Aku dan Ezra lantas saling berpandangan ketika mendengar pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh pegawai ekspedisi di hadapan kami ini. Memang sebenarnya nggak ada yang aneh dari pertanyaannya. Namun, yang menjadi masalah adalah keingintahuan pegawai ekspedisi yang terlalu tinggi ini sampai-sampai berani membuat kesimpulan sendiri seperti itu. Lagi pula, status hubunganku dengan Ezra sama sekali nggak ada urusan dengan pegawai itu, 'kan?
Urusannya apa, sih, masalah hubungan kami sama pekerjaan pegawai ini? batinku merutuk di dalam hati.
Aku memilih untuk bungkam tanpa menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh pegawai ekspedisi itu, terlebih juga karena pertanyaan itu bukanlah ditujukan langsung padaku, melainkan pada pria yang sedang berdiri di sebelahku ini.
"Bukan, Mbak," jawab Ezra dengan kedua mata yang melepaskan pandangannya padaku. "Ini calon istri saya," lanjut pria itu dengan senyum semanis gula yang terpatri di bibirnya.
Aku terbahak di dalam hati ketika mendapati ekspresi wajah pegawai ekspedisi itu tiba-tiba menjadi pias. Oke, Laluna. Calm down, please ..., batinku pada diri sendiri. Entah Ezra mengatakan hal itu dengan maksud menyindir atau bukan, tetapi tetap saja ucapannya tadi benar-benar membuatku merasa senang.
"Eh ... aduh, maaf, ya, Mas, Mbak," ujar pegawai itu nggak enak hati sembari menginput data sesuai dengan nomor resi yang sudah tertempel di bagian atas kotak-kotak pengiriman.
Ezra hanya memberikan sebuah anggukan santai pada pegawai itu sebelum mengalihkan atensinya padaku. “Kamu nggak mau tunggu di mobil aja?” tanya pria itu menawarkan.
Tawaran Ezra lantas aku tolak dengan sebuah gelengan kepala. “Nggak, deh. Paling bentar lagi juga udah siap,” balasku menjawab pertanyaan pria itu tadi.
Hanya butuh waktu lima belas menit sampai urusan kami selesai di tempat ekspedisi ini. Aku dan Ezra pun lantas masuk ke dalam mobil setelahnya. Pria itu nggak lupa membukakan pintu untukku.
Meskipun nggak setiap hari Ezra melakukan hal seperti itu, tetapi kadang aku masih merasa risih sebenarnya karena aku belum pernah diperlakukan sespesial ini oleh orang asing selain daripada anggota keluargaku.
Bukan hanya itu saja, Ezra terkadang juga bisa menjadi posesif dan overprotektif pada waktu-waktu tertentu. Pria itu bahkan bisa membom-bardirku dengan pesan-pesan atau telepon yang banyak jika aku nggak mengabarinya dalam kurun beberapa jam saja.
"Kenapa muka kamu kusut kayak setrikaan yang belum digosok begitu?" tanya Ezra ketika pria itu sudah duduk di balik kemudi dan mulai melajukan mobilnya untuk membelah jalan raya.
"Menurut kamu?" tanyaku dengan nada kesal dan tangan yang terlipat di depan d**a.
"Loh ... kok malah jadi juteknya sama aku, sih?" balas Ezra bertanya dengan kening yang berkerut. Sebelah alis pria itu juga terangkat kebingungan.
Ekspresi wajahku berubah setelah mendengar ucapan yang baru saja dilontarkan dari mulut Ezra. Ekspresi wajahku yang awalnya mencebik, kini pun lantas berubah menjadi cengiran yang lebar.
"Iya juga, ya. Kenapa aku malah marah sama kamu, ya," ujarku sembari mengelus dagu dengan benak yang berpikir.
“Kamu tuh marah kadang-kadang nggak tau tempat, nggak tau orang. Intinya marah aja yang penting,” celetuk Ezra menyindir.
“Ya ‘kan namanya kesal, sih. Jadinya logika pun tertutupi sama awan-awan yang berisi amarah,” bantahku memberi alasan yang sebenarnya nggak masuk di akal.
“Alasan!” celetuk Ezra cepat dengan nada mencibirnya.
Sedetik kemudian, aku pun lantas terkekeh karena ulah Ezra yang tampak lucu di mataku itu. Begitu juga dengan dirinya sendiri, tawa pria itu pun ikut menyembur sementara tangannya mengacak puncak kepalaku dengan gemas.
"Untung aja aku sayang, ya," cibir Ezra dengan nada humor pada kalimatnya sembari mengalihkan fokusnya kembali pada jalanan di depan sana.
Entah berapa menit mobil yang kami tumpangi ini melaju di jalanan, tangan Ezra tiba-tiba menarik lembut tanganku dan membawanya ke dalam genggaman pria itu. Ulahnya itu sukses membuatku terkesiap kecil dan bergeming di tempat.
Aku menatap ke arah tanganku yang berada di dalam genggaman tangan Ezra dengan pandangan melongo, tetapi juga diam-diam menikmati hal tersebut. Masih ada tegangan listrik kecil yang menyetrum ketika tangan kami saling bertautan.
Meskipun begitu, aku dengan senang hati akan menerimanya dengan berbunga-bunga. Padahal ini bukan pertama kalinya Ezra menggenggam tanganku, tetapi rasanya masih sama seperti saat pria itu pertama kali melakukannya. Aku melirik malu-malu pada tautan tanganku dan Ezra sementara siku kami bertumpu pada armrest yang berada di antara kursi pengemudi dan kursi penumpang.
Sebutlah aku memang sedikit lebay karena hanya dengan genggaman tangan saja sudah bisa membuat hatiku membuncah bahagai. Namun, semua hal terasa indah jika manusia sedang jatuh cinta, bukan? Ibarat kata kotoran kucing pun bisa terasa menjadi selai coklat ketika orang sedang berbunga-bunga.
"Lun ...," panggil Ezra. Panggilan pria itu sukses membuat atensi yang melalang buana entah ke mana, kini kembali pada dunia nyata.
"Ya ... kenapa?" tanyaku membalas.
"Melamun apa, sih?" tanya Ezra dengan penasaran.
"Nothing important," jawabku cepat.
"Serius?" tanya Ezra memastikan. "It's okay if you don't want to tell me, but remember you can always count on me," lanjut pria itu pada akhirnya. Sudah aku bilang bukan, pria itu benar-benar baik dan pengertian. Jadi, tolong katakan bagaimana aku bisa bertahan untuk menolak dan nggak jatuh pada pria itu, 'kan? (Terjemahan: "Nggak apa-apa kalau kamu nggak mau kasih tau aku, tapi ingat kalau kamu selalu bisa mengandalkanku.")
Aku menganggukkan kepala sebagai balasan atas ucapan Ezra. "Tadi siang makan apa?" tanya pria itu mengalihkan pembicaraan setelahnya.
"Makan apa, ya, tadi? Aduh, kok aku jadi pelupa begini, sih?" gumamku sembari mengetukkan jari pada dagu.
“Cepat banget pikunnya ...,” cibir Ezra dengan nada humornya.
“Ih, itu artinya otakku udah kurang kapasitasnya sampai-sampai gampang lupa begini,” bantahku memberikan sanggahan.
Ezra berdecak sebelum membalas ucapanku. “Buruan, makan apa tadi?” desak pria itu bertanya lagi.
"Oh, aku baru ingat!" seruku setelah benak ini mampu mengingat makanan yang menjadi makan siangku beberapa jam yang lalu. "Tadi aku makan mi instan," lanjutku dengan cengiran lebar yang terlukis di bibir.
Ezra menggelengkan kepalanya setelah mendengar ucapan yang terlontar dari mulutku. "Kayaknya dalam seminggu ini kamu udah tiga kali loh makan itu," ucap Ezra sembari mengingat-ingat, terbukti dari kening pria itu yang sedikit mengerut. "Nggak bagus loh makan makanan instan terlalu sering," sambung pria itu memberitahu.
"Nggaklah. Minggu ini aku baru makan mi instan dua kali kok," balasku berkelit.
"Iya ... dua kali itu sekali makannya berapa bungkus coba?" Ezra balas bertanya dengan sebelah alisnya yang terangkat. Pria itu ternyata nggak mau kalah beragumen denganku juga.
"Ini dua bungkus aja. Yang kemarin-kemarin, sih ... tiga kalau nggak salah," ringisku menjawab jujur dengan gumaman pada akhir kalimat dan nggak lupa menyengir lebar.
"Sama aja itu, Lun. Seminggu makan mi instan lima bungkus itu sama sekali nggak ada sehat-sehatnya," sahut Ezra. "Pokoknya setelah makan malam, kita langsung belanja untuk isi kulkas kamu, ya. Pasti udah kosong, 'kan?" lanjut pria itu menerka.
Pertanyaan Ezra aku balas dengan anggukan kepala. "Dasar, perut karet. Padahal beberapa hari yang lalu kita baru belanja juga," ledek Ezra yang aku hadiahi dengan cubitan pada lengan atas pria itu dan sukses membuatnya mengaduh kesakitan.
*
Ezra membawaku ke sebuah kafe yang nggak jauh dari komplek perumahanku. Kafe ini adalah tempat di mana Jessica merayakan ulang tahunnya beberapa bulan yang lalu dan di tempat ini jugalah aku pertama kali bertemu dengan pria itu.
Kalau dipikir-pikir, pertemuan pertamaku dan Ezra terdengar sedikit lucu. Hanya karena kontak mata sebentar saja sudah mampu membuat pria itu datang menghampiri dan meminta nomor ponselku beberapa jam setelahnya.
“Heh, kenapa melamun?” Pertanyaan itu menyentakku dari lamunan yang berseliweran di dalam benakku beberapa menit yang lalu.
Aku segera menggelengkan kepala untuk mengusir pemikiran-pemikiran itu. “Nggak. Cuma keingat pas kita pertama ketemu di tempat ini aja,” balasku menjawab.
“But, anyway apa yang buat kamu tiba-tiba samperin aku pas malam itu?” Aku lanjut bertanya karena penasaran.
“Hmn ....” Ezra tampak berpikir sejenak. Pria itu nggak langsung menjawab pertanyaanku. “Apa, ya?” lanjut Ezra dengan benak yang sedang berpikir.
“You should give me the answer!” desakku pada Ezra. “Nggak tau. I just found you interesting at that time,” jawab pria itu.
“Terus, ya, aku samperin kamu, deh. Habisnya kamu imut banget waktu itu, apalagi sama terusan Bunga Mataharimu itu,” lanjut Ezra menjelaskan dengan pandangan yang menerawang. Mungkin pria itu sedang membayangkan hari dimana kami pertama kali bertemu.
“Udah, ah. Ayo, kita turun. Mau sampai kapan di sini terus,” ajakku yang dihadiahi Ezra dengan cubitan kecil pada salah satu sisi pipiku. Pria itu lantas mengangguk kemudian membuka pintu mobil dan keluar dari kendaraan beroda empat ini, begitu juga dengan diriku yang melakukan hal yang sama.
Ezra yang berjalan satu langkah di depanku pun mendorong pintu kafe untukku. Saat aku dan Ezra masuk ke dalam, seorang pelayan langsung datang dan menyambut kami. "Untuk berapa orang Mas, Mbak?" tanya pelayan itu dengan sopan.
"Dua," jawab Ezra dengan singkat.
Pelayan itu mengangguk mengerti dan lantas membimbing kami menuju salah satu meja kosong yang tersedia di sudut kafe ini. Aku menarik sebuah kursi yang membelakangi pintu masuk, sementara Ezra menempati kursi yang berhadapan denganku.
Suasana di kafe ini sedang ramai-ramainya, terbukti dari beberapa pelayan yang sibuk berlalu lalang ke sana ke mari membawa pesanan para pengunjung di atas nampan mereka. Mungkin penyebab utama keramaian di kafe ini adalah karena saat ini adalah jam makan malam sehingga hampir seluruh meja di sini sudah terisi oleh para pengunjung.
Seorang pelayan wanita datang menghampiri kami. Tampaknya pelayan ini masih dalam masa percobaan jika dilihat dari pakaiannya yang dikenakannya, yaitu kemeja putih polos dengan rok berwarna hitam.
"Permisi, Mas, Mbak. Mau pesan apa, ya?" tanya pelayan bernama Fitri itu—aku melihat dari name tag yang berada di bagian dadanya.
Mbak Fitri menyodorkan dua buku menu yang langsung diterima olehku dan Ezra. Hanya butuh waktu beberapa menit bagi Ezra untuk menyebutkan pesanannya. Sementara itu, aku masih sibuk meneliti satu per satu makanan dan minuman yang ada di dalam daftar buku menu ini.
"Saya mau pesan Chicken Parmigiana satu dan Lime Squash-nya juga satu," ujar Ezra pada Mbak Fitri. Wanita itu pun lantas dengan sigap mencatat pesanan Ezra.
"Kamu pesan apa, Lun?" Ezra bertanya padaku setelah menutup buku menu yang ada di tangannya.