Thread Madness - Part 9a

1729 Kata
"Woi, Lun! Tungguin aku bentar!" seru seseorang dari arah belakang sana. Tanpa perlu membalikkan tubuh, aku sudah tahu siapa pemilik suara itu yang terdengar familiar di telingaku itu. Selama 6 bulan terakhir, suara itu tertangkap oleh indra pendengaranku hampir setiap harinya di sekolah. "Iya, iya. Aku tungguin. Nggak usah teriak-teriak kayak Orang Utan juga kali, Ed," decakku sebal. Untungnya guru mata pelajaran sudah keluar dari kelas sedari tadi, kalau nggak pasti Edward sudah ditegur olehnya karena berseru sekeras itu. "Makanya buruan kalau nggak mau ditinggal!" lanjutku sembari mendelik pada Edward di belakang sana. Bukannya mengiyakan ucapanku, Edward malah membalas ucapanku dengan gerutuan. "Sabar dikit kenapa, sih?! Barang bawaanku banyak loh ini. Kamu bukannya bantuin, ini malah ngomel-ngomel aja di sana," balas lelaki itu sembari menunjuk barang bawaannya di atas meja yang tampak menggunung tinggi. "Itulah derita wakil ketua OSIS," selorohku meledek Edward. Namun, aku tetap membantu lelaki itu untuk mengangkut barangnya pada akhirnya. “Kenapa mereka nggak bantu juga, sih? Harus banget, ya, aku terus yang diperbudak begini?” gerutuku dengan bibir yang mencebik. Mereka yang aku maksud adalah beberapa orang teman-temanku yang masih berada di dalam kelas. Tiga orang yang aku maksud itu malah terbahak ketika mendengar gerutuanku. Sementara itu, Edward hanya mendengus dan membalasku dengan tatapan mendeliknya. "Udahlah, jadian aja kalian kenapa, sih?" celutuk Jessica—salah satu temanku yang masih berada di dalam ruangan. "OGAH!" "NGGAK MAU!" Aku dan Edward sama-sama berseru histeris, menolak ucapan Jessica yang aneh dan nggak masuk akal itu. Seruan histeris yang kami lontarkan itu membuat teman-teman yang ada di ruangan ini kembali terbahak. "Nah, nolaknya pun juga sama-sama. Kurang cocok apa lagi, ya, 'kan, guys?" celutuk salah satu temanku yang lain, Tiffany. "Ah, ribut kalian. Udah, deh, aku udah mau cabut ini," balas Edward mendengus sebal sembari berjalan menuju pintu kelas dan bersiap-siap untuk keluar dari ruangan ini. Jessica dan Tiffany yang mendengar nada sebal dari Edward pun lantas terbahak lagi. Begitu pun dengan teman kami yang satunya, Samuel. Kini, tersisa kami berlima di dalam ruangan ini. Sudah bukan hal yang mengherankan lagi kalau kami berlima sering berkumpul di dalam kelas di saat semua teman kami sudah keluar karena Edward dan Samuel adalah ketua dan wakil ketua kelas. Jadi, mereka bertugas untuk mengecek ruangan kelas ketika semua orang sudah pulang. Sementara itu, Tiffany adalah pacarnya Samuel. Jessica? Tentu saja menemani sahabatnya itu—meskipun nggak selalu. Kalau aku? Tentu saja menjadi ‘b***k’ untuk membantu Edward mengangkat barang-barangnya. "Sensi amat, Bro," celutuk Samuel berdecak dengan nada humor yang kentara pada kalimatnya. Edward nggak membalas ucapan Samuel. Lelaki itu malah berdecak dan melayangkan tatapan mendelik pada Samuel. "Balik dulu, guys," ujar Edward dengan lambaian tangannya. “Woilah ... udah minta tolong, malah aku yang angkatnya lebih berat daripada kamu!” seruku sewot pada Edward yang sudah berjarak beberapa langkah di depan sana. “Makanya, minum s**u banyak-banyak supaya tinggi ke atas. Ini mah nggak ... ah, udahlah, lanjutin sendiri,” celetuk Edward dengan nggak berperikemanusiaan. “Heh! Memangnya berdosa banget, ya, orang yang pendek dan kurus kayak aku begini?” tanyaku sembari berdecak kesal. “Udah, Lun, nggak usah bantuin bawa barangnya aja,” ujar Tiffany. “Iya, itu di depan sana ‘kan ada tempat sampah. Boleh banget itu kalau dilempar ke dalam,” tambah Jessica mengompori. “Ed mah nggak ada so sweet so sweet-nya sama Lun. Parah, ih. Pantes aja Luna nggak mau sama dia ...,” ledek Samuel. Ucapan lelaki itu sukses membuat Edward bergidik ngeri dan menampilkan ekspresi wajah yang ingin muntah. Aku berdecak sembari menggelengkan kepala sebagai tanggapan atas ucapan ketiga temanku yang nggak masuk di akal itu. "Udah, ah. Ngaco aja kalian ngomongnya!" balasku sembari melambaikan tangan pada mereka yang masih berada di dalam kelas sebelum kemudian berjalan mengekori Edward yang sudah lebih dulu keluar dari ruang kelas ini. Saat menuruni anak tangga, banyak murid-murid yang menyapa Edward ketika melihat sosok lelaki itu. Namun, hal demikian nggak berlaku untukku karena aku nggak terkenal di seantero sekolah layaknya Edward. Bahkan kalau mau diperhatikan lebih saksama, teman-temanku hampir nggak ada yang berada di kelas lain. Kalaupun ada, itu hanya segelintir yang bisa dihitung dengan jari. "Lun, itu barang-barangnya taruh di bagasi belakang aja," pesan Edward ketika lelaki itu sudah membuka kunci pada pintu mobilnya dan membantuku membukakan pintu bagasi belakang. Aku mundur dua langkah dan membiarkan Edward memasukkan tas sekolah dan beberapa kantung lainnya ke dalam bagasi lebih dulu sebelum memasukkan buku-buku dan dokumen lelaki itu setelahnya. "Oh, kenapa? Kamu masih ada date sama cewek-cewek dari dating app itu?" tanyaku meledek sekaligus penasaran dengan jawaban yang akan dilontarkan oleh Edward. Pasalnya, setelah mengenal Edward lebih dekat selama enam bulan terakhir ini, ternyata lelaki itu bukan tipikal lelaki cuek dan bersahaja seperti yang seisi sekolah ini tahu. Aku lupa tepatnya kapan, Edward sendirilah yang membeberkan kalau lelaki itu sudah beberapa kali melakukan kencan buta dengan beberapa gadis dari dating app. Aku hanya bisa menggelengkan kepala ketika mengetahui fakta tersebut dari mulut Edward sendiri. Aku juga nggak lupa selalu mengingatkan lelaki itu untuk berhati-hati dan membawa perlindungan diri karena zaman sudah semakin mengerikan sekarang ini. Nggak peduli jenis kelamin para pelaku kejahatan, mereka akan melakukan segala hal jika memang sudah punya niatan yang kuat, bukan? Terlebih jika akal sehat mereka sudah tertutupi dengan pikiran kotor. "Nggaklah. Aku mau jemput nyokap nanti," jawab Edward membantah ucapanku. "Negative thinking terus otak kamu ini!" cibir lelaki itu melanjutkan. Aku terkekeh kecil mendengar ucapan Edward. "Ya, habisanya kamu sibuk nge-date sama cewek-cewek dari dating app mulu. Seisi sekolah ini aja yang belum tau ternyata kelakuan wakil ketua OSIS-nya sebobrok ini," balasku meledek lelaki itu. "Iya, ngeledek aja terus!" balas Edward nggak terima. "Mau aku antar pulang nggak?" tawar lelaki itu kemudian. "Ih, temben baik benar. Biasanya juga langsung main cabut aja, lebih penting acara nge-date kamu itu," sindirku sebelum menjulurkan lidah dan mengejek Edward. "Buruan! Mau nggak?" tawar Edward sekali lagi tanpa mengindahkan ulahku beberapa detik yang lalu. "Nggak, deh," tolakku. "Aku udah ada yang jemput kok," lanjutku kemudian. "Siapa? Om-om borjuis itu lagi?" tanya Edward memastikan. Pertanyaan lelaki itu aku balas dengan anggukan kepala yang menandakan arti 'iya'. Mendapati jawaban seperti itu dariku, Edward pun lantas mendengus keberatan. Entahlah kenapa lelaki itu bisa nggak suka dengan Ezra padahal mereka belum pernah bertemu sebelumnya. Ya, meskipun sebenarnya bukan nggak suka, tetapi Edward lebih sering memintaku untuk mencari pacar baru yang seumuran dengan kami, bukan malah yang sepuluh tahun lebih tua seperti Ezra. "Kenapa, sih? Dia pernah nyakitin kamu atau gimana, Ed?” Aku bertanya. “Seingatku, kalian bahkan nggak pernah ketemu loh sebelumnya," lanjutku menambahkan. Edward mengendikkan pundaknya ketika mendengar pertanyaanku. "Dengar, ya, Lun. Aku nggak ada maksud untuk merendahkan atau gimana-gimana, tapi ... pernah nggak kamu pikir kenapa orang seperti dia yang notabenenya punya gaya hidup highclass bisa suka sama kamu?” Edward balas bertanya. “Sumpah, aku nggak ada maksud apa-apa atau mau buat kamu tersinggung," jelas lelaki itu menambahkan. Aku terdiam sejenak dengan benak yang mencerna ucapan Edward tadi. Belum sempat aku membalasnya, lelaki itu sudah lebih dulu melanjutkan ucapannya. "Dari segi umur aja kalian udah beda jauh, Lun. Belum lagi status sosial kalian, 'kan?" tanya Edward. Aku mengangguk membenarkan ucapan yang baru saja dilontarkan oleh Edward. Namun, aku memilih untuk nggak memberikan alasan atau argumen untuk kalimatnya karena memang semua yang dikatakan oleh lelaki itu benar adanya. Aku bahkan baru menyadarinya kalau memang nggak ada kesepadanan antara aku dan Ezra. Kami benar-benar bagai langit dan bumi. "Aku bilang gini nggak ada maksud apa-apa kok. Udah, ah, nggak usah terlalu dipikirin. Toh, kalian juga udah jadian, 'kan," ujar Edward menenangkan sembari menepuk kecil pundakku beberapa kali. "Aku balik dulu, ya. Makasih bantuannya tadi," lanjut lelaki itu sebelum masuk ke dalam mobilnya lalu membunyikan klakson satu kali dan melajukan kendaraan beroda empat itu keluar dari area parkiran sekolah. Setelah memastikan mobil Edward sudah benar-benar nggak tampak lagi, aku pun lantas berjalan dari area parkiran sekolah menuju pintu gerbang dengan benak yang nggak berhenti memikirkan tentang ucapan lelaki itu tadi. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya aku mengkhawatirkan masalah tersebut. Namun, inilah pertama kalinya aku menganggap perbedaanku dengan Ezra ternyata adalah seserius itu. Sebelum-sebelumnya aku masih bisa menepis pemikiran itu dari benakku, tetapi kali ini rasanya sulit untuk melakukannya. Lima menit aku menunggu di depan gerbang sekolah dengan benak yang terus memikirkan ucapan Edward tadi, sebuah mobil Toyota Fortuner membunyikan klaksonnya sebanyak satu kali dan membuatku terkesiap kaget. Suara yang berasal dari mobil itu menarik lamunanku kembali pada dunia nyata. Setelah memastikan nomor plat polisi yang tertempel di depan sana sama dengan plat mobil Ezra yang sudah aku hafal di luar kepala, tanganku pun lantas membuka pintu mobil yang sudah berhenti di hadapanku saat ini. Saat aku masuk ke dalam mobil, sang pemilik—Ezra langsung menyambutku dengan acakan di puncak kepalaku dan senyum yang terpatri di bibir lelaki itu. Aku membalas senyum pria itu sebelum menutup pintu mobilnya. "Gimana sekolahnya hari ini?" tanya Ezra memulai percakapan. Pertanyaan itu selalu dilontarkan oleh pria itu setiap menjemputku dari sekolah. Aku terdiam beberapa saat. "Ya, biasalah," balasku datar dan nggak se-ekspresif biasanya karena masih belum bisa mengenyahkan ucapan Edward beberapa menit yang lalu dari benakku. "Kenapa?" tanya Ezra ketika mendapati keterdiamanku yang lumayan lama sebelum menjawab pertanyaannya. Entah ini adalah suatu berkah atau bukan ketika mendapati pasangan yang peka seperti pria di sampingku ini. "Ada yang mengganggu pikiran kamu?" tanya Ezra melanjutkan. "Nggak ada apa-apa kok," jawabku cepat. Ezra berdecak. Pria itu pasti tahu kalau aku sedang berbohong. "Ayolah, Lun. I know you are not saying the truth," ujar Ezra memperingati. "Ezra ...," panggilku. "Alasan kamu suka sama aku apa, sih?" lanjutku bertanya tanpa memberikan kesempatan bagi Ezra untuk membalas panggilanku sebelumnya. Ezra nggak langsung menjawab pertanyaanku, melainkan mengerutkan keningnya dengan sebelah alis yang terangkat. Mungkin pria itu merasa aneh juga dengan pertanyaan yang baru saja aku lontarkan. “Kenapa?” Ezra balas bertanya. “Jawab aja, Ezra ...,” pintaku kekeuh. Sementara itu, Ezra terdiam sejenak. Namun, pada akhirnya pria itu mau juga menjawab pertanyaanku yang tadi. "Okay, you might say this cliche. But, there's no reason for me to fall for you," jelas Ezra. (Terjemahan: "Oke, mungkin kamu bakalan bilang ini klise. Tapi, nggak ada alasan bagiku untuk jatuh padamu.") "Kamu pernah sadar nggak, sih? Kita ini terlalu jauh, Zra," balasku menyeletuk dengan nada serius. "Dari segi mana?" tanya Ezra yang juga sudah merubah nada suaranya menjadi serius.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN