Di lorong sekolah.
"Kenapa kamu tidak merespon perkataanku, Naya?"
"Perkataan bapak yang mana, ya?" kataku, sambil berjalan agak cepat tanpa mengimbanginya.
"Kamu berubah, Nay?!"
Aku memutuskan untuk berhenti melangkah lalu menatap intens pada guru menyebalkan itu.
"Siapa?"
"Kamu lah, Nay," katanya.
"Siapa yang nanya?" jawabku nyeleneh.
Dia mendengkus. Sepertinya kesal padaku karena beberapa hari ini aku tak acuhkan.
"Kamu ....!"
"Apa? Mau hukum saya, Pak?" tanyaku.
"Tapi, sayangnya ini sudah diluar jam sekolah. Bapak gak ada hak untuk menghukum saya lagi," sambungku.
"Kamu mau ke mana?"
"Mau pulang."
"Saya antar, ya? "
"Tidak perlu, Pak! Saya sudah besar, tidak butuh bodyguard ke manapun saya pergi. Permisi."
"Nayanika Bhatari!" teriaknya. Kali ini refleks membuat seluruh murid yang masih berada di sekitar sekolah tertuju matanya padaku.
aku mendengkus. Sebenarnya mau apalagi pria aneh bin galak itu memanggilku dengan nama lengkap.
Aku benci dengan nama itu. Aku benci jika ada orang yang lengkap memanggil namaku. Bukan hanya pembantu di rumah, teman sekelas pun aku siap protes jika ada yang memanggil nama lengkapku.
Aku beneran benci!
"Tunggu di sini! Saya akan kembali mengambil jaket dan kunci motor yang tertinggal di ruang guru," titahnya.
What?
Demi apa itu guru berkata demikian padaku? Sungguh, ini diluar dugaan. Aku tak berharap guru semenyebalkan macam Pak Elang bakalan luluh hatinya. Membuatnya bisa lebih sedikit peka dan tidak marah-marah lagi, udah cukup buat aku bahagia.
Sungguh. Aku tidak bohong.
Tanpa menunggu waktu lama, aku pun bergegas pergi meninggalkan Pak Elang yang masih di ruang guru untuk mengambil jaket dan kunci motornya. Aku tidak mau nantinya jadi bahan gunjingan satu sekolah sedang dekat dengan seorang laki-laki apalagi sosok laki-laki itu terkenal galak di sekolah.
-----
Kenapa kamu pulang duluan? Kenapa tidak menunggu saya selesai mengambil jaket?
Sebuah pesan muncul di layar notifikasi hape-ku. Entah harus pasang ekspresi apa, yang jelas aku seperti berada di atas awan yang luas. Di awan itu penuh dengan bunga dan burung-burung yang berterbangan.
Kubalas pesan singkat darinya. Aku tidak mau dia menunggu balasan yang mungkin kalau aku tidak membalasnya, dia kan menunggu sampai lumutan.
Maaf Pak saya tidak mau merepotkan orang. Jadi, lebih baik saya pulang sendiri.
Oke Naya, tarik napas ... buang. Tarik lagi napasnya ... buang.
Hah! Kok sesak begini, ya?
Satu menit kemudian.
Besok ada acara?
Aku terus membaca ulang pesan Pak Elang, 'Besok ada acara?'
Memangnya kenapa kalau besok ada acara? Apa jangan-jangan dia mau mengajakku berkencan? Alaaaaaa maaaaaakkkk ... jantungku berdegup lagi.
Kebetulan saya enggak ada acara apa-apa, Pak. Malam Minggu seringnya di rumah saja sambil nonton film horor. Maaf Pak, ada apa, ya? Tumben nanyain jadwal acara sama saya?
To the point, itu yang ingin aku dengar darinya. Tentu saja harus siap dengan jawaban menyebalkan yang ditulis oleh Pak Elang.
Satu menit berlalu. Kutunggu balasan pesan dari Makhluk jadi-jadian. Makhluk yang paling menyebalkan seantero sekolah SMA Galaksi.
Dua menit, tiga menit pun berlalu. Tak ada balasan apa pun dari Pak Elang. Ya, sudah tidak masalah. Lagi pula kenapa juga aku mengharapkan balasan romantis yang ditulis oleh si guru dingin tak bertuan.
Saya jemput kamu di rumah. Kita jalan ke tempat biasa.
What?
Apakah ini lelucon yang dibuat Pak Elang? Tunggu! Aku tidak akan terpesona pada ucapannya kali ini.
Saya jemput sekitar pukul 20.00. Kamu bersiaplah.
Oke, tak perlu kubalas lagi pesan darinya. Kurasa Pak Elang paham aku sudah tidur nyenyak malam ini.
-----
Dalam keheningan malam, kamu berdua hanya mampu diam sambil menikmati pemandangan alam yang indah terhampar luas di depan mata. Suara jangkrik dan binatang malam pun tak luput saling bersahutan. Seakan tahu jika tanpa mereka pasti malam ini adalah malam yang sangat membosankan.
"Mau tambah lagi jagungnya?" Elang menawariku jagung baru yang tadi dipesannya.
Aku menggeleng cepat, "Tidak Pak, terima kasih."
"Kamu kenapa menghindari saya? Memangnya saya salah apa sama kamu?" tanyanya, memecah kesunyian malam.
Diam.
Aku tidak merespon pertanyaannya.
"Nay," panggilnya. Tanpa sadar, pria dingin itu menyentuh telapak tanganku dan kemudian menghangat.
Kalau bisa kuutarakan hati ini, gugupnya nyata. Debaran indah itu muncul lagi. Aku takut Elang mendengar suara debaran jantungku.
Dengan cepat aku melepas genggaman tangannya. Menggosoknya dengan tangan satunya agar tak nampak rasa gugup yang sedang melanda jantungku
"Saya cuma tidak mau ada gosip di sekolah, Pak."
"Gosip apa?"
"Bapak tahu sendiri 'kan kalau di sekolah banyak dari guru dan murid lainnya menyukai Anda. Nah, itulah alasan mengapa saya membatasi diri saat bapak dekat dengan saya," jelasku, mengada.
Elang menatapku lalu tatapan itu beralih pada pemandangan di hadapannya.
"Tapi, saya tidak menyukai mereka. Hati saya sudah tertutup rapat."
Dia memejamkan matanya dalam keheningan malam yang makin pekat
"Akhirnya dibuka lagi."
"Dibuka? Maksud Pak Elang gimana?"
Lelaki berusia tiga puluh tahun itu menatapku kembali. Kali ini tatapannya mulai hangat. Senyuman manis terkembang di kedua sudut pipinya.
Dia manis sekali.
Seperti gula permen.
"Kamu yang udah buka hatinya." Aku menatapnya. Kata-kata darinya seakan menghipnotis diriku.
Ingin aku teriak sambil salto tujuh turunan delapan tanjakan, namun aku tidak mau pria dingin di hadapanku ini menyombongkan diri karena berhasil meraih hatiku.
"Kalau mau ngegombal, minimal jangan sama cewek tomboi Pak, gak ngaruh." Aku mencoba menepisnya. Takut dia hanya berpura-pura menyukaiku.
"Ha-ha." Lelaki manis itu tertawa renyah.
Baru kali ini kulihat wajah ramahnya terpancar jelas. Ternyata di saat dia ramah, wajahnya terlihat sangat tampan.
Serius. Ini bukan rayuan Pulau kelapa.
"Kita jadian?" tanyanya kemudian.
Woi!
Demi apa? Ini cuma mimpi atau memang dia sedang amnesia? Kenapa mudah sekali mengatakan 'Jadian' padaku? Waaaah, gela ini.
"Tapi, jangan sampai ada yang tahu kalau kita pacaran," kataku asal menyahut ucapannya.
"Loh, kenapa?"
"Karena orang tuaku belum mengizinkan anaknya untuk berpacaran sebelum waktunya."
"Baiklah. Setuju kalau gitu."
Eh, tunggu dulu! Kenapa main setuju aja? Kan belum ada ketuk palu!
"Yuk! Kita pulang!" ajaknya sambil tersenyum dan mencoba meraih telapak tanganku.
Aku yang masih terdiam, mencoba mengikutinya. Apa pun yang dia lakukan, aku tidak menolaknya. Seperti sedang terhipnotis cinta olehnya.
Ya Tuhan ...
boleh tidak sih aku cerita sama Kartika Putri?
tolong kondisikan hati! Jangan sampai debaran cantik ini menghantuiku semalaman. []