"kalau pun aku balas dendam, bukan kah hal itu harusnya setimpal?" tanyaku sambil memelototinya.
"Terserah kau saja, kalau balas dendam membuatmu senang dan lega lakukan lah. Balas semua apa yang pernah aku lakukan di masa lalu. Pukul aku yang keras," ucap Ayas dengan tatapan pasrah.
"Oh ya tentu saja demikian."
"Mau memukulku sekarang? Silahkan tapi kamu juga harus makan."
Kutatap Ayas dengan jengah. Kenapa pula dia terus membujuk untuk makan? Masih benar-benar peduli kah iya? Atau memang hal ini hanya dilakukan hanya untuk formalitasnya. Ah kalau di depan Mamah wajar Ayas ingin terlihat tampil baik dengan mengedepankan apa-apa yang menurutnya bagus, tapi di depanku semua itu percuma.
"Makan sekarang atau mau aku siapin," ucapnya memberi pilihan.
"Kenapa masih menyuruhku makan? Apakah penting bagimu kini aku makan atau tidak?"
"Jelas penting dong," jawabnya cepat. "Kamu Haris lekas sehat seperti sedia kala."
"Apa kau tidak melihat kalau aku sudah sehat dan baik-baik saja?"
"Sudah lah Khayra, aku capek dan tak ingin berdebat. Aku janji kalau kamu makan dan mau minum obat malam ini aku tak akan menampakkan batang hidungku apa lagi mengganggumu."
"Ya baguslah kalau seperti itu."
Ayas menggeleng, ia menatapku sekilas lalu dengan cepat ia mengantarkan kembali piring berisi makan itu padaku.
"Cepat makan."
Tanpa banyak kata lagi aku segera meraih piring itu dan mendekatkannya ke arahku. Mulai makan dan mengunyah nasi beserta lauknya.
Lima menit kami makan di meja dengan saling diam. Ayas bahkan sudah selesai makan ketika nasi di piringku masih tersisa seperempatnya. Lelaki itu kemudian beranjak dan melangkah pergi menuju ke ruangan yang lain, entah mau apa.
Namun ternyata Ayas kembali lagi dengan bungkusan obat di tangannya.
"Minum lah," perintahnya.
Aku segera meraih segelas air putih dan meminumnya hingga tersisa seperempatnya. Meraih butiran obat itu dengan rasa malas lalu setelahnya minum juga dengan terpaksa. Kalau tidak minum pastilah Ayas akan terus memaksa, dari dulu aku paling benci dipaksa.
"Aku sudah minum makan dan juga minum obat, jadi kuharap kau jangan menunjukkan diri di depanku," ketusku.
"Baiklah, malam ini silahkan istirahat dan aku tak akan mengganggumu Nona."
"Kenapa hanya malam ini?"
"Karena besok tugasku memastikan lagi agar kamu minum obat."
"Sialan," umpatku yang tak didengar oleh Ayas karena lelaki itu telah beranjak dan melangkah pergi dari hadapan. Entah ke mana, mungkin juga dia pergi ke kamar tamu tempat di mana selama ini dia tidur.
Aku kembali ke kamar dengan hati gondok. Memutuskan untuk menyetel musik dengan lagu slow rock dan kuputar volumenya hingga full. Tak peduli kalau ini malam hari dan akan membuat tetangga rumah kebisingan.
Namun saat baru saja menyandarkan tubuh di sandaran bed, terdengar pintu kamarku diketuk dengan ritme yang cepat dan berulang kali. Aku membukanya dengan malas dan Ayas menatapku tajam. Sebelum dia berkata maka aku harus mendahuluinya.
"Kau bahkan telah ingkar janji karena muncul di hadapanku. Jadi sekarang siapa yang salah?"
"Kamu," ucap Ayas cepat.
"Bisa-bisanya kau menuduhku."
"Kau pikir saja, tengah malam begini kau setel musik dengan suara yang full dan memekakkan telinga. Mau dikunjungi warga satu komplek?"
"Biarin."
Ayas menerobos masuk dan dia mematikan volumenya.
"Jangan stel lagi atau aku akan tidur di sini," ucapnya.
"Dasar tukang ingkar janji."
Ayas acuh tak acuh. Dia melangkah pergi dari kamarku. Syukurlah.
Malam ini nyatanya aku tak bisa tidur. Kuputuskan meraih ponsel dan mulai menyelusuri dunia Maya. Dunia yang di mana aku pernah tenggelam dan begitu happy di dalamnya, itu dulu. Sekarang semua terasa hambar karena aku tak aktif lagi menulis. Ya, dulu aku hobi menulis dan sekarang ingin sekali mengulang kegiatan itu.
***
Pagi ini Ayas menggedor pintu kamarku lagi. Dai mengajak sarapan bareng dan tentu aku menolaknya.
Padahal aku bukan anak kecil yang Haris dipaksa, tanpa disuruh pun saat aku lapar pasti lah makan. Hanya saja Ayas yang sok peduli itu benar-benar norak dengan cara memaksa.
"Ayo makan Khayra," ucapnya lagi saat aku belum menyuap sesendok pun nasi ke mulut."
"Bawel."
"Itu lebih baik daripada kamu tidak makan."
"Diam!"
"Oke, aku akan dima kalau kamu makan."
Kuputuskan untuk menjauhkan piring berisi nasi goreng itu, Ayas mendelik dengan tatapan tak terima. Lalu saat aku mengambil dua lapis roti dengan selai coklat dia akhirnya kembali bersikap biasa.
Aku memutuskan makan dengan cepat. Namun ternyata kalau cepat oleh Ayas, dia langsung pergi tanpa berkata apa pun lagi. Aku tahu Ayas pasti buru-buru karena sejak tadi ia terus menerus melirik arloji. Semoga saja sampai dibtemoat ketajnya dia kesiangan. Doa istri biasanya manjur. Ah … aku merasa ada yang teremas di hati kalau ingat statusku sebagai isterinya.
Aku meraih ponsel dan di kanal yutub sedang trending film yang baru dirilis. Ternyata cukup booming dan membuatku tertarik untuk menontonnya. Ah ya, baiknya daripada seharian kuhabiskan di rumah dengan melamun maka siang ini kuputuskan untuk pergi nonton ke bioskop. Aku segera mandi dan memilih tunik rajut selutut dipadu jeans panjang. Mengenakan tas kecil hitam dan mencepol rambut.
Aku sempatkan diri untuk bilang ke Bi Ijah bahwa aku akan pulang agak sorean.
"Memangnyaau ke mana, Neng Key?" tanya Bi Ijah dengan raut wajah khawatir.
"Cuma nonton kok Bi."
"Nonton mah bisa di rumah Neng," ucap Bi Ijah lagi.
"Di rumah gak bisa nonton film terbaru Bi, adanya baru di bioskop," jelasku.
"Berangkat sama siapa?"
"Sendiri, Bi. Tenang aja gak bakal nyasar kok."
"Yaudah hati-hati ya Neng, setelah nonton jangan kemana-mana lagi cepet pulang."
"Iya, Bi." Aku segera keluar dengan hati riang.
Taksi onlen yang tadi sudah kupesan sudah terparkir di depan gerbang rumah. Aku segera naik, tak berapa lama sudah sampai di tempat tujuan. Setelah membeli karcis aku menunggu sekitar dua puluh menit sebelum film dimulai. Kuputuskan untuk membeli pop corn dan juga segelas mocacino hangat di cup.
Menyusuri lorong gedung untuk kemudian masuk ke ruangan dengan banyak kursi yang berjajar itu. Aku sengaja memilih kursi paling belakang di bagian pojok kanan, karena di sana kurasa lebih nyaman. Hanya beberapa menit saja beberapa kursi sudah ditempati pengunjung. Saat film akan dimulai seseorang duduk di sampingku, tercium aroma citrus dan amber yang lembut. Aku seperti mengenali aroma ini, saat melirik dan lelaki itu pun menatap ke arahku.
"Keyra?" ucapnya. "Astaga kukira kau siapa, kebetulan banget ketemu di sini."
"Ya." Aku menjawab singkat dengan senyum tipis. Kenapa bisa kebetulan juga ketemu Seno di satu ruangan ini.
"Kalau aku tahu kamu mau nonton hari ini, pasti aku jemput kamu ke rumah."
"Nggak usah, aku bisa berangkat sendiri kok."
Seno manggut-manggut.
"Kamu yakin nonton film horor ini, Key? Bukannya kamu penakut ya?"
"Kayaknya sih ini gak seberapa horor deh, kan filmnya juga tentang mahasiswa yang lagi KKN."
"Emang kamu gak liat apa thriller nya?"
"Udah lihat kok."
"Terus gak serem gitu?"
"Serem dikit lah. Kan kalau serem banget bisa tutup mata."
"Pelik aku juga boleh kok." Seno tertawa kecil. Aku meninju bagian perutnya pelan.
"Iya iya maaf, aku bercanda kok. Lagian kamu dari tadi serius banget bawaaanya. Kalo ontin tuh mendingan pilih genre yang happy aja Napa, ini malah pilih film horor."
"Ya terserah aku ajalah, kan yang mau nonton aku."
"Aku iya kali," ucap Seno.
Aku tak menyahut lagi dan memilih makan popcorn.
"Bagi dong," ucap Seno meraih popcorn di tanganku tanpa canggung dan ia mulai memakannya.
"Beli lah sana."
"Males ah, filmnya udah mau mulai." Seno berkata sambil ngunyah popcorn.
Aku diam dan mulai fokus ke arah layar lebar itu saat lampu ruangan ini dimatikan.
"Aku minta kopinya juga Ding, Key, dingin banget sumpah." Seno meraih cup kopi milikku. Dan ia meneguknya. Aku melotot.
"Hehe nanti aku ganti deh kopinya. Mau pinjem jaketku nggak?" Seno menawarkan karena ia melihat aku hanya memakai kaos lengan pendek.
"Nggak usah," tolakku.
"Nanti kedinginan lho. AC nya full di sini."
"Nanti kalo aku kedinginan baru deh pinjem."
"Tapi kalau mau peluk juga boleh," uacp Seno menggodaku lagi. Aku tahu dia tidak serius tapi tingkat kejengkelanku naik beberapa derajat kali ini. Jadi kuputuskan menoyor kepalanya dengan keras hingga Seno mengaduh dan ia tak berani menggodaku lagi.
"Galaknya gak ilang-ilang ternyata dari dulu," gumam Seno.
"Diam!" pungkasku sambil melotot.
"Kayaknya lagi dapet nih cewek, sensinya gak ketulungan," gumam Seno lagi.
Ya ampun kok dia bisa tau sih.