"Kamu cinta sama, Seno?" Lelaki gondrong itu menatapku lekat. Maniknya semakin tajam dan berkilat.
"Ya, tentu saja."
"Saya permisi," ucapnya tiba-tiba lalu ia meninggalkanku sendiri di tepi kolam ikan hias. Ada sejumput rasa penasaran dalam dadaku, siapakah lelaki gondrong itu? Kenapa sejak aku di rumah sakit dia selalu menemani bahkan hingga saat ini? Bodohnya aku tadi tak bertanya siapa namanya?
"Tunggu, Bung." Aku setengah berteriak mencegahnya, lelaki itu sudah sampai ke depan pintu rumah, dia menoleh ke arahku.
"Namamu siapa?" Aku bertanya dengan suara lebih keras agar dia mendengarnya meski jarak kami lumayan jauh.
"Ayas." Dia menyebutkan namanya, nama yang cukup asing di telingaku. Namun dengan suaranya? Aku merasa sudah mengenal ia lebih lama. Entah lah, koma di rumah sakit benar-benar membuatku seperti tak mengenali diri atau beberapa orang lainnya. Aku bahkan sempat merasa asing dengan duniaku ini. Padahal aku ingat betul di rumah ini begitu banyak kisah dan juga perhatian tulus dari keluarga.
Lelaki yang kupanggil 'Bung' dan ternyata bernama 'Ayas' itu sudah masuk ke dalam. Ingatanku kembali pada Seno, dia bahkan tak pernah menghubungiku. Tepat di saat itu aku baru ingat di mana ponselku? Sejak sadar dari koma aku belum sekali pun memegang alat komunikasi itu. Setidaknya aku harus menelpon Seno untuk menanyakan kenapa dia tak kunjung menjengukku? Sudah tak peduli kah dia? Bagaimana bisa? Setahuku Seni bukan lah tipe lelaki cuek dan masa bodoh, dia itu romantis dan juga penuh kejutan.
Aku harus menanyakan di mana ponselku pada Mamah. Pasti Mamah yang menyimpannya. Aku baru akan berteriak memanggil Mamah saat seseorang menghampiriku dengan membawakan segelas minum dan juga setoples kue kering dan juga roti di atas nampan.
"Bung?" gumamku.
"Kamu harus minum dulu dan banyak nyemil. Lihat tubuhmu kurus dan kurang ideal."
"Apa? Sejak kapan kau berani mengomentari tubuhku? Berani sekali," cebikku kesal.
"Maaf kalau perkataanku barusan tidak berkenan. Tapi sebaiknya kamu minum dulu," ucapnya seraya duduk dan meletakkan nampan itu di sampingku.
"Bung, aku ingin masuk ke dalam."
"Lho tadi katanya mau di sini dulu. Minum dulu lah."
Aku segera meraih gelas berisi minuman manis itu lalu tertegun karena ternyata bukan es melainkan air jeruk lemon hangat.
"Minum apaan ini? Kok nggak dingin sih?"
"Minuman dingin itu nggak baik buat kesehatan."
Dahiku mengernyit sejak kapan lelaki ini menghawatirkan minuman untukku baik atau tidak? Siapa dia sebenernya? Apakah seorang bodyguard yang diutus Ayah. Tidak, bahkan setahuku Ayah harus bekerja keras untuk membangun lagi bisnisnya yang nyaris bangkrut. Ayah sedang berusaha ke sana-sini mencari pinjaman agar rumah ini tidak dijual. Ya, aku baru ingat kalau ekonomi kami yang awalnya baik-baik saja itu kini sedang terpuruk. By the way dari mana Mamah bayar biaya rumah sakit?
Aku harus segera menanyakannya pada Mamah.
"Bung, aku ingin masuk ke rumah."
"Mau gendong atau pake kursi roda?"
"Kursi roda saja," pintaku.
"Baik, sebentar saya ambilkan dulu."
Lima menit kemudian dia muncul dengan membawakan kursi roda.
Memasuki rumah tidak ada yang berubah, semua masih sama penataan interiornya. Lelaki gondrong itu mendorong kursi rodaku sampai ke ruang tengah yang lengang dan hening.
"Mamah mana?" tanyaku kemudian.
"Ada, beliau di dapur."
"Ngapain Mamah di dapur?"
"Bukan kah saat di mobil kamu mau makan masakan mamah?"
"Oh ya, aku lupa."
"Bukan hanya lupa tapi ingatanmu memang sedang bermasalah, Nona."
"Tapi aku juga ingat sebagian ingatanku."
"Key … Ayo makan." Mamah berjalan dari arah dapur menghampiriku.
"Tadi kamu mau masakan buatan Mamah kan?" ujar Mama lagi.
"Iya Mah." Aku menjalankan kursi rodaku dengan dua tangan.
"Saya permisi." Lelaki gondrong itu berlalu.
Mamah mulai menyetel televisi. Aku mencicipi dan mulai makan makanan yang tadi kuminta. Rasanya nikmat sekali setelah berhari-hari makan dengan menu yang tersedia di rumah sakit. Ah ya, aku ingin menanyakan ponselku.
"Mah, ponselku mana?"
"Ponsel?" Mama menoleh lalu terdiam sejenak.
"Untuk apa, Key?"
"Aku ingin menghubungi Seno. Kenapa dia tidak menjengukku sama sekali saat di rumah sakit?"
Terlihat Mama menghela napasnya dengan berat.
"Seno sibuk dia lagi tugas di luar kota."
"Sesibuk itu? Sampai dia lupa sama aku? Bukan kah sebenartar lagi kami akan tunangan? Astaga," decakku sebal.
"Key setelah makan, kamu istirahatlah."
"Mah, kenapa sih semua seperti berubah? Ayah, Seno, mereka seolah gak peduli sama aku?" Lagi-lagi aku mengungkapkan rasa kecewa. Makanan di piring tinggal seperempatnya tapi napsu makanku suidah hilang, jadilah kuputuskan untuk menaruhnya di samping meja.
"Bukan tidak peduli, Sayang," suara Mamah terdengar parau.
"Ada banyak hal yang telah terjadi, ingatanmu hilang dan hanya sebagian memori yang saja yang melekat. Jika Mamah mengatakan hal yang sebenernya sekarang, Mamah takut akan membuatmu sakit. Pelan-pelan saja ya, Nak. Ingatanmu pasti pulih kok, hanya butuh waktu untuk itu. Mamah sayang sama kamu, Key." Mama mendekapku erat dan hangat.
Ya, benar apa kata Mamah ingatanku hilang. Ada banyak hal yang memang sudah terjadi tetapi aku sama sekali tidak mengingatnya. Sialan sekali bukan? Padahal ingatan itu sangat penting untuk membuatku tak bertanya-tanya seperti sekarang ini.
"Kamu istirahat ya, Mamah antar kamu ke kamar."
Aku hanya mengangguk dan diam.
Sampai di kamar aku tertegum melihat figura besar yang memampangkan gambarku dengan seseorang. Foto pernikahan.
"Mah?" Aku menoleh ke arah Mamah dengan wajah bertanya-tanya.
"Apakah itu aku?" tanyaku sambil menunjuk foto yang menempel di dinding.
"Apakah aku sudah menikah?" Aku kembali bertanya dengan d**a bergemuruh kencang. Apa yang terjadi Tuhan?
"Ya, kau bahkan sudah menikah Key," jawab Mamah seperti Godam yang menohokku.
Sungguh bagaimana bisa aku sudah menikah? Padahal seingatku aku akan bertunangan dengan Seno. Apakah karena ini Seno tak mengunjungi bahkan tak menjengukku di rumah sakit? Bagaimana hubungan kami sebenarnya?
"Dengan siapa aku menikah?" Bergetar suaraku menanyakan hal itu meskipun aku sendiri bisa melihat lelaki yang ada dalam pigura besar itu tengah bersanding denganku. Penglihatanku memburam seiring bulir bening yang kini memenuhi kornea.
"Dengan Ayas."
"Lelaki gondrong yang tadi?"
"Ya." Mama menegaskan.
"Jadi dia suamiku?"
"Istirahat lah Key, jangan banyak berpikir. Mengingat terlalu keras akan membuat kepalamu sakit. Pelan-pelan saja. Maafkan Mamah ya, Sayang." Sebelum pergi dari kamar, Mamah mengecup ubun-ubunku.
Ya Tuhan, kali ini aku benar-benar menangis. Banyak hal yang telah terjadi tapi aku tidak mengingatnya sama sekali selain masa-masa di mana aku ingat Seno sebagai pacar dan ingat Ayah yang tengah begitu gigih bekerja keras untuk menyelamatkan bisnisnya, dan ingatanku yang sibuk menyelesaikan skripsi kuliah. Aku kira semua itu benar terjadi di saat ini tapi nyatanya pigura besar yang terpampang itu membuatku terkejut. Apa yang terjadi? Kenapa aku bisa menikah dengan lelaki pendiam itu? Lelaki yang bahkan rasanya asing di hidupku.
"Nona." Terdengar suaranya seiring bunyi ketukan di pintu kamar.
"Masuk lah," jawabku sambil mengusap sudut mata yang basah. Tak terasa tadi air mata ini luruh begitu saja.
"Ini ponselmu, jika ada sesuatu dan butuh bantuan, maka hubungi saja aku." Lelaki yang tadi akrab kupanggil 'Bung' itu menyodorkan ponsel. Aku menoleh sekilas, mengambil ponsel dengan senyum getir.
"Ya, sekarang juga aku butuh bantuanmu."
"Katakan, apa itu?"
"Kau lihat di sana?" Aku menunjuk pigura besar itu.
"Jelaskan padaku, kenapa kita bisa menikah?" tanyaku dengan kebencian yang entah sejak kapan bercokol kuat dalam hati ini terhadapnya.