"Hah ...? Gimana, gimana?" tanyaku dengan ekspresi bingung dan linglung seperti orang yang baru saja menegak beberapa botol bir ketika mendengar ucapan Ezra. "Coba ulangi lagi," imbuhku meminta.
"Aku mau kenalan sama orang tua kamu," ulang Ezra sekali lagi.
"Kamu ... kamu bukannya tunggu di mobil aja, ya?" tanyaku dengan kening yang berkerut.
"Kata siapa?" Ezra balas bertanya.
"Kataku, Ezra. Barusan aja," balasku dengan nada gemas karena kepolosan pria itu. Entah memang Ezra yang terlalu polos atau memang aku yang terlalu mudah untuk dibodohi.
"Nggak, ngga,” tolak Ezra. “Ayo, kita turun sekarang," ajak pria itu kemudian membuka pintu mobil dan keluar dari kendaraan beroda empat ini.
Aku hanya bisa menatap Ezra yang sudah berdiri di luar sana dengan tatapan yang sarat akan ketidakpercayaan. Pria itu bisa-bisanya membuat keputusan sendiri seenak jidat.
Melihatku yang belum beranjak dari tempat dudukku saat ini, Ezra pun kembali menghampiriku dan membuka pintu mobil.
“Kenapa nggak turun?” tanya Ezra dengan sebelah alis yang terangkat. “Ayolah. Aku cuma mau ikut ke makam orang tua kamu, bukan aku suruh kamu untuk kerja rodi, Lun,” lanjut pria itu membujuk.
“Kasih aku satu alasan kenapa aku harus bawa kamu ikut ke makam orang tuaku,” titahku.
“Ya, karena aku mau kenalan sama orang tua kamu, Lun. Aku rasa alasan itu udah lebih dari cukup,” balas Ezra.
Udahlah, Lun, bawa aja. Lagi pula, dia cuma mau ikut dan kenalan sama orang tuamu aja, ‘kan? batinku di dalam hati.
Pada akhirnya, aku pun keluar dari mobil dan memimpin jalan untuk menuju ke makam orang tuaku dengan Ezra yang mengekor di belakang.
Sama halnya dengan ketika aku sudah berjongkok di salah satu sisi dari makam orang tuaku yang saling berdempetan, Ezra pun melakukan hal yang sama di sebelahku.
Tanganku mencabut rumput-rumput liar yang mulai bertumbuhan dan membersihkan daun-daun kering yang berjatuhan di atas tanah makam kedua orang tuaku. Setelah itu, aku memindahkan buket bunga yang berada di dalam pelukanku dan meletakkannya di tengah makam kedua orang tuaku.
"Halo, Ayah, Bunda. Apa kabar?" sapaku sembari mengusap batu nisan keduanya secara bergantian.
"Pasti kalian baik-baik aja 'kan di atas sana?" lanjutku bertanya. "Luna kangen banget sama Ayah dan Bunda."
Selama beberapa menit, aku terdiam. Mataku hanya menatap pada makam kedua orang tuaku. Namun, semilir angin yang menyapu wajahku dengan lembut membuatku kembali melanjutkan ucapan.
"Ayah dan Bunda tenang aja, ya. Laluna baik-baik aja kok di sini." I will live my life to the fullest, Yah, Bun, lanjutku di dalam hati.
"Oh, ya, Ayah, Bunda, kenalin ini aku bawa temanku. Katanya dia mau kenalan sama kalian," ujarku sembari menatap sekilas pada Ezra, bermaksud memberikan tanda pada pria itu untuk lanjut memperkenalkan dirinya.
"Selamat siang, Om, Tante. Perkenalkan nama saya Ezra Miller, temannya Laluna—untuk saat ini. Namun, belum tentu akan terus menjadi teman untuk ke depannya," kata Ezra memperkenalkan dirinya. "Om dan Tante tenang aja, ya, di atas sana. Saya yang akan bantu Om dan Tante untuk menjaga anak gadis kalian ini," lanjut pria itu yang sukses membuatku melongo, tetapi tersentuh juga.
*
6 bulan kemudian
Pagi ini adalah pagi yang benar-benar cerah untuk memulai hariku. Aku sudah memasuki semester kedua di kelas 2 SMA. Waktu rasanya benar-benar cepat berlalu, ya. Tanpa kita sadari, semuanya datang dan pergi secepat angin. Namun, aku tetap percaya bahwa kedatangan dan kepergian seseorang itu memang punya alasan tersendiri yang nggak pernah kita sadari. Maka dari itu, sebisa mungkin aku akan mengabdikan momen-momen bersama orang-orang terdekatku karena kita nggak tahu kapan mereka akan beranjak dari hidup kita.
Selama 6 bulan ini, usaha toko online yang aku rintis saat liburan kenaikan kelas kemarin sudah lumayan berkembang. Bahkan bisa dibilang, perkembangan toko online-ku ini cukup pesat. Meskipun pada awal perintisannya, aku mengalami kendala yang cukup berat dan belum banyak pembeli yang terlalu berminat pada barang daganganku, tetapi aku nggak menyerah sampai di sana. Masih ada seribu satu jalan menuju Roma, bukan?
Memang benar kata orang-orang, kekuatan dari keadaan yang mendesak benar-benar akan membawa kita pada fase yang belum pernah kita bayangkan sebelumnya. Sama halnya dengan keadaanku 6 bulan yang lalu, ketika aku menemukan uang tabunganku yang sudah semakin menipis, akhirnya aku pun berinisiatif dan memutar otak agar bisa mendapatkan pundi-pundi uang untuk melanjutkan hidup.
Uang tabungan itu sebenarnya adalah uang dari dana pendidikanku dan uang dari hasil kerja freelance-ku, yaitu menjadi desainer grafis dan bekerja paruh waktu di sebuah toko kopi setiap liburan kenaikan kelas. Namun, aku ingin memulai sesuatu yang berbeda dari sebelum-sebelumnya, maka aku memutuskan untuk membuka toko online yang bergerak di bidang penjualan kosmetik, skincare, dan pakaian wanita.
Awalnya, aku hanya berani menjadi dropshipper. Namun, karena 3 bulan terakhir penjualanku sudah cukup stabil dan cenderung meningkat, aku pun memberanikan diri untuk menyetok barang—walaupun jenisnya belum terlalu banyak, tetapi aku sudah berani menyetok masing-masing jenis sebanyak 100 buah.
Dari tekadku yang berani keluar dari zona nyaman dan ditambah dengan keadaan yang mendesak tersebut, selama 6 bulan ini setidaknya aku sudah mengantungi uang 20 juta rupiah secara bersih jika ditotalkan. Mungkin bagi orang dewasa yang sudah bekerja, nominal itu bukanlah nominal yang terlalu besar. Namun, bagiku yang masih pelajar ini, uang itu sudah sangat lebih dari cukup untuk membayar uang sekolah dan kebutuhan sehari-hariku, sementara sisanya pasti selalu aku tabung.
Hal yang pertama kali aku lakukan ketika mataku terbuka dari tidur adalah mengecek ponsel. Lebih tepatnya mengecek salah satu e-commerce berwarna orange yang menjadi tempatku berjualan.
Saat mataku menemukan ada lima belas pesanan yang masuk pagi ini, mulutku pun lantas mengucap syukur. "Terima kasih, Tuhan. Karunia-Mu sungguh luar biasa," bisikku.
Setelah itu, aku pun mematikan ponselku dan berjalan menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri karena aku harus pergi ke sekolah hari ini.
Ketika aku turun ke bawah, yang pertama kali aku lakukan adalah membuka lampu dan beralih pada gorden dan vitrase. Dua hal itu sudah menjadi kebiasaanku entah sejak kapan.
Pagi ini, aku memutuskan untuk nggak membuat sarapan untuk diriku sendiri karena makanan yang aku beli tadi malam masih bersisa di dalam kulkas sehingga aku hanya perlu memanaskannya sebelum aku santap. Itulah salah satu cara berhemat versiku. Terkadang aku suka menyisihkan makan malam agar keesokan paginya aku nggak perlu repot-repot menyiapkan sarapan lagi.
Sembari menunggu makanan yang aku panaskan siap untuk disantap, aku berjalan menuju sebuah kamar kecil yang dijadikan gudang tempat penyimpanan barang-barang jualanku untuk mengecek apakah stok pesanan pagi ini cukup atau nggak.
Syukurlah, semua barang pesanan yang aku dapatkan pagi ini masih ada di dalam gudang sehingga aku bisa langsung mengepak dan mengirimkan pesanan-pesanan itu setelah pulang dari sekolah nanti.
Suara klakson yang berasal dari depan rumahku terdengar bertepatan dengan tanganku yang meletakkan peralatan makan yang baru saja aku cuci ke tempat pengeringan.
Dengan segera, aku menyambar tas sekolah yang sebelumnya aku letakkan di atas kursi kayu yang ada di ruang tamu dan segera keluar dari rumah. Tanganku dengan cepat mengambil sepatu dari dalam lemari dan memasangkannya pada kakiku sebelum klaksonan tadi kembali terdengar dan mengganggu seluruh penghuni komplek ini.
"Pagi, Sayang." Tanganku baru saja membuka pintu mobil, tetapi telingaku sudah mendapati sapaan yang disertai dengan panggilan yang mengadamkan hati seperti itu.
"Pagi," sapaku setelah duduk di kursi penumpang dan menutup pintu mobil. Coba tebak, siapa yang baru saja memanggilku dengan panggilan yang manis seperti itu?
"Kenapa nggak ada kata 'sayang'-nya, sih?" rajuk pria yang sedang duduk di balik kemudi itu. "Kamu udah nggak sayang sama aku?" lanjut pria itu bertanya.
Aku menghela napas dan berdecak karena nggak habis pikir dengan pria dewasa yang bisa-bisanya memiliki pemikiran seperti bocah SD ini.
"Kamu kenapa, sih? Kesambet apa? Kayaknya kemarin baik-baik aja, deh," candaku sembari meletakkan telapak tangan di kening pria itu, bermaksud untuk memastikan suhu tubuhnya.
"Nggak kesambet apa-apa," bantah pria itu. "Pokoknya bilang kamu sayang aku dulu. Cepatan!" titahnya melanjutkan dengan nada yang nggak ingin dibantah.
Dasar, bayi besar! cibirku di dalam hati, tetapi pada akhirnya tetap menuruti ucapan pria itu.
"Aku sayang Ezra. Udah. Puas?"
Mendengar ucapanku itu, pria yang sedang mengemudi itu pun terbahak di tempatnya. "Coba ulang sekali lagi," pintanya.
"Kamu mau aku tonjok, ya?" geramku sembari menunjukkan kepalan tangan di hadapannya.
"Tapi tadi katanya sayang sama aku. Sekarang malah mau main tonjok aja," sungut Ezra dengan bibirnya yang mencebik.
"Habisnya kamu ngajak gelut, sih," sahutku membalas.
Jangan tanyakan kenapa aku bisa berakhir dengan manusia bernama Ezra Miller ini, maksudku lebih tepatnya jatuh ke dalam pelukan pria itu. Aku sendiri juga nggak tahu kenapa bisa memutuskan untuk menerima permintaan pria itu untuk menjadi pacaranya dua bulan yang lalu. Seingatku, nggak ada alasan yang melandasi keputusanku tersebut.
Namun, yang aku tahu betul adalah Ezra yang selalu berada di sampingku meskipun aku sudah menolak kehadirannya ribuan kali. Pria itu nggak akan segan-segan mengulurkan tangannya jika aku sedang dalam keadaan yang sulit dan membutuhkan bantuan. Namun, pria itu juga tahu bagaimana caranya tetap memberi bantuan tanpa membuatku merasa rendah diri di hadapannya.
Bukan hanya itu saja, aku merasa menjadi prioritasnya. Ezra selalu mendahulukan kepentinganku. Intinya, selama aku mengenal pria itu, aku selalu merasa spesial dan diinginkan. Bahkan toko online-ku saat ini bisa berkembang sepesat ini juga merupakan andil dari pria itu. Meskipun aku tahu Ezra punya uang untuk melakukan segala hal, tetapi aku nggak ingin memanfaatkan apa yang pria itu punya untuk kepentinganku sendiri.
"Melamun apa, sih?" tanya Ezra ketika mobil yang dikendarainya sudah mendekati sekolahku.
"Nggak ada yang penting kok," jawabku. "Cuma lucu aja nggak, sih, kita bisa sampai di titik ini sekarang?" tanyaku sembari menerawang pada waktu beberapa bulan yang lalu ketika Ezra rela mendatangi rumahku setiap hari dan mengantarkan makanan padahal aku sudah menolak kehadirannya mati-matian seperti virus yang harus dijauhi.
"Kalau dipikir-pikir, dulu aku jahat juga, ya?" gumamku bermonolog.
"Baru sadar sekarang, Non?" sahut Ezra bertanya dengan nada sarkatisnya. Bukannya tersinggung, aku malah terbahak mendengar kalimat pria itu karena aku tahu nada sarkatisnya tadi hanyalah candaan semata.
"Nggaklah! Udah lama, sih, aku sadarnya. Kalau nggak, kamu kira aku mau terima tembakan kamu?" cibirku membalas Ezra. Kini giliran pria itu yang terbahak setelah mendengar ucapanku.
"Udah, ah. Aku turun dulu," ujarku pada Ezra ketika pria itu menghentikan mobilnya di depan gerbang sekolah. Kini mobil pria itu nggak lagi menjadi masalah bagiku karena mobil yang dikendarai oleh Ezra bukan lagi Lamborghini ataupun Mercedes-Benz yang menarik perhatian seluruh orang, melainkan sebuah Toyota Fortuner.
Ezra menahan tanganku sehingga gerakanku yang hendak membuka pintu mobil pun menjadi urung. Pria itu lantas menarik lembut kepalaku dan mendaratkan kecupan singkat pada pelipisku. Ulah pria itu sukses membuatku terkekeh geli.
"Sana, belajar biar jadi calon istri yang pintar," usir Ezra lembut.
"Iya, iya," sungutku sebal. "Dadah! Makasih tumpangannya, Sayangku," lanjutku berpamitan dengan tangan yang melambai sebelum keluar dari mobil Ezra.