Sage green.

1343 Kata
Setelah itu tidak ada obrolan lagi yang kuteruskan bersama Seno. Kami sama-sama makan dengan diam, selesai makan aku memutuskan untuk pulang saja. "Aku antar," ucap Seno setelah ia membayar makanan kami di kasir. "Nggak usah, Seno. Aku bisa sendiri." "Tapi aku tidak akan membiarkanmu sendiri." "Lebay juga kamu ya," timpalku. "Aku tuh khawatir sama kamu Key, bukan lebay." "Iya, yaudah pulang yuk." Kami bersisian berjalan di koridor mall melewati banyak pakaian yang berjajar di tiap toko. "Sebentar," ucap Seno menghentikan langkahku. "Ada apa?" "Bisa pilihkan aku kaos? Aku lagi suka sama baju 'the best' dan menurutmu aku lebih cocok pake warna apa, Key?" tanya Seno, ia mulai memilih barisan kaos yang berjajar panjang itu. Aku memperhatikan Seno sekilas, warna kulit agak sawo matang menurutku lebih cocok pakai warna yang sedikit strong atau gelap sekalian. "Hmmm warna Abu-abu juga bagus, Sen," ucapku sambil meraih kaos abu-abu muda untuknya. "Yang ini dicoba, pasti keren." Aku berkata lagi sambil menyodorkan baju itu padanya. Seno meraihnya dan dia tersenyum menatapku. "Aku coba dulu ya." Lelaki itu akhirnya pergi ke ruang ganti. Sedangkan aku mulai menyelusuri jajaran baju cewek, beberapa tunik terpajang dengan warna-warna pastel. Aku ingin sekali membelinya namun saat memeriksa dompet, sialnya uangku hanya cukup untuk ongkos pulang. ATM ku juga lupa di bawa. 'Ah sialan' umpatku dalam hati. "Key," panggilan Seno membuatku menoleh. Ia merentangkan tangannya dan memutar badan di hadapanku. "Gimana?" Seno bertanya padaku. "Bagus, udah yang itu aja." Aku mengacungkan jempol ke arahnya. "Oke," sahutnya. Kemudian Seno kembali ke ruang ganti lagi. Aku masih memegang tunik berwarna sage green itu, bahannya lembut dan aku suka. "Kalo kamu mau, ambil aja Key," ucap Seno mengagetkanku. Dia sudah ada di belakangku saat aku menoleh. "Oh enggak kok," tolakku karena merasa tak enak hati. "Ambil aja, sekalian aku yang bayarin." "Hmmm tapi," gumamku ragu. "Nggak usah kayaknya." "Yang ini kan?" Seno mengambil tunik panjang berbahan rayon yang tadi kupegang. "Nggak usah, Sen." Tanpa menggubris ucapanku, Seno membawa kaos abu-abu juga tunik berwarna sage itu ke arah kasir. Tak berapa lama ia menyerahkan paper bag itu padaku. "Jangan bilang-bilang Ayas, ntar dia ngamuk," ucap Seno. Tanpa canggung ia meraih tanganku dan menggandengnya. Kami berjalan menuruni eskalator hingga ke lantai bawah. Detik itu aku merasakan seperti mengulang kembali masa-masa pacaran bersama Seno. Bedanya kini aku bukan pacarnya lagi melainkan hanya seorang mantan. Mungkin mantan yang masih disayang. Ya Tuhan berdosakah aku? Seandainya Seno tahu, apakah dia akan marah besar melihatmu jalan seperti ini dengan Seno? Sampai di parkiran, Seno segera memberikan helmnya untukku. "Aku sengaja pake motor biar saat macet nanti kita bisa cari jalan tikus," ucap Seno. Ia membantuku memakaikan helm. "Jangan ngebut-ngebut bawanya," timpalku memperingatkan. "Dulu kan kamu suka dibawa ngebut, Key. Lupa?" Seno menoyor keningku pelan. Ia segera naik jok motor dan menyalakan mesinnya. "Ya, bagian itu mungkin aku masih tak ingat, Sen. Tapi jujur aku ngeri kalau naik motor ngebut." "Tenang aja, Key, ada aku di sini. Gak bakalan jatuh asalkan pegangan." "Tuh kan, kamu pasti cari kesempatan." Aku meninju bahunya pelan. Seno malah tergelak. "Canda Key, karena memang tanpa diminta pegangan pun kamu biasanya peluk aku duluan saat dibonceng." "Mungkin itu dulu, Seno." "Ya itu dulu, saat kita masih pacaran." "Sekarang kan beda, aku istrinya orang." "Iya, iya aku tahu. Istrinya orang juga mesti diantarkan pulang toh? Suamimu juga kok bisa-bisanya biarin kamu nonton sendirian. Gimana kalau kamu diculik coba?" tanya Seno, ia mulai melajukan motornya. "Siapa juga yang mau nyulik aku? Ngaco kamu, Sen." "Aku misalnya," ujar Seno. "Kamu nggak sejahat itu, Sen. Astaga perlu aku tinju lagi?" ancamku tak serius. Seno kembali tertawa, di atas motor itu aku dan Seno kembali bercakap banyak hal. Tentang masa kuliah kami dan masa-masa kami berjuang untuk menikah. Aku ingat bahkan Seno Haris bersusah payah saat almarhum Ayah melarangku jalan dengannya. "Kamu ingat gak waktu kita mengendap-endap pulang dan masuk kamar lewat jendela setelah nonton konser? Malam itu bertepatan dengan hari ulang tahunku, Key," ucap Seno. "Oh ya, aku ingat. Kamu menggendongku naik ke jendela dan sialnya di kamarku malah ada Ayah." Seno kembali tertawa, kali ini suaranya lebih keras. Di antar bising suara kendaraan dan angin bercampur suaraku dan suara Seno yan terus saja bercakap. Sejenak kami tak peduli dengan apa pun. "Betul Key, kamu ngucapin selamat ulang tahun dan mencium keningku sekilas tapi ternyata Ayahmu melihatnya dan menjewer telingamu. Aku diusir dan dimaki-maki. Astaga," ujar Seno mengingat masa lalu. Kini giliran aku yang tertawa. Tak terasa kami sudah sampai di depan rumah. Aku melirik ke halaman ternyata sudah ada mobil Ayas terparkir. 'Ini kan masih jam 13.00 kenapa Ayas sudah pulang?' gumamku dalam hati. "Thanks ya, Sen. Sory aku banyak ngerepotin." Aku segera turun dari boncengan motor Seno. "Gak ada, aku sama sekali gak merasa direpotkan. Malah seneng." Seno menatap wajahku lalu mengedipkan sebelah matanya dengan genit. Astaga, itu kebiasaannya dari dulu. "Sudah sana pulang," usirku. "Yaelah malah diusir, tapi kalo kamu mau nonton lagi boleh lah bareng. Hubungi aku biar kujemput." "Nggak bisa gitu konsepnya Seno. Ayas akan marah besar." "Ya bagus dong, itu yang aku tunggu saat dia marah maka lebih mudah bagimu untuk mengambilmu darinya." "Sudah sudah, aku gak mau ada keributan." "Iya oke aku ngerti." "Yaudah sana pulang," ucapku lagi. "See you, Keyra." Seno akhirnya melajukan motornya dan pergi. Dengan paper bag di tangan aku Mai masuk ke rumah, pintu tidak kunci dan aku tidak perlu berteriak memanggil Bi Ijah. Rumahan lengang dan aku tetapi melangkah melewati ruang tengah. Sedikit terkejut saat mendengar sebuah deheman. Aku melirik ke arah kursi ternyata Ayas duduk di sana. "Habis ngedate?" tanyanya dengan ekskresi wajah dingin. Ia menghembuskan asap rokoknya ke atas. Aku mengernyitkan dahi karena setahuku Ayas tak merokok. "Habis ngedate?" tanyanya menatapku tajam. Aku menghela napas dan malas menjawab. Memutuskan kembali melangkah. "Khayra, jawab aku." "Berhentilah bertanya, Bung." Aku meneruskan menaiki anak tangga ke atas menuju kamar. "Tapi aku perlu tahu kamu habis dari mana." "Tidak penting." "Khayra!" seru ya dengan suara geram. Aku mendengar langkah kakinya mulai menaiki tangga mengikutiku. "Tunggu," ucapnya sambil meraih tanganku. "Apa?" "Darimana kamu sama Seno?" "Nonton." Ayas menggeleng dan mengusap kasar wajahnya. "Kalian janjinya and untuk pergi keluar bareng, dan kamu sama seki tak ingat kalau sudah menjadi istriku? Ya Tuhan sejak kapan kamu jadi pembangkang seperti ini," human Ayas. "Aku? Pembangkang?" tanyaku ketus. "Ya," jawab Ayas dengan suara keras. Matanya melotot tajam. "Kamu marah gara-gara melihatku pulang diantar Seno?" "Aku suamimu, Khayra. Wajar kalau aku marah melihat istrinya jalan dan diantar pulang oleh lelaki lain." Aku terdiam. Tiba-tiba saja terlintas bayangan Ayas dan seorang wanita malam itu datang ke rumah dan aku yang membuka pintunya. Bayangan saat Ayas menaiki anak tangga di rumah besar itu bersama perempuan tunggu memakai baju seksi. Ya Tuhan ingatan itu kembali dan dadaku rasamu sesak sekali. Aku benci itu. "Kamu bilang kamu suamiku dan merasa wajar marah karena aku jalan sama Seno. Lalu bagaimana dengan peristiwa malam itu saat kamu pulang malam dengan membawa seorang perempuan berbaju seksi ke dalam rumah besar kita? Bagaimana denganku Ayas? Tidak kah kau memikirkan perasaanku waktu itu?" Aku mengatakan itu dengan bibir bergetar dan air mata yang berlinang. Saat berkedip maka luruh berjatuhan air mata yang berusah kutahan. "Kamu kira aku tidak akan ingat perlakuanmu dulu?" ucapku lagi dengan suara parau. Ayas mematung di tempatnya, ia tak berkata-kata lagi bahkan sampai aku meninggalkannya dan masuk ke dalam kamar. Tangisku benar-benar pecah, aku meraung dan merasa terluka oleh ingatanmu yang kembali. Kenapa bisa semenyakitkan ini, Tuhan? Kenapa dulu aku bisa bertahan dengannya? Apa cintaku sangat besar? Jika iya, kenapa sekarang aku tak merasakannya lagi? Aku melempar paper bag sembarangan dan tunik berwarna sage green yang tadi dibelikan Seno itu terlempar begitu saja. Aku benci Ayas dan ingin kembali pada Seno. Menurutku hanya Seno yang mampu mengerti dan memahami kondisiku. Ayas yang keras kepala membuatku semakin muak dan benci. Tuhan kenapa dulu aku ditakdirkan menikah dengan Ayas? Tangisku kembali jatuh, kupeluk tunik sage green. Warna lembut yang aku sukai, seperti lembutnya sikap Seno memperlakukanku. "Sen, aku ingin kembali berjuang untuk cinta kita. Aku ingin lepas dari Ayas. Dia kasar dan semena-mena memperlakukanku di masa lalu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN