Thread Madness - Part 10b

1599 Kata
Aku mengendikkan pundak ketika mendengar pertanyaan yang baru saja keluar dari mulut Ezra karena memang aku belum menemukan menu yang menarik minatku. “Belum tau. Masih liat-liat ...,” balasku sembari membuka lembaran selanjutnya dair buku menu di tanganku ini. "Aku mau ... Tomyum Seafood sama Americano,” kataku pada Mbak Fitri dan langusng dicatat oleh wanita itu. Pilihanku jatuh pada Tomyum karena gambarnya yang tampak menggoda, sementara aku memesan Americano karena namanya yang terdengar keren. Dasar, Laluna Aneh! cibirku pada diri sendiri di dalam hati. "Ada tambahan yang lain, Mas, Mbak?" tanya Mbak Fitri setelah menulis pesananku pada buku catatan kecil yang ada di tangannya. Ezra menggelengkan kepalanya lalu menjawab, "Itu aja dulu, Mbak." "Baik, saya bacakan ulang, ya, pesanannya," ujar Mbak Fitri dan dibalas dengan anggukan kepala olehku dan Ezra. "Satu Chicken Parmigiana, satu Tomyum Seafood, satu Lime Squash, dan satu Americano." Aku dan Ezra mengangguk sekali lagi, membenarkan deretan daftar makanan dan minuman yang tercatat di catatan kecil Mbak Fitri. Mendapati respon dari kami yang berupa anggukan, Mbak Fitri pun lantas berlalu dari hadapan kami dengan sebelah tangan yang membawa buku menunya. Lima belas menit kemudian, seorang pelayan datang membawakan pesanan kami. Kali ini pelayan itu bukanlah Mbak Fitri yang tadi, melainkan seorang laki-laki muda yang aku taksir hanya beberapa tahun lebih tua dariku. Mungkin baru berusia awal dua puluhan jika dilihat dari penampilan dan gaya rambutnya. Pelayan itu memindahkan makanan dan minuman yang ada di nampannya ke atas meja. "Silakan menikmati," ucap lelaki itu sebelum berlalu dari hadapanku dan Ezra bersama dengan nampan di tangannya. Hal pertama yang aku lakukan adalah menarik semangkuk sup Tomyum dan sepiring nasi ke hadapanku dan dilanjutkan dengan tanganku yang membawa minuman dingin pesananku yang berwarna coklat kehitaman kemudian meletakkannya tepat di sebelah piringku. Meskipun aku belum pernah memesan Americano dan melihat wujud minuman itu sebelumnya, tetapi aku yakin bahwa minuman berwarna coklat kehitaman ini pastilah milikku karena gelas lain di atas meja ini berisi cairan putih bersoda dengan irisin jeruk nipis yang tertancap di bibir gelas. Hal selanjut yang aku lakukan adalah meletakkan sendok dan garpu di atas piringku dan mulai mencicipi minuman dingin pesananku. Tubuhku terkesiap dan bergeming di tempat ketika aku menyeruput minuman yang aku pesan dengan sedotan yang sudah tersedia di dalamnya. Susah payah aku menelan cairan yang berada di dalam mulut saat ini dan berakhir dengan kernyitan pada batang hidungku dan ekspresi wajah yang bergidik ngeri. "Ya, ampun ... minuman apaan ini?! Pahit banget," gerutuku dengan tangan yang mendorong mundur gelas itu untuk menjauhiku. Bukannya membalas ucapanku, Ezra malah tampak menikmati ekspresi sengsara di wajahku sembari mengulum senyum di tempatnya. Pria itu lebih memilih untuk kembali melanjutkan acara makannya dan nggak mengindahkanku yang sedang frustasi karena rasa pahit yang sedang aku rasakan saat ini. Namanya doang yang keren. Rasanya mah lebih pahit daripada hidupku! gerutuku pada diri sendiri sebelum menyuapkan satu sendok nasi dengan kuah Tomyum dan cumi-cumi ke dalam mulutku. Kunyahan di mulutku lantas terhenti ketika menemukan tangan Ezra yang tiba-tiba menarik gelas berisi kopi pahit pesananku dan menukarnya dengan Lime Squash yang pria itu pesan. "Ya, walaupun ini asam, tapi setidaknya lebih baik daripada kopi pahit kamu ini," jelas Ezra setelah mengosongkan mulutnya yang sempat terisi oleh makanan tadi. "Kamu mau minum itu?" tanyaku nggak percaya setelah menelan makananku dengan cepat. "Itu pahit banget loh, bahkan lebih pahit daripada obat," lanjutku menambahkan. "It's not a big deal," balas Ezra santai sebelum kembali menyuapkan Chicken Parmigiana-nya lagi ke dalam mulut. "Se ... rius?" tanyaku memastikan sekali lagi. Ezra nggak menjawab pertanyaanku kali ini, melainkan hanya menganggukkan kepalanya karena mulut pria itu sudah kembali terisi oleh makanan. "Makasih ... baik banget, sih, kamu," gumamku dengan cengiran lebar yang terukir di bibir. Belum sempat Ezra membalas ucapanku, tetapi aku sudah lebih dulu kembali menyantap makanan di hadapanku yang menggugah selera itu. * Ezra yang sudah lebih dulu menandaskan makanannya pun izin untuk pergi ke kamar mandi, sekalian untuk melakukan p********n di meja kasir katanya. Aku menyetujui ucapan pria itu dan tetap fokus untuk menghabiskan makananku yang tersisa sedikit lagi. Tanganku menarik dua lembar tisu untuk membersihkan bibir dan membawa Lime Squash yang diberikan oleh Ezra tadi untuk mendekat ke arahku. Namun, baru saja sedotan berwarna hitam yang berada di tanganku hendak masuk ke dalam mulut, sebuah tepukan pada pundakku membuat gerakanku menjadi urung. Saat aku menolehkan kepala ke sisi kiri, mataku menemukan sosok Edward yang sedang berdiri di sana. Kehadiran lelaki berkacamata itu sukses membuatku terpernjat kaget dan melupakan minuman yang hendak aku seruput sebelumnya. "Hai," sapaku dengan tangan yang melambai pada Edward setelah bisa menguasai diri dan mengatasi keterkejutanku sebelumnya. Tatapanku kemudian beralih pada sosok seorang gadis asing yang sedang berdiri di sebelah lelaki itu. Gadis itu tampak asing dan belum pernah aku lihat sebelumnya. Ini pasti salah satu dari cewek-cewek di dating app itu, deh, batinku menerka di dalam hati. "Hai," sapaku kemudian pada gadis yang nggak aku ketahui namanya itu. Gadis itu hanya memberikan senyum tipis sebagai balasan atas sapaanku dan nggak mengeluarkan suara sedikit pun. "Sama siapa kamu di sini?" tanya Edward. "Sama si Om?" lanjut lelaki itu menebak. Aku membalas pertanyaan Edward dengan sebuah anggukan kepala. "Kamu baru datang atau udah mau pulang?" Aku balik bertanya. "Baru datang,” jawab Edward. “Kalau gitu kami cari kursi dulu, ya," balas lelaki itu kemudian. Namun, sebelum Edward benar-benar berlalu dari hadapanku, tangan lelaki itu sudah lebih dulu mengacak rambut pada bagian puncak kepalaku. Aku mendelik dengan tangan yang menggeplak lengan Edward agar menjauh dari puncak kepalaku. "Dasar!" Aku berdesis sebal dan dibalas dengan lambaian tangan oleh lelaki itu. Namun, nggak berlaku pada gadis yang berdiri di sebelah Edward itu, dia memilih untuk melengos pergi dan mengekori Edward dari belakang tanpa berkata apapun padaku. Dasar anak ini! Udah jelas-jelas dating partner-nya ada di sebelah, malah main acak-acak rambutku aja! gerutuku di dalam hati. Nggak sampai satu menit kemudian, Ezra datang menghampiriku. Pria itu membantuku untuk merapikan anak-anak rambut di bagian yang sempat diacak oleh Edward tadi. Ya, ampun. Kira-kira Ezra lihat nggak, ya, tadi? batinku bertanya pada diri sendiri. "Ayo," ajak Ezra yang sukses menyentakku yang sedang bermonolog pada diri sendiri. Uluran tangan pria itu langsung aku terima dengan cepat. “Terima kasih dan datang kembali,” kata pelayan yang menyambut kami saat di pintu masuk tadi sembari membukakan pintu untukku dan Ezra. Saat kami masuk ke dalam mobil, Ezra nggak langsung menjalankan kendaraan beroda empat itu, melainkan menghidupkan mesin dan pendingan kemudian duduk berdiam di balik kemudi. "Loh kok nggak jalan?" tanyaku dengan ekspresi bingung yang kentara di wajahku. Bukannya menjawab pertanyaanku, Ezra malah balik melontarkan pertanyaan padaku. "Itu tadi siapa?" tanya pria itu sembari merubah posisi duduknya hingga menghadap ke arahku saat ini. Dia pasti lihat tadi, tebakku bermolog di dalam hati. "Kamu lihat?" Aku balas bertanya untuk memastikan. "Siapa cowok yang tadi pegang-pegang rambut kamu," balas Ezra bertanya dengan nada nggak suka yang terdengar jelas pada kalimatnya. Raut wajah pria yang awalnya tenang itu, kini tampak berubah jutek dan nggak sesantai sebelumnya. "Oh, itu Edward tadi," lanjutku berterus terang tanpa menutupi apapun. Toh, lagi pula apa yang perlu aku tutupin di saat hubunganku dengan Edward murni hanya teman dekat, sama seperti hubungan antaraku dengan Jessica, Tiffany, dan Samuel. "Edward yang itu?" tanya Ezra. "Yang kamu bilang wakil ketua OSIS yang sekelas sama kamu itu?" lanjut pria itu memastikan. Aku menganggukan kepala sebagai jawaban atas pertanyaan Ezra. "Terus ngapain di bisa ada di sana dan acak-acak rambut kamu tadi?" tanya pria itu lagi. Kali ini dengan matanya yang menyipit. "Kamu janjian sama dia?" lanjut Ezra mencecarku dengan pertanyaannya yang nggak masuk di akal. Dari mana pula datangnya pemikiran konyolnya yang bisa-bisanya berasumsi bahwa aku janjian dengan Edward. "Loh gimana janjiannya? Kamu aja sendiri tadi siang nggak bilang kita mau makan malam di mana," sanggahku. “Ngaco, deh, kamu nuduhnya!” lanjutku dengan nada suara yang mulai sewot. Ezra terdiam sejenak, mungkin pria itu sedang memikirkan kebenaran dan sanggahan yang baru saja aku lontarkan. Sedetik kemudian, ekspresi wajah pria itu sudah nggak lagi jutek seperti sebelumnya. Meskipun bukan kekehan yang dikeluarkan atau ekspresi senang yang terpatri di wajahnya, setidaknya raut Ezra sudah tampak melunak dan mulai santai. "Terus, ngapain dia pegang-pegang rambut kamu?" tanya Ezra sembari mendelik ke arahku. "Ya, mana aku tau, tapi biasanya dia nggak pernah gitu kok," jawabku sejujur-jujurnya. Edward adalah salah satu spesies lelaki yang tergolong dalam kategori sopan, walaupun dia kerap bergonta-ganti pasangan kencan seperti mengganti celana dalam. Namun, aku tahu kalau Edward melakukannya hanya semata-mata untuk mencari kesenangan saja. Lelaki itu juga sudah mewanti-wanti para gadis yang menjadi pasangan kencannya agar nggak melibatkan perasaan mereka karena acara kencan itu hanyalah pengisi kebosanan semata bagi Edward. "Paling juga karena anak itu nggak suka sama teman kencannya," lanjutku menerka. Ezra mengernyitkan keningnya, nggak serta merta mempercayai ucapanku. Namun, semesta sepertinya sedang berpihak padaku saat ini. Tebak, apa itu? Edward Akbar: Woi, Non! Bilang sama si Om, jangan salah salah paham sama yang tadi. Itu cuma bentuk penolakan aja buat cewek tadi. Risih banget benaran jalan sama ini cewek. Suer, deh. Setelah membaca pesan dari Edward itu, aku lantas tersenyum lebar dan menunjukkan layar ponselku yang menampilkan lima baris pesan dari lelaki itu pada Ezra. "Nah, baca tuh ....” Aku memberikan titah dengan tangan yang sedang menggenggam ponsel. "Aku bilang juga apa. Itu pasti cuma kedok Edward aja karena dia nggak suka sama teman kencannya itu," lanjutku meyakinkan Ezra. Ezra mendengus lalu berucap dengan desisan. "Awas aja kalau sekali lagi dia pegang-pegang kamu seujung kuku aja. Aku potong tangannya langsung!" Setelah berkata demikian, pria itu pun lantas melajukan mobilnya dan keluar dari area parkir kafe ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN