Thread Madness - Part 9b

1544 Kata
"Semuanya," jawabku singkat. "Semuanya, Zra. Dari status sosial kita, pendidikan kita, bahkan sampai umur kita itu bedanya jah banget," lanjutku memaparkan dengan jelas. "Menurut kamu, memangnya semua yang baru kamu sebutkan itu sepenting apa, Lun?" Ezra balas bertanya. "Penting, Ezra! Kamu pemilik perusahaan tekstil. Kamu sekolah sampai dapat gelar magister di Manchaster dan ... kita beda sepuluh tahun kalau kamu lupa," jawabku dengan pemaparan yang jelas. "Bagi aku, itu semua nggak penting, Lun. Lagi pula, memangnya kekayaan, umur, dan gelar aku itu ada andil besar dalam hubungan kita? Apa semua itu buat kamu terkesan saat aku kejar kamu dulu?" tanya Ezra yang masih tampak tenang. "Kalaupun itu penting, tapi yang tetap paling penting dari itu semua tetap perasaan aku sama kamu—perasaan kita, 'kan?" lanjut Ezra memberondong tanpa adanya nada emosi yang terdengar pada suaranya. Aku membenarkan ucapan Ezra di dalam hati, meskipun belum sepenuhnya. Namun, aku tetap bungkam dan nggak menyuarakannya pada pria itu. Setelah Ezra menyerukan suaranya tadi, pria itu nggak lagi berucap, begitu pun dengan diriku. Beberapa menit perjalanan ini hanya diisi oleh keheningan dariku dan Ezra. "Maaf, ya, aku nggak bisa makan siang sama kamu hari ini, soalnya aku ada meeting sama klien," jelas Ezra ketika mobil yang kami tumpangi sudah berhenti di depan pagar rumahku. Lihatlah, pria itu masih bisa-bisanya meminta maaf padaku padahal dia nggak melakukan kesalahan sedikit pun. "Nanti sore habis aku pulang dari kantor, kita jalan, ya," lanjut Ezra berpesan. Tanpa aba-aba, pria itu kemudian membawaku ke dalam pelukannya. Lingkaran tangan pria itu pada tubuhku terasa lebih erat daripada biasanya. Bukan hanya itu saja, Ezra juga memberikan sebuah kecupan di kening dan elusan pada punggungku. "Maafin, aku, ya, karena udah overthinking," gumamku di antara ceruk leher dan pundak Ezra. "Sayang kamu, Ezra ...," lanjutku berbisik di telinga pria itu. Aku dapat merasakan kepala Ezra yang bergerak mengangguk. "Aku lebih sayang kamu, Laluna," balas pria itu berbisik sebelum melepaskan pelukannya dan membiarkanku keluar dari mobil ini. * Begitu aku masuk ke dalam rumah, hal pertama yang aku lakukan adalah meletakkan tas sekolah di ruang tamu kemudian berjalan menuju dapur untuk menyiapkan makan siang. Saat aku membuka kulkas, indra penglihatanku nggak menemukan ada bahan yang bisa aku olah menjadi makanan. Hanya ada beberapa kotak s**u UHT dan yoghurt berbagai rasa di dalam sana, sementara laci tempat penyimpanan sayur dan buah sudah kosong melompong. Begitu juga dengan rak penyimpanan telur. "Nggak ada yang bisa dimakan," gumamku pada diri sendiri sembari menutup pintu kulkas. Sama halnya ketika aku membuka pintu bagian freezer, di dalam sana juga nggak ada makanan yang bisa mengatasi rasa lapar yang sedang aku rasakan saat ini. Beralih dari kulkas, atensiku kini berpindah pada lemari khusus yang menyimpan cadangan persediaan makananku. Aku hanya menemukan dua bungkus mi instan, beberapa sachet kopi instan dan sekotak teh seduh. "Sedih banget kayaknya hidupku. Bisa-bisanya hanya sisa ini yang bisa dimakan," keluhku sembari mengambil dua bungkus mi instan dari dalam sana dan nggak lupa menutup pintu lemari setelahnya. Aku mengambil panci yang berukuran sedang dan mengisinya dengan air sebelum meletakkan benda berbahan stainless steel itu di atas tungku kompor yang sudah menyala. Sembari menunggu air di dalam panci mendidih, aku mengecek aplikasi toko online-ku dan menemukan ada lima pesanan tambahan yang baru masuk. Namun, karena air yang aku jerang itu masih belum mengeluarkan bui-bui pertanda sudah mendidih, aku pun lantas membalas pesan-pesan dari beberapa customer yang menanyakan tentang produk jualanku. Bertepatan dengan semua pesan-pesan yang sudah terbalas, tanganku kemudian memasukkan dua keping mi instan ke dalam panci dan menuangkan bumbu-bumbunya ke mangkuk yang akan aku gunakan nanti. Nggak butuh waktu satu menit sampai aku mematikan kompor kemudian menuangkan mi beserta air yang berada di dalam panci hingga memenuhi setengah dari mangkukku. Setelah menyicip kuah rasa ayam bawang itu dan memastikannya sudah pas—nggak terlalu asin, tanganku dengan cepat mengangkat mangkuk di hadapanku dan segelas air mineral menuju gudang tempat aku melakukan packing biasanya. Aku meletakkan mangkuk dan gelas di tanganku ke sebuah meja kecil yang berada di dekat pintu. Tanganku kemudian menekan saklar lampu dan menghidupkan kipas angin agar aku nggak merasa kegerahan di dalam ruangan ini. Aku memposisikan diri di depan laptop sembari duduk lesehan di atas lantai agar aku bisa makan sembari mencetak invoice yang akan aku tempelkan pada kotak packaging nanti. Lima belas lembar invoice itu tercetak tepat ketika aku menandaskan mi instan di dalam mangkukku. Ini sebenarnya aku yang makan terlalu cepat atau memang printer-nya yang lambat, sih? batinku bertanya di dalam hati sebelum meraih gelas besar berukuran lima ratus liter yang ada di dekatku. Setelah menegak air putih hingga hanya tersisa setengah gelas, aku pun lantas mengambil kertas berisi invoice itu dan berpindah tempat untuk memulai acara packing-ku. Aku harus menyelesaikan lima belas pesanan ini dengan cepat agar bisa mengirimnya sore nanti karena semakin cepat aku mengirimkan paket-paket ini, maka semakin cepat juga uangku akan cair. * Entah berapa lama aku tertidur seperti orang pingsan yang tergeletak di atas ubin keramik setelah menyelesaikan packing-an lima belas pesananku, tetapi mataku terbelalak lebar ketika menangkap jarum jam yang sudah mengarah ke angka lima. Tubuhku lantas tersentak kecil ketika mengingat pesan Ezra siang tadi. Tanganku dengan cepat meraih ponsel yang berada di sisi tubuhku. Saat aku menghidupkan layar benda pipih tersebut, ada satu missed call dari Ezra dan sebuah pesan yang mengatakan bahwa pria itu sudah dalam perjalanan menuju rumahku. Mendapati pesan seperti itu, aku pun bangkit dengan cepat dari posisi dudukku di lantai dan berlari menuju lantai atas di mana kamarku berada. "Ya, ampun. Bisa-bisanya aku ketiduran sampai nggak sadar diri kayak orang pingsan," rutukku pada diri sendiri sebelum masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Bertepatan dengan aku yang baru saja keluar dari kamar mandi, ponsel yang berada di atas tempat tidurku pun berdering. Saat tanganku aku meraih benda itu, nama Ezra terpampang di layarnya. "Halo?" sapaku setelah menggeser ikon berwarna hijau yang artinya menerima panggilan tersebut. "Halo, Sayang," sapa Ezra dari seberang sana. "Kamu udah siap? Aku telepon tadi kok nggak diangkat?" lanjut pria itu bertanya. "Udah, tapi ini aku baru siap mandi, sih. Tadi aku nggak angkat telepon kamu gara-gara ketiduran di gudang," jawabku menjelaskan. "Ini kita mau ke mana? Aku pakai outfit kasual aja nggak masalah, 'kan?" lanjutku bertanya. "Iya, nggak masalah. Senyamannya kamu aja," jawab Ezra. Dengarlah, pria itu memang pengertian sekali, bukan? "Kurang lebih lima menit lagi, ya, aku sampai," lanjut Ezra memberi informasi. "Oke, nanti kamu klakson aja, ya, biar aku keluar," balasku berpesan. Setelah mendapatkan persetujuan Ezra dari seberang sana, aku pun lantas memutuskan panggilan kami dan mengalihkan atensiku pada lemari untuk mengambil pakaian yang akan aku kenakan. Tanganku menyambar dompet dari atas meja nakas dan ponsel dari tempat tidur sebelum keluar dari kamar. Saat aku turun ke lantai bawah, tujuan pertamaku adalah gudang stok. Peralatan makan yang aku pakai siang tadi, kini sudah aku pindahkan ke dalam bak pencucian piring. Aku akan mencucinya nanti setelah pulang dari berpergian dengan Ezra. Tanganku memasukkan semua kotak packinging tadi ke dalam satu karung besar kemudian menarik karung besar itu untuk keluar dari gudang stok dan mematikan lampu di dalam sana. Saat tanganku baru saja memutar kunci yang tertancap di lubang pintu, suara klakson sudah terdengar di depan sana. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Ezra. Aku kira pria itu akan menungguku di dalam mobil, tetapi ternyata pemikiranku salah. Mataku menemukan sosok Ezra yang mematikan mesin mobilnya dan turun dari dalam sana ketika aku membuka pintu. Pria itu berjalan menghampiriku yang sudah berdiri di teras rumah. "Hai," sapaku ketika menangkap sosok Ezra yang mendekat ke arahku. "Nanti bisa tolong berhenti di ekspedisi yang di dekat gerbang komplek itu nggak?" tanyaku melanjutkan tanpa menunggu pria itu membalas sapaanku. Ezra menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. "Apa, sih, yang nggak untuk kamu?" tanya pria itu sembari mengedipkan sebelah matanya. Ulahnya itu sukses membuatku terkekeh kecil. Setelah itu, Ezra pun membantuku dengan mengangkat satu karung goni besar itu dan meletakkannya di bagasi mobil. Sementara itu, aku menutup pintu rumah dan memastikannya sudah terkunci dengan benar. Sebelum aku masuk ke dalam mobil Ezra, tanganku tentunya sudah lebih dulu menggeser pintu pagar agar tertutup dengan rapat meskipun nggak dikunci menggunakan gembok. Hanya butuh waktu lima menit untuk sampai di tempat ekspedisi yang berada nggak jauh dari gerbang komplek perumahanku. Setelah mobil yang dikendarai oleh Ezra berhenti, aku pun lantas keluar dari mobil untuk menurunkan goni besar yang berada di belakang sana. Namun, gerakanku urung ketika Ezra sudah lebih dulu membantuku mengangkat goni besar itu. Aku bahkan nggak sadar kalau pria itu sempat mematikan mesin mobilnya tadi. Gerakannya secepat kilat ..., gumamku di dalam hati. "Sini, biar aku aja," sergah Ezra sembari mengeluarkan goni besar itu dari bagasi mobil. "Badan kecil kayak kamu mah mana sanggup angkat goni yang berat kayak gini," lanjut pria itu meledekku. "Makasih loh udah bantuin aku," celetukku dengan seulas senyum di bibir sembari mengekor Ezra dari belakang. “Sekaligus sama ledekannya,” lanjutku menyindir pria itu. Saat kami masuk ke dalam tempat ekspedisi itu, suasana di dalam sana lumayan ramai dan padat sehingga kami harus berbaris mengantri karena semua loket yang tersedia sudah terisi oleh orang-orang yang juga hendak mengirimkan barang mereka ke luar kota. Tiba giliran kami untuk dilayani, pegawai yang berjenis kelamin perempuan di depanku bukan melakukan tugasnya, melainkan bertanya pada kami dengan nada keponya. "Ini keponakannya Mas, ya?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN