Mengingat Peristiwa

1059 Kata
Aku melengos menghindari tatapan Seno, mengalihkan pandangan fokus menatap ke layar lebar yang mulai menunjukkan sesi awal sebuah film. Setelah itu semua penonton yang awaknya terlihat masih mengobrol mendadak sepi dan semua mata tertuju pada layar lebar. Di lima belas menit pertama film mulai kurasakan rasa takut karena adegan demi adegan ya yang terasa lebih horor dibanding sebelumnya. Terdengar berat dari penonton ada yang berteriak dan saat aku melirik ke penonton lain adalah ada yang rapat memejamkan mata. Pemandangan itu menjadi hiburan tersendiri untukku di tengah rasa ketakutan. "Key, kok malah ketawa sih?" tanya Seno melirikku. "film lagi serem gino kamu masih bisa ketawa pula." "Aku ketawa lihatin ekspresi orang-orang Sen, lucu banget mereka ya." "Jadi dari tadi kamu gak nonton film tapi nontonin ekskresi wajah penontonnya?" bisik Seno. Aku mengangguk. Dan efeknya sebuah toyoran pelan mendarat di keningku. "Ck, kamu noyor aku sembarangan pula. Sini pokoknya harus kubalas." Dan sialnya Seno malah menghindar hingga beberapa kali saat aku mencoba noyor kepalanya ternyata tak juga berhasil. Kemudahan aku memutuskan diam dan fokus melihat ke arah layar lebar di depan. Semakin ke sini aku semakin ketakutan menyaksikan adegan penari yang terkesan mistis itu apalagi saat salah satu mahasiswa kerasukan. Saat yang lain menjerit keras aku hanya bisa memeluk diri sendiri dengan keringat yang bercucuran di dahi. "Keluar aja yuk kalau kamu udah gak kuat nonton," ajak Seno meraih lenganku. "Kuat kok," elakku. "Yakin?" Lelaki itu menatapku lagi. "Iya, its oke aku gak papa kok. Toh ini hanya sekedar tontonan bukan kenyataan." Namun baru saja mengatakan itu bulu kudukku terasa benar-benar meremang dan saat melihat hantu itu muncul di layar kaca, aku malah menjerit dan reflek memeluk Seno tanpa sadar. Beberapa detik yang terasa canggung saat aku menyadari tangan Seno menepuk-nepuk pundakku dan aku tertegun. Segera melepaskan diri dan menjauh dari Seno. "Hei ... Kenapa Key?" Seno bertanya tanpa canggung. "Aku malu, maaf ya g tadi itu aku reflek dan tak sengaja." "Iya oke, gak papa kok. Lagian mendung gak sengaja Melik aku daripada meluk pacar orang." "Sialan," timpalku sambil memutar bola mata. Seno tertawa renyah. "Yuk ah keluar dari sini," ajak Seno lagi untuk yang kedua kali. Akhirnya aku menurut dan melangkah menuruni tangga dengan karpet merah itu, mengekori langkah Demi keluar. Meninggalkan ruangan yang masih sedang berjalan film horor yang benar-benar menakutkan. Sampai di luar gedung bioskop itu, Seno langsung mengajakku makan di sebuah food court. Aku tak bisa menolak karena memang perutku terasa lapar. Tadi pagi hanya sarapan sedikit. "Mau makan apa?" tanya Seno saat aku baru saja duduk di kursi plastik itu. "Chicken wings dan jus alpukat aja kalo ada." "Dimsum juga ya biar kamu kenyang," ucap Seno. Aku hanya mengangguk pasrah sambil menunggu Seno menuliskan pesanannya dan diserahkan pada seorang pelayan. Seno kembali duduk di hadapanku. Wajahnya berseri-seri sambil memperhatikanku. "Ngapain lihatin aku kek gitu?" "Lucu aja Key, ya ampun kamu sok kuat tadi pas nonton tapi tahunya ketakutan setengah mati, hahaha." Seno tertawa lebar. Menertawakanku tentunya. "Puas ketawanya? Terus aja ngetawain aku," cebikku kesal. "Lagian kamu sok kuat di depanku, dari dulu juga aku tahu kalo kalo kamu itu penakut. Coba kau tanya kamu salah makan apa sih mendadak nonton film horor?" "Gak ada tuh aku salah makan. Mutusin nonton film horor ya karena mau aja setelah nonton thrillernya yang menurutku cukup menarik." "Tapi setahu aku dari dulu kamu selalu nonton genre komedi." "Ya itu kan dulu, emangnya gak boleh ngerasain tontonan yang beda gitu? Terserah aku dong harusnya, ngapain kamu yang ngatur-ngatur sih?" "Enggak, Key, aku gak ngatur. Kurang baik apa sih aku ngajakin kamu ke luar itu artinya menyelamatkanmu dari rasa takut juga menyelamatkanmu dari rasa lapar." "Tahu aja kalau aku lagi lapar," balasku. "Itu ada tulisannya di jidat kamu. LAPAR." Seno tertawa lagi. Bahkan kalimatnya yang tadi sama sekali gak lucu buatku. Makanan yang tandu sudah dipesan oleh Seno lini diantarkan oleh pelayan ke meja bulat di hadapan kami. Aku melirik ke arah Seno dan ternyata dia juga memesan menu yang sama chicken wings beserta seporsi nasi hangat. Dua mangkuk dimsum yang masih mengepulkan uap panas itu tercium aromanya begitu menggoda. "Ini dimsum apa sih? Keknya enak banget dari aromanya," gumamku. "Dimsum udang sama fillet ikan. Ayok dimakan." Seno sudah mulai melahap nasi hangat dan chicken wings. Ternyata dia juga terlihat lapar sekali. "Kamu nggak makan udah berapa hari, Sen?" tanyaku sambil tersenyum memperhatikannya. "Enak aja berapa hari. Aku hanya lupa sarapan tadi pagi," sahutnya. "Aku kira hanya aku yang pelupa tapi ternyata kamu juga." "Itu artinya kita jodoh, Key." Entah Seno menjawab serius atau tidak tapi kalimatnya barusan membuatku tersenyum. Bukan senyum untuk sebuah pengharapan tapi senyuman karena kau ingat dulu bersama Seno aku pernah menjalin keakraban lebih dekat dari ini, itu mengapa aku dan dia tak lagi merasa canggung. "Jodoh apaan, kalo kita jodoh mana mungkin aku nikahnya sama orang lain." "Ya kan siapa tahu kamu udahan sama Ayas lalu kemudian nikahnya sama aku." "Dih ngarep banget," ceketukku. "Ya nggak ngarep juga sih. Aku maunya kamu itu bahagia meski dengan siapa pun pendampingnya. Namun saat aku tahu Ayas tak memperlakukanmu dengan baik, ya wajar dong kalau aku enggak rela? Sampai kapan pun aku gak rela kamu disakiti dan bodohnya kamu malah terus memilih bertahan. Kadang aku cemburu Key, melihat betaoa tabahnya kamu dulu menghadapi Ayas," tutur Seno panjang lebar. "Benar kah? Apa aku terus bertahan saat menghadapi Ayas yang kasar itu?" "Ya, entah cinta macam apa yang kamu simpan untuk Ayas. Aku bahkan cemburu." "Sebentar," ucapku. Mencoba mengingat dan aku tetap tak ingat kenapa aku bisa sabar menghadapi Ayas. "Kamu tak ingat?" "Enggak, Sen. Kalo aku ingat manaungkin aku bertanya." "Apa aku dulu mencintai Ayas?" tanyaku. "Ya, kamu sangat mencintai Ayas. Kamu begitu mudah mencintainya dan seolah melupakan perasaanmu padaku begitu saja. Kadang aku berpikir apa sih kelebihan Ayas yang membuat kamu sampai rela Hinga segitu ya mengorbankan perasaanmu terus menerus." "Lagi, Sen. Ayo ceritakan lagi padaku." "Cukup Key, itu hanya membuatku terluka," putus Seno kemudian. Kemudian aku mulai memejamkan mata dan bersikeras mengingat peristiwa dan potongan kisah di masa lalu. Yang terbayang saat ini adalah Ayas menamparku dan setelah itu dia pergi. Ke arah bilik lain dan aku mengikutinya diam-diam. Di sana Ayas memukuli wajahnya sendiri dan menangis. Bayangan itu membuat hatiku terasa dicubit dengan keras. Ya, aku mengingatnya. Itu bukan hanya sekedar bayangan tapi aku sangat yakin hal itu adalah peristiwa masa lalu yang pernah kualami bersama Ayas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN