"Ezra ...?" gumamku ketika menemukan sosok pria borjuis dengan kacamata hitam yang sedang duduk di balik kemudi mobil Mercedes-Benz berwarna hitam miliknya.
"Ayo, masuk, Laluna," titah Ezra sembari melepaskan kacamata hitam yang bertengger pada batang hidungnya.
Apa-apaan ini?! tanyaku pada diri sendiri ketika menemukan pria itu berada di hadapanku saat ini. Bukannya dia sendiri yang udah setuju dengan permintaanku? lanjutku di dalam hati.
Aku segera menggelengkan kepala untuk mengusir pemikiran yang baru saja melintas di dalam benakku dan beralih menatap pada Ezra kembali. "Eh, nggak usah," tolakku dengan tangan yang bergoyang ke kanan dan ke kiri.
"Aku masih ada urusan lagi setelah dari sini," lanjutku menjelaskan, sekaligus sebagai alasan yang memperkuat untuk menolak Ezra.
Apa, sih, yang ada di dalam otaknya? batinku jengkel.
"Ayo, buruan masuk, Lun. Sebelum mobil di belakang pada klakson," titah Ezra dengan nada tegas dan mendesak yang nggak ingin dibantah.
Mulutku baru saja terbuka, hendak membalas ucapan Ezra, tetapi kalimatku malah tertahan di ujung lidah karena mobil yang berada di belakang mobil pria itu sudah membunyikan klaksonnya dan membuat telinga siapapun yang mendengarnya merasa terganggu.
Tin!
Tin!
Tin!
Awalnya hanya satu mobil saja yang membunyikan klakson, tetapi lama-lama jumlah mobil yang membunyikan klakson itu bertambah dan membuat suasana menjadi ricuh.
“Dik, tolong cepat masuk mobilnya! Mobil di belakang sana udah pada klakson loh,” titah satpam penjaga gerbang sekolah padaku.
"Woi, kalau mau masuk ke mobil jangan lama-lama dong. Buat macet aja!" seru seorang ibu-ibu menimpali dari kaca mobilnya yang terbuka. Wanita yang berseru itu adalah penumpang di mobil belakang Ezra yang membunyikan klakson sedari tadi.
Nggak ingin kekacauan lalu lintas di depan gerbang sekolahku semakin heboh, aku pun lantas memutuskan untuk masuk ke dalam mobil Ezra. Mau nggak mau, langkah itulah yang aku ambil sebelum caci maki dari pengguna jalan menyembur keluar.
Setidaknya ini lebih baik daripada menanggung malu karena udah buat jalanan macet, batinku berujar di dalam hati.
Mendapati diriku yang masuk ke dalam mobilnya, Ezra yang duduk di balik kemudi itu pun lantas tersenyum puas sembari melajukan mobilnya dan meninggalkan area sekolahku.
“Ezra?” gumamku memanggil pria yang sedang duduk di sebelahku saat ini.
Mendengar panggilanku, Ezra pun lantas menoleh sekilas untuk menatap padaku sebagai balasan atas panggilan itu.
“Bukannya kamu udah setuju?” Untuk nggak antar jemput aku lagi? lanjutku membatin di dalam hati tanpa menyuarakannya.
“Iya, memang,” balas Ezra santai.
“Terus ... kenapa kamu masih di sini?” tanyaku bingung.
“Aku ‘kan cuma setuju nggak antar kamu ke sekolah aja kalau kamu lupa,” jelas Ezra mengingatkan. “Berarti aku boleh jemput kamu dari sekolah dan antar kamu ke tempat lain, ‘kan?” Kelanjutan ucapan pria itu sukses membuatku melongo.
Benar ‘kan apa yang aku bilang, dia adalah jenis pria manipulatif yang sebelas dua belas dengan buaya di luar sana, cibirku di dalam hati.
Mendapati diriku yang nggak membalas ucapannya, Ezra pun kembali bersuara. "Kamu mau ke mana setelah ini?" tanya Ezra dengan mata yang sudah kembali menatap ke arahku sejenak.
"Pulang ke rumah aja," pintaku. Rasanya gerah juga jika terlalu lama berbagi oksigen dengan Ezra. Ya, meskipun memang yang dikatakan pria itu ada benarnya juga, tetapi aku kira dia sudah mengerti dengan maksud dari ucapanku yang berharap nggak ada pertemuan lagi di antara kami.
Apa pria ini suka padaku, ya? batinku bertanya pada diri sendiri. Katakanlah aku memang narsis atau terlalu percaya diri, tapi kalau bukan itu alasannya, kenapa Ezra harus sibuk mencari celah untuk bertemu denganku beberapa hari terakhir ini?
Ah, mana mungkin. Lihat aja, bentar lagi dia juga pasti udah malas, bantah sisi gelap di dalam diriku. Orang kaya seperti Ezra ini mana mungkin mau menghabiskan waktu terlalu banyak dengan anak yatim piatu seperti kamu, Lun.
Aku menggelengkan kepala untuk mengusir yang tiba-tiba hinggap di dalam benakku. "Loh ... tadi bukannya bilang mau ke tempat lain dulu?" tanya Ezr mengulangi.
Sebenarnya, tempat yang akan aku kunjungi adalah toko bunga yang berada di dekat sebuah tempat pemakaman umum. Setiap bulannya, aku akan selalu mengusahakan untuk mengunjungi makan kedua orang tuaku di sana. Namun, terkadang intensitas kunjungan itu bisa lebih ataupun kurang dari itu, tergantung pada jadwalku yang sedang sibuk atau sebaliknya.
Aku memutuskan untuk pulang saja dulu ke rumah daripada harus merepotkan Ezra dengan mengantarkanku untuk membeli bunga. Lagi pula, alasan itu juga bisa aku jadikan sebagai dalih untuk segera keluar dari mobil ini dan menjauh dari pemiliknya.
"Iya, sih, tapi sekarang udah nggak jadi," jawabku membenarkan Ezra. "Pulang rumah aja," pintaku melanjutkan.
Ezra mengerutkan keningnya, mungkin karena pria itu mendengar inkonsistensi dari ucapanku. "Udah, bilang aja mau ke mana. Jangan sungkan-sungkan, pasti aku antarin sampai ke tempat kok," kata Ezra meyakinkan.
“Ayolah, Lun. Aku nggak bakalan culik kamu kalau itu yang kamu takutkan,” lanjut Ezra dengan nada yang sedikit mendesak. Namun, sebenarnya bukan itu masalah yang sebenarnya, ‘kan?
Bilang nggak, ya? batinku menimbang di dalam hati. Kamu repotin Ezra loh, Laluna. Kamu 'kan udah sering pergi sendiri biasanya, lanjut sisi terangku mengingatkan.
Hmn ... aku jadi bimbang sekarang. Apakah aku harus menerima tawaran Ezra tadi? Atau bungkam saja seperti rencana pertamaku? Ya, Tuhan, kenapa aku jadi plin-plan dan indecisive begini, sih?
Bilang aja! Mumpung orangnya sendiri yang tawarin kok, balas sisi gelap dalam diriku.
"Laluna?" tegur Ezra memanggil. Panggilan pria itu sukses menarik perhatianku kembali pada realita dan meninggalkan peperangan batinku.
"Eh ... i—iya?"
"Mau ke mana?" tanya Ezra mengulangi pertanyaan yang sama seperti sebelumnya.
"Hmn ... se—seriusan ini kamu mau antarin aku?" tanyaku memastikan dengan nada sungkan.
"Iya. Ke mana aja," jawab Ezra meyakinkan.
"Aku mau ke toko bunga yang di jalan Singosari," kataku setelah memutuskan untuk memberitahu tujuanku pada Ezra. "Tau nggak?" imbuhku bertanya.
"Singosari yang ada tempat pemakaman umum itu?" Ezra balik bertanya. Pertanyaan pria itu aku jawab dengan anggukan kepala.
"Iya, benar yang itu," jawabku membenarkan.
"Kamu mau ke makam orang tua kamu, ya?" Aku terkesiap kecil mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Ezra.
Bagaimana pria itu bisa tau? batinku bertanya pada diri sendiri. Namun, sedetik kemudian aku baru mengingat bahwa pria itu memiliki intel andalannya. Tentu saja pria borjuis dan kaya seperti Ezra ini bisa dengan mudahnya mendapatkan informasi yang mereka inginkan hanya dengan menjentikkan jari dan beberapa gepok uang, bukan? Bagi orang-orang seperti mereka, hal apa yang nggak mungkin bisa mereka dapatkan? Semuanya bisa diatasi jika pundi-pundi uangmu sudah nggak habis tujuh turunan, ‘kan?
"Sorry if my question makes you feel sad," kata Ezra. Aku bahkan belum berkata apapun, tetapi Ezra sudah lebih dulu meminta maaf padahal pria itu nggak melakukan kesalahan apapun. (Terjemahan: “Maaf kalau pertanyaaku buat kamu merasa sedih.”)
"Your question didn't make me feel so, but you dig up my privacy and it’s such a violation," balasku jujur. (Terjemehan: “Pertanyaan kamu nggak buat aku merasa seperti itu, tapi kamu mengorek tentang privasi aku dan itu adalah sebuah pelanggaran.”)
"Why didn't you tell me priviously?" balas Ezra bertanya. (Terjemahan: “Kenapa kamu nggak kasih tau aku sebelumnya?”)
“I thought you have the awareness of your own,” sindirku. (Terjemahan: “Aku pikir kamu punya kesadaran sendiri.”)
"Besides, I—I just feel ... uncomfortable to speak up,” lanjutku menambahkan. (Terjemahan: “Lagi pula, a—aku merasa ... nggak nyaman untuk berterus terang.”)
Ezra nggak lagi membalas ucapanku. Aku pikir, pria itu akan marah ketika aku mengatakan yang sejujurnya bahwa aku merasa nggak nyaman karena aksinya yang mengorek tentang kehidupanku. Namun, ternyata pemikiranku salah besar. Pria itu malah tersenyum dan terkekeh kecil setelahnya.
Pria ini masih waras, 'kan, ya? batinku menerka sembari meneliti ekspresi wajah Ezra.
"Okay, I'm sorry for what i have done. Aku janji nggak akan mengulanginya lagi," janji Ezra. "Tapi, kamu juga harus janji," titah pria itu melanjutkan.
"Aku?" Jariku menunjuk pada diri sendiri.
"Iya, kamu Laluna!" kata Ezra sambil menganggukkan kepalanya. "Kamu harus jawab dengan sejujur-jujurnya kalau aku bertanya. Kalau kamu mau cerita apapun ke aku, aku siap untuk mendengar."
"Memangnya itu ... harus?" gumamku bertanya.
Kenapa malah jadi begini, sih? rutukku di dalam hati.
"Harus. Kalau kamu nggak mau aku cari tau informasi tentang kamu lagi," putus Ezra secara sepihak. "Gimana? Setuju?" tanya pria itu melanjutkan.
Sepertinya menyetujui tawaran Ezra nggak ada salahnya. Berbagai rencana sudah terbesit di dalam benakku setelah menyetujui tawaran pria itu.
"Oke. Deal," putusku pada akhirnya. Ezra tampak senang dengan keputusanku, terbukti dari senyum cerah yang terbit di bibir pria itu.
*
Ezra menepati ucapannya dengan mengantarkanku ke toko bunga langgananku. Seorang wanita setengah baya yang biasa aku panggil Bu Mawar tersenyum padaku dan Ezra saat kami memasuki toko bunganya yang lumayan luas.
Setiap aku datang membeli bunga di toko ini, aku selalu menyempatkan diri untuk mengobrol kecil dengan Bu Mawar. Dari ceritanya, aku baru tahu kalau wanita itu sudah kehilangan sang suami karena mengalami kecelakaan pesawat beberapa tahun silam. Setelahnya, Bu Mawar pun memutuskan untuk resign dari pekerjaannya di salah satu cabang perusahaan Jepang dan memilih untuk membuka toko bunga ini.
Seingatku dari cerita Bu Mawar, beliau juga memiliki seorang anak laki-laki. Namun, aku nggak tahu pastinya anak beliau berusia berapa dan terlebih lagi aku pernah bertemu dengan anaknya itu.
"Pagi, Laluna!" seru Bu Mawar menyapaku dari balik meja kasirnya. Wanita paruh baya itu tampaknya baru saja memasangkan florist apron pada tubuhnya dan mengikat tali apron tersebut di belakang pinggangnya.
"Pagi juga, Bu," balasku menyapa Bu Mawar.
"Kayak biasa, 'kan?" tanya Bu Mawar memastikan. Kata 'biasa' yang dimaksud oleh beliau adalah jenis bunga yang biasa beliau rangkaikan untukku. Aku menganggukkan kepala mengiyakan ucapan Bu Mawar. Setelah itu, Bu Mawar pun meminta asisten penjaga tokonya untuk mengambil jenis bunga yang biasa aku beli.
"Pagi, Mas. Mau pesan apa, ya?" tanya Bu Mawar beralih menatap pada seorang pria yang berdiri di belakangku.
Mendengar pertanyaan Bu Mawar, kepalaku pun lantas berbalik ke belakang untuk menatap Ezra yang sedang berdiri tepat di belakangku. Namun, belum sempat aku membuka mulut untuk menjelaskan apa maksud dan tujuan pria itu ke sini, Ezra sudah lebih dulu menjawab pertamyaan yang dilontarkan oleh Bu Mawar.
"Saya datang sama Laluna, Bu," jawab Ezra menjelaskan.
"Oh, sama Nak Luna, toh ...," celutuk Bu Mawar mengerti. Kini Bu Mawar mengalihkan atensinya kembali padaku karena hanya kami—aku dan Ezra yang menjadi pengunjung di toko ini.
"Siapanya kamu, Lun?" tanya Bu Mawar dengan tatapan selidik penuh canda yang diiringi dengan senyum di bibirnya. “Ganteng pisan,” lanjut beliau menyelutuk.
Aku mengabaikan tatapan selidik yang dilayangkan oleh Bu Mawar dan berpura-pura nggak mengetahuinya.
"Te—teman aja, Bu. Iya, ini teman aku," jawabku jujur.
Kalau teman ... kenapa harus gugup, Laluna? batinku mengejek di dalam hati.
Iya, benar juga. Kenapa aku harus tergagap waktu ditanya oleh Bu Mawar, ya? lanjutku bertanya pada diri sendiri.
"Hayo ... teman apa teman?" seloroh Bu Mawar dengan nada humornya.
Ya, ampun, bisa-bisanya Bu Mawar bercanda di saat batang hidung orang yang sedang dibicarakannya ada di depan mata, batinku meirngis di dalam hati.
Untungnya, asisten penjaga toko ini datang menghampiri kami dengan beberapa tangkai bunga di tangannya sehingga aku nggak perlu menjawab pertanyaan aneh yang baru saja dilontarkan oleh Bu Mawar.
Asisten penjaga toko Bu Mawar menyodorkan 3 tangkai Bunga Lili Putih, 2 tangkai Bunga Anyelir, dan 2 tangkai Bunga Krisan. Bunga itu adalah jenis-jenis bunga yang dipilihkan oleh Bu Mawar sejak aku pertama kali menjadi pelanggan di toko bunganya.
3 jenis bunga itu masing-masing memiliki makna yang mendalam, yaitu empati, ketulusan, dan kehormatan. Sampai saat ini, aku belum pernah membeli bunga dari toko lain ketika mengunjungi makam kedua orang tuaku dan jenis bunganya juga nggak pernah berganti sampai saat ini.
Asisten penjaga toko Bu Mawar memotong tangkai bunga-bunga itu dan membungkusnya menjadi sebuah buket yang cantik sementara aku dan Bu Mawar mengobrol kecil. Ezra? Pria itu hanya berdiri di belakangku dan menjadi pendengar yang baik.
Setelah buket bunga itu selesai dirangkai, Bu Mawar pun menyebutkan nominal yang harus aku bayar. Namun, belum sempat aku mengeluarkan selembar uang seratus ribu dari saku seragamku, Ezra sudah lebih dulu maju dua langkah dan menyodorkan kartu debitnya pada Bu Mawar.
Aku baru saja hendak melayangkan protes, tetapi Ezra sudah menatapku dengan dua alis terangkat yang sarat akan penolakan. Tatapan itu persis seperti tatapan yang dia berikan saat aku menolak uang yang dikembalikannya setelah kami sarapan bubur hari itu.
"Saya aja yang bayar, Bu," ujar Ezra. Bu Mawar yang awalnya menatapku dan Ezra bergantian pun kini menerima sodoran kartu debit dari tangan pria itu.
"Eh, jangan, jangan!" ujarku pada Bu Mawar. Namun, sepertinya aku sudah telat karena Bu Mawar sudah menancapkan kartu debit Ezra pada mesin EDC dan pria itu juga sudah menekan angka pin kartunya di sana.
"Tapi ini udah keluar struknya, Lun," balas Bu Mawar sembari mengoyak kertas struk yang keluar dari mesin EDC tersebut.
Pada akhirnya, aku hanya bisa mengangguk pasrah. Sementara itu, Ezra memberikan seulas senyum penuh kemenangan padaku.
Setelah melakukan p********n, asisten penjaga toko itu pun menyerahkan buket bunga yang sudah dirangkainya ke tanganku.
"Kapan-kapan kalau ada waktu, mampir ke sini lagi, ya, Lun. Kita ngobrol-ngobrol lagi," pesan Bu Mawar sebelum aku benar-benar keluar dari toko bunga beliau.
"Iya, Bu. Nanti kalau mau ke sini lagi, aku kabari, ya," balasku sebelum menutup pintu toko bunga tersebut dan menghilang dari pandangan Bu Mawar bersama Ezra.
*
Setelah kami masuk ke dalam mobil Ezra, aku pun lantas memberondongs pria itu dengan kalimatku. "Aku ganti uang kamu tadi, ya," putusku langsung.
"Kenapa?" tanya Ezra bingung. Pria itu bahkan belum menyalakan mesin mobilnya, tetapi aku sudah sewot seperti orang yang kebakaran jenggot. Meskipun begitu, Ezra tetap tampak santai dan tenang ketika menghadapiku.
"Aku nggak keberatan kok untuk bayarin bunganya," tambah Ezra melanjutkan tanpa memberikanku kesempatan untuk membalas ucapannya sebelum ini.
Apa memang orang kaya selalu melihat sebuah masalah itu dengan tenang dan santai seperti sedang di pantai begini, ya? batinku menebak di dalam hati.
"Tapi itu 'kan bunga untuk orang tua aku, Ezra," balasku dengan nada gemas karena kesantaian pria itu.
"Kenapa harus seheboh itu, sih, Lun?" tanya Ezra yang sudah melajukan mobilnya untuk memasuki area pemakaman.
Nah 'kan, lihat saja kalimat dan ekspresinya yang kelewat santai itu. Benar-benar tampak menyebalkan di mataku.
"Anggap aja ini hadiah untuk orang tua kamu yang udah di surga," ujar Ezra setelah keterdiaman kami selama beberapa menit. "Lagi pula, aku juga udah nggak sabar untuk kenalan sama mereka," lanjut pria itu yang sukses membuatku melongo.