Nama gadis urakan itu adalah Nayanika Bhatari. Murid di kelas 3 bahasa yang tingkahnya mirip anak laki-laki. Cara berpakaiannya pun bisa dibilang seperti siswa lainnya. Mengenakan rok sekolah pas di atas lutut. Kelakuannya itu sok jagoan, lihat saja di lututnya terdapat plester luka yang dipasangnya sendiri. Entah itu beneran luka atau hanya sebagai hiasan saja agar disebut anak gaul oleh temannya yang notabene laki-laki.
Semuanya berawal saat aku secara tidak sengaja mendengar pembicaraan Naya bersama teman-temannya. Mereka membicarakan aku dan dengan lantangnya, gadis petakilan itu berkata,
"Amit-amit. Jangan sampai aku berkencan sama Pak Elang. Bisa turun harga diriku nanti."
Sungguh sangat menyebalkan bukan? Tak hanya itu, dia berani menggambar wajahku dengan teknik gambar Karikatur dan menggunakan caption 'Makhluk jadi-jadian.' Geram sekali padanya. Gadis itu selalu mencari masalah denganku. Namun, ada satu hal yang aku suka darinya, dia itu gadis yang pemberani. Pemberani dalam segala hal asalkan dirinya memang benar. Jika salah, Nayanika segera meminta maaf. Meskipun perbuatannya selalu diulang lagi.
Di sekolah ini, aku dijuluki sebagai guru paling galak, paling dingin, paling cuek dan paling menyebalkan. Statusku yang jomlo parah juga jadi incaran guru wanita yang masih single. Bukan hanya guru wanita saja yang sering mengejar untuk mendapatkan perhatianku, tetapi seluruh siswi di sekolah ini, pun sama. Sampai-sampai ada yang menggunakan parfum sangat menyengat saat menghampiriku. Sayangnya, aku tidak akan tertarik dengan godaan macam itu. Terkecuali dengan Nayanika. Dia tampak tak acuh padaku.
"Dasar gadis aneh," batinku menggerutu.
***
"Assalamu'alaikum Pak Guru Ganteng." Seperti biasa mereka yang melihatku berjalan mendekat, langsung pasang muka genit seakan ingin menggoda lebih dalam lagi.
"Wa'alaikumusalam. Loh, sedang apa kalian di sini? Cepat masuk, atau mau saya hukum berlari di lapangan?!"
"Aduh, Bapak galak banget. Jangan galak-galak, Pak! Kita-kita enggak gigit, kok," goda Mela, murid kelas 3 IPS 2.
Mendengar penuturan Mela, aku segera pergi dari hadapan mereka. Aku tidak mau kalau menambah obrolan yang tidak penting dengan siswi genit itu. Semakin dilayani, mereka akan semakin senang.
Kulanjutkan lagi langkahku menuju kelas 3 IPA 1. Kelas itu berada di ujung sudut sekolahan dan melewati kelas 3 bahasa.
Suara ricuh terdengar di telingaku saat melintas di sekitar kelas 3 bahasa. Kelas di mana Nayanika menuntut ilmu.
Pintu kelasnya terbuka lebar, dan saat aku melewati kelas bahasa, keadaan kelas itu sangat berantakan. Tidak ada guru yang mengajar di kelas ini. Hari ini pun aku tidak ada jadwal mengajar di kelas 3 bahasa. Sengaja aku berdiri tepat di depan pintu kelas, dan benar saja salah satu dari mereka melihatku lalu menyuruh teman-teman yang lain duduk. Kelas tiba-tiba hening ketika semua murid kelas 3 bahasa melihat kedatanganku di kelas mereka.
"Pelajaran apa sekarang di jam pertama?" tanyaku sambil menatap satu per satu wajah murid di kelas ini.
Semuanya hening. Mereka tidak berani menjawab pertanyaanku. Mulut mereka seakan terkunci. Entah mengapa mataku tiba-tiba menatap pada Naya yang sedang asyik menunduk tanpa berani memandang diriku.
"Naya, pelajaran apa sekarang?" tanyaku berulang, tetapi beralih ke Gadis urakan.
Kulihat Gadis urakan itu terkejut. Lalu dia mendongakkan kepala dan menatapku.
"Pelajaran Bahasa Jerman, Pak," jawabnya.
"Kalau begitu, saya perintahkan kamu untuk pergi ke ruangan guru, terus cari Bu Yani."
"Iya, Pak. Baik. Terima kasih," ucapnya setelah itu beranjak pergi lalu berjalan melewatiku. Namun, saat hendak melangkah ke pintu, kakinya tersandung dan dengan sigap aku meraih tubuhnya.
Niat awal hanya menahan tubuhnya, tetapi malah menarik tangannya dan tahu apa yang terjadi? Gadis berambut hitam panjang itu malah jatuh mengenai tubuhku dan otomatis aku memeluk tubuhnya di depan teman-temannya.
Aku cuma mengangkat alis lalu melempar pandangan ke arah lain. Tepat saat itu akhirnya Naya baru sadar kalau dirinya sedang berada di pelukanku saat ini. Kulihat aura wajahnya yang seketika memerah persis seperti bakpao yang baru matang dari tungku.
Suara riuh dari murid di kelas 3 bahasa menyadarkan aku dan Naya yang sedang saling memandang satu sama lain. Ada yang bilang,
"Udah cium aja, Pak."
"Cie ... guru sama murid ada rasa."
"Cie ... Enggak jomlo lagi."
Atau
"Cie ... Naya romantis banget mentang-mentang udah jadian dan kencan tadi malam."
Dih!
Kampret!
Aku mendelik pada arah suara cibiran itu. Suara yang berasal dari arah bangku utama milik Kartika dan juga Nayanika yang kini sedang duduk sambil memandangi aku. Sementara semua murid malah terbahak makin kencang karena mendengar ucapan Kartika tadi.
"Bodoh. Aku benar-benar bodoh!" rutukku dalam hati. "Kenapa tadi malah ngasih tahu tuh anak kejadian tadi malam?" Aku mendengkus.
"Ya, sudah kamu kembali duduk saja sekarang. Biar nanti saya saja yang ke ruang guru mencari Bu Yani." Dengan cepat aku berpamitan. Tak ingin wajah gugupku tampak di hadapan anak-anak ingusan itu.
****
Jam istirahat tiba. Semua siswa berhamburan keluar menuju kantin sekolah. Namun, ada juga yang bermain bola basket di lapangan.
Hari ini selepas mengajar di kelas 2D, aku kembali beraktivitas di ruang guru. Mengoreksi tugas anak-anak, memeriksa jadwal pelajaran selanjutnya di kelas berapa dan satu hal yang aku sukai, yaitu menunggu kabar kedatangan calon istriku.
Berkali-kali aku selalu menengok ponsel yang berada di atas meja. Membuka layar ponsel yang terkunci, lalu menutupnya kembali. Namun, tidak ada pesan satu pun yang masuk di ponselku.
Tiga menit berlalu, mendadak perutku mulai keroncongan. Dengan segera, aku pergi mencari makanan di kantin sekolah. Namun, saat hendak berbelok masuk ke dalam kantin, tiba-tiba aku menabrak seseorang. Seseorang itu mengaduh dan ketika aku lihat, ternyata seseorang itu adalah Nayanika. Iya, Nayanika murid perempuan yang selalu bikin aku jengkel seharian.
"Sini, saya bantu berdiri!" Aku mengulurkan tanganku padanya. Akan tetapi, malah uluran tanganku ditepis olehnya.
"Enggak usah Pak, saya bisa berdiri sendiri, kok," tolak Gadis urakan itu sambil mengibaskan kotoran debu di seragam sekolahnya.
Entah kenapa, terbesit dalam pikiran saat melihat dia meringis seperti menahan sakit, hatiku terenyuh. "Kamu beneran enggak apa-apa? Ada yang sakit?"
Dia menoleh padaku. Lalu menggeleng cepat. "Enggak, Pak. Oh, iya, saya permisi dulu. Maaf," ujarnya kemudian berlalu dari hadapanku.
Sikapnya menjadi aneh. Apa mungkin gara-gara cibiran tadi pagi saat berada di kelasnya? Atau, dia ... ah, sudahlah tak perlu memikirkan hal yang tidak pasti. Mungkin saja dia buru-buru karena sudah ditunggu oleh kawan-kawannya di kelas.