"Maaf saya tidak bisa menjawabnya sekarang. Kesehatan kamu lebih penting dari segalanya. Selamat istirahat." Lelaki itu menundukkan kepalanya kemudian berbalik pergi menuju pintu.
"Tunggu." Aku mencegahnya.
Langkahnya terhenti di daun pintu.
"Saya sedang ada urusan mendesak," ucapnya. Aku tahu dia hanya sedang beralasan.
"Aku ingin kamu menjelaskannya, Bung. Pliis, aku juga berhak tahu."
"Jika saya menjelaskannya sekarang, kamu pasti akan berusaha mengingat dengan keras. Terlalu memaksakan ingatan justeru itu tidak baik dan akan membuat kepalamu sakit, Nona."
"Jadi kapan kamu akan menjelaskannya padaku?"
"Saat kondisimu sudah kuat dan kembali pulih."
"Aku sudah pulih, aku sudah sehat dan juga baik-baik saja," ucapku bersikeras. Sengaja memaksa agar dia mau bercerita saat ini juga.
"Jangan keras kepala, istirahat lah. Dia jam lagi saya pasti kembali lagi ke sini untuk menjagamu." Setelah mengatakan itu Atas berlalu pergi bahkan tanpa menoleh ke arahku.
Di sini lah aku, dengan segala tanya yang memenuhi minda. Kamar bercat biru muda dengan list hitam ini adalah kamar yang begitu nyaman dan selalu membuatku betah. Dulu saat ngecat kamar ini aku meminta bantuan Seni. Lelaki jangkung itu rela belepotan cat demi merubah tembok kamarku berwarna biru seperti yang aku inginkan. Lalu sekarang di dinding itu terpampang foto weding. Sialnya itu bukan foto weedingku dengan Seno tetapi dengan lelaki pendiam itu. Bagaimana bisa aku menikah dengannya? Bagaimana Seno menerima semua ini? Dia tipe lelaki pejuang, apakah dia tak memperjuangkan aku?
Sekali lagi aku mendekat ke arah dinding yang di sana terpampang jelas bingkai foto besar itu. Aku menatapnya lama dan nyaris tak berkedip. Ayas? Lelaki itu siapa sebenernya? Bahkan aku tak mengingat sama sekali. Aku harus menanyakan hal ini pada Mamah. Kalau sekarang Ayas belum mau menjelaskannya maka aku harus memaksa Mama untuk cerita.
Namun karena memang kepala ini sudah terasa berat dan berdenyut, maka sekarang kuputuskan untuk istirahat. Sedikit kesulitan saat aku harus menaiki tempat tidur namun karena usahaku yang keras akhirnya tubuh ini mampu berbaring juga di kasur. Kasur empuk yang telah lama kurindukan. Wajar kan jika aku memang rindu pada kamar ini? Kata Mama aku koma berbulan-bulan.
Benda pipih persegi panjang itu kuaktifkan, tak seberapa lama muncullah layar berpendar. Pertama yang aku cek adalah galleri. Di sana bahkan aku tak menemukan poto apa pun atau bisa jadi Ayas sudah menghapusnya.
Jariku menggeser ke tombol aplikasi yang lain. Di aplikasi biru itu aku mulai berselancar di dunia maya.
Jariku mengetikkan nama Seno di kolom pencarian. Terpampang lah nama dan foto profilnya. Dia yang gagah dan sosoknya yang kukenal begitu peduli itu kupandangi tak henti-henti. Ada apakah di antara kita, Sen? Bisa kah kau jelaskan kenapa bukan kamu yang menikahiku? Kenapa bukan kamu yang menjadi suamiku? Kenapa mesti dia yang jadi pasangan hidupku? Tolong siapa pun jelaskan semua ini padaku?
Aku mulai mengingat dengan keras, tak ada yang bisa kuingat selain hubunganku yang baik-baik saja dengan Seno, hanya itu, semakin aku paksakan untuk terus ingat kepala ini rasanya sakit sekali. Kemudian kuputuskan terpejam juga lelap untuk menghilangkan rasa nyeri.
***
Tiga hari berlalu, aku masih seperti bertanya-tanya hal apa saja yang telah terjadi. Dan tetap saja baik Mamah maupun lelaki berambut gondrong yang pendiam itu tak menjelaskan apa-apa. Mereka menghawatirkan aku tapi begitu tega membiarkan semua tanya berkelindan dalam benak tanpa kutahu jawabannya.
"Mamah bukannya tidak ingin menjelaskan dan menjawab semua pertanyaanmu, Key. Tapi dokter menyarankan untuk perlahan-lahan, karena kalau sekaligus otakmu bekerja terlalu cepat dan itu akan membuatmu sakit. Banyak hal Nak, banyak sekali yang telah terjadi tapi semua bisa kita lalui hingga sampai sekarang ini. Kamu hebat, kamu tetap putri kebanggaan kami. Mamah dan Ayah menyayangimu setulus hati." Penuturan Mama dengan suara paraunya membuatku paham, paham kalau memang semua yang kutanyakan tadi tak harus dijawab.
Benar kata Mamah bahwa aku harus mengingat pelan-pelan dan juga satu persatu.
"Nambah ya makannya, Yas." Mamah menawari Ayas–Lelaki yang sedang makan bersama kami saat ini. Lelaki yang katanya suamiku tapi sungguh aku tak mengenalinya sama sekali. Semua ini terasa seperti mimpi, bagiamana bisa aku menikah dengannya? tanyaku dalam hati sambil melirik lelaki berambut gondrong yang tengah makan di sampingku.
"Cukup, Mah. Ayas tak terbiasa makan banyak. Masakan Mamah enak, terima kasih," ucapnya sambil melirik sekilas ke arah Mama.
"Jangan lupa makan buahnya juga ya, Yas." Mama mendekatkan keranjang buah padanya. Lelaki itu hanya mengangguk.
"Hari ini aku ingin sekali bertemu Ayah," pintaku sambil mengakhiri makan. Nasi di piring tinggal separuh tapi aku sudah tak berniat untuk menghabiskannya.
"Yakin mau bertemu Ayah?" Mama menatapku lekat.
"Tidak yakin bagaimana Mah? Key sangat merindukannya. Kenapa Ayah bahkan tak pernah menjenguk Key? Di rumah pun Ayah tidak ada? Sesibuk apa sih Ayah hingga ia lupa bahwa aku sedang seperti ini? Bukan kah selama ini Ayah sayang sekali sama Key? Jadi kenapa …."
"Cukup Key, oke kamu akan bertemu Ayah sekarang juga." Mamah beranjak dari tempat duduknya. Wajahnya tiba-tiba mendung sekilas kulihat Mamah mengusap sudut mata, ada apa? Apakah permintaanku tadi membuatnya sedih?
"Ayas, kamu antarkan Key ke Ayahnya ya," ucap Mamah kemudian ia berlalu masuk ke kamarnya. Aku melirik Ayas yang kini sedang mengupas mangga.
"Habiskan makanmu, Nona, setelah itu aku akan mengantarmu ke tempat di mana Ayah berada."
"Aku sudah tak berselera untuk makan, Bung."
"Nanti ayammu mati."
"Aku bukan anak kecil yang mudah dibodohi dengan kalimat seperti itu. Lagi pula aku tak memelihara ayam."
"Tapi kamu memelihara anggora, bagaimana kalo di yang mati?"
"Yippo tak mungkin mati hanya karena aku tak menghabiskan makananku."
Lelaki itu tak menjawab lagi. Dia diam dan makan buah hingga habis.
"Sudah makannya? Sekarang aku ingin ketemu Ayah. Antarkan."
"Tidak ingin kah kau berhantu baju dulu, Nona?" tanyanya seraya melihatku beberapa detik sambil memperhatikan.
"Memangnya kenapa dengan baju yang aku kenakan?"
"Aku tak mungkin mengajakmu keluar dengan pakaian seperti itu."
"Memangnya ada yang salah dengan pakaianku?"
"Setidaknya pakailah cardigan panjang. Di luar cuaca tak menentu, sekarang musim penghujan. Aku tidak mau kamu kedinginan dan meminjam jaketku."
"Ck astaga," decakku sebal. Mau tak mau akhirnya aku memutuskan untuk ke kamar dan mengambil cardigan panjang. Saat aku meraih jeans yang ada di lemari tapi tak kunjung kudapatkan karena sulit menjangkaunya, tiba-tiba Ayas muncul dan mengambilkannya untukku.
"Apakah mau kubantu untuk memakaikannya juga?" tanyanya.
"Aku bisa sendiri. Panggilkan Bi Ijah."
"Kalau bisa sendiri kenapa harus manggil Bi Ijah?"
"Karena aku tidak mungkin memintamu Menganti pakaianku, Bung." Aku menatapnya tajam.
"Tidak mungkin kenapa? Aku suamimu, Nona," jelasnya menyadarkanku. Kenyataannya memang begitu tapi sulit sekali bagiku untuk percaya. Dia suamiku tapi sangat asing bagiku.
"Aku tidak mau, jadi keluar lah dari kamarku."
"Baiklah." Lelaki itu pergi dan menutup pintu kamarku tanpa suara.
Aku mulai mengenakan cardigan panjang ini pelan-pelan dan melempar jeans yang tadi, tentu saja aku tak bisa mengenakannya sendiri. Lumpuh ini membuat gerakku sangat sulit dan tersiksa tapi lupa ingatan justeru membuatku lebih sulit.
'Ayah, Key rindu. Ayah ada di mana sebenernya? Key sudah tak sabar untuk bertemu dengan Ayah," gumamku dalam hati.
Aku memtuskan untuk keluar dari kamar setelah cardigan telah kukenakan.
Sampai di depan beranda, Ayas menghampiri. Suara mesin mobil terdengar dan tanpa protes lagi aku membiarkan lelaki itu membopong tubuhku dan membimbing agar aku duduk di jok depan samping kemudi.
"Kenakan seat belt-nya."
"Aku bisa sendiri," tukasku cepat.
Lelaki itu segera menutup pintu mobil. Dia berputar lalu masuk mobil dan duduk di jok kemudi.
"Apakah Ayah ada di luar kota?"
"Jangan banyak bertanya nanti juga kamu tahu kok Ayah ada di mana."
Menyebalkan sekali jawabannya. Lelaki gondrong ini tak hanya pelit bicara tapi juga wajahnya kaku dan jarang senyum. Lagi-lagi aku bertanya dalam hati, bagaimana bisa aku menikah dengannya?
Suara musik dan lagu melankolis diputarnya sepanjang jalan. Ayas lebih banyak diam dan terlihat fokus menyetir sedangkan aku ingin bertanya banyak hal tapi sadar diri karena tadi dia menyuruhku untuk diam dan tak banyak bertanya. Astaga, kenapa juga aku bisa menikah dengan lelaki kaku sepertinya? Ini benar-benar seperti mimpi buruk. Ayas bukan tipe lelaki idamanku sama sekali.
"Bung, apa kau tidak bisa menyetir sambil ngobrol?" tanyaku akhirnya karena bosan sejak tadi hanya diam.
"Apalagi yang ingin kau tanyakan?"
"Kenapa kita bisa menikah?"
"Takdir."
Aku melengos, jawaban macam apa itu?
"Memang benar takdir tapi sebelum takdir itu terjadi pasti ada jalannya. Aku tidak habis pikir kenapa bisa menikahi lelaki kaku sepertimu. Ini benar-benar seperti mimpi buruk."
"Nona, Ayahmu yang menikah kan kita. Jadi kalau mau protes, protes lah padanya," jawabnya tanpa menoleh ke arahku.
Ya Tuhan kenapa aku ditakdirkan punya suami menyebalkan seperti ini? Kenapa bukan Seno saja yang menjadi jodohku?
Aku pasti akan bertanya pada Ayah kenapa harus lelaki ini yang menjadi suami? Sungguh aku tidak terima karena dia menyebalkan dan terlihat angkuh. Meskipun di satu sisi dia baik dan peduli tapi aku tidak suka caranya, caranya menatap dan berbicara sering membuatku menahan rasa kesal. Ayas dan Seno bagaikan bumi dan langit, mereka sangat berbeda dan tentu saja aku lebih menyukai karakter Seno dari pada lelaki berambut gondrong ini.
Mobil terus berjalan, musik dan lagu semakin tinggi dinaikkan volumenya. Ayas diam dan tetap fokus menyetir. Aku tahu dia sengaja mengeraskan suara musik agar aku tak lagi bertanya.
Satu jam berlalu dan mobil terus bergerak menuju area pemakaman umum. Aku mengernyitkan dahi, ngapain Ayas membawaku ke sini?
"Kita mau ke mana, Bung?"
"Nyekar."
"Aku ingin bertemu Ayah, tapi kenapa harus ke sini dulu?" Lagi-lagi dia membuatku kesal.
"Berhentilah bertanya, nanti kamu akan tahu sendiri."
"Bung, pliis jangan turun kan aku di sini." Aku menepis lengannya saat hendak membopong tubuhku.
"Nona, kita sudah sampai." Ayas menatapku dengan mata elangnya yang berkaca-kaca.
"Maksudmu?"
Aku sungguh tak mengerti.