bahkan Genta tidak tahu namamu,” Btari bicara pada dirinya sendiri.
Ia bercermin, dan merasa cukup puas dengan penampilannya. Ia memilih untuk mengenakan celana kain yang longgar berwarna abu-abu, kaos putih yang melekat dengan pas di tubuhnya, lalu blazer berwarna hitam. Tak lupa ia mengikat rambutnya ke belakang, mengoleskan lipstik merah muda tipis dan mengenakan maskara untuk memperlentik bulu matanya. Terakhir, ia mengenakan sneakers putih dan membawa tas ranselnya.
Setibanya di kantor BIANTARA PICTURES, suasana ruang rapat masih sepi.. Ternyata ia datang lebih awal di pukul 12 siang. Satu jam lebih cepat. Tapi, ia tidak peduli. Lebih baik menunggu daripada datang terlambat.
Ia duduk di ruang rapat. Staf yang ada menginformasikan kalau Diajeng sedang di luar makan siang, dan akan kembali pukul satu siang bertepatan dengan waktunya rapat.
Btari mengiyakan. Ia memilih duduk di pojokan. Seperti ingin menyembunyikan dirinya dari tatapan orang-orang.
Ia membuka laptopnya dan mengisi waktu dengan mengetik beberapa revisi yang diminta Aliando. Cukup banyak penyesuaian yang harus ia lakukan. Tapi, ini naskah pertamanya yang masuk produksi. Dan, Btari mau melakukan apapun demi keberlangsungan drama ini.
Sampai, tiba-tiba, pintu ruang rapat terbuka. Btari menoleh ke arah pintu. Jantungnya berdebar kencang tidak terkendali.
Di pintu itu, Gentala Tyaga Magani berdiri menatapnya! Mata mereka saling beradu pandang. Hanya beberapa detik, tapi cukup membuat keringat dingin keluar dari dalam tubuhnya.
Apa yang harus ia lakukan?