"Maksudmu sampai?"
"Diam lah, nanti kamu akan mengerti." Ayas menggendong tubuhku. Melewati barisan makam dan berjalan lumayan jauh. Matahari siang ini lumayan terik hingga membuat keringat mengalir dari dahiku.
Sampai di makam bernisan hitam terbuat dari batu marmer itu aku diturunkan, ada bangku kecil di sana dan aku duduk dengan bingung. Saat pandanganku membaca nisan detik itu juga duniaku terasa runtuh seketika. Tidak, apa yang kulihat ini? Nama Dewa Tanoto terpampang jelas di sana. Ayah? Apakah Ayah meninggal? Dadaku sesak memahami semua yang sedang aku lihat. Tanah ini sudah tak berwarna merah dan rumput hijau sudah tertata rapih di atasnya. Penglihatanku memburam seiring air mata yang menggenang lalu deras berjatuhan.
"Ayah ...." Aku memanggil nama itu dengan pilu.
"Ayah ... Bagaimana bisa aku tidak tahu bahwa Ayah telah tiada? Ayah ...." Tangis ini pecah tanpa visa dicegah. Siang cerah seperti ini bagiku gulita yang terasa sangat luka. Bahkan usapan lembut yang terasa di pundak ini tak mampu sedikit pun menenangkan.
Aku memeluk nisan hitam itu dan tak berhenti memanggil Ayah berulang kali. Sungguh ini adalah kesedihanku yang tiada tara. Tak ada kalimat apa pun lagi yang mampu terucap kini, diam ku adalah bahasa luka yang paling dalam. Ayah, kenapa aku tak ingat apa-apa? Bahkan aku juga tak tahu bahwa sebenernya kau telah tiada. Kenapa ingatanku bisa selemah ini?
Aku semakin meraung dalam kesedihan namun kemudian Ayas segera membopongku, aku memukul pundaknya juga memukul lehernya agar diturunkan tetapi lelaki ini sama sekali tak berhenti. Sampai di parkiran pintu mobil dibuka dan aku segera didudukkan di jok samping kemudi. Ayas masuk dan menutup pintu mobil.
Duduk diam lalu ia menghadap ke arahku, menyodorkan tisu aku membuangnya. Menyentuh pundak tapi aku menepisnya, meraih lenganku namun aku segera menyingkirkannya. Tanpa di duga ia memeluk tubuhku erat, sangat erat bahkan saat aku memukul dan meninju dadanya ia tak bergeming sedikit pun.
"Pukul aku Khaira, pukul aku. Aku yang salah. Tampar aku." Ayas mengarahkan tanganku ke pipinya. Matanya berkaca-kaca dengan wajah yang mengguratkan kesedihan. Baru kali ini aku mendengarnya memanggilku Khaira. Padahal sebelumnya dia selalu memanggilku 'Nona.'
"Ayo pukul aku," ucapnya lagi. Dia menarik tanganku dan menamparkannya ke pipi kirinya.
"Tidak," ucapku sambil menarik lengan dan membuang muka.
"Aku yang salah. Bahkan aku yang membuatmu celaka hingga hilang ingatan seperti sekarang. Aku pantas dihukum bahkan lebih dari sekedar hanya pukulan," tuturnya parau.
"Benar kah?" tanyaku.
"Ya."
"Kalau benar demikian, kenapa kau bisa sejahat itu? Sedangkan aku tahu sikapmu sebaik ini, sekarang? Kau menjengukku setiap hari dengan membawakan bunga, kau ada menjagaku."
"Karena penyesalan selalu datang di akhir. Maafkan aku."
"Entah lah Bung, hal apa yang mesti aku maafkan karena nyatanya tentangmu aku tak mengingat apa pun."
"Saat kau ingat nanti, kau pasti akan membenciku, Nona."
"Berhentilah bercakap tentang kita. Seharusnya kini kamu paham bahwa aku sedang berduka, Ayahku tiada bahkan aku tak tahu sama sekali. Anak macam apa aku ini, Bung?"
"Kamu adalah seorang putri yang dibanggakan dan dicintai oleh Ayah dan Mamah. Ayahmu sangat mencintaimu, Nona."
"Apakah kau sangat mengenal Ayahku, Bung?"
"Ya, tapi tidak begitu dekat."
"Aku ingin kembali memeluk Ayah, walaupun itu hanya nisannya saja," ucapku mulai terisak kembali.
"Cukup, kita pulang saja."
"Tapi aku rindu Ayah."
"Tenang lah," ucapnya. Lelaki gondrong dengan mata elang itu kembali menarikku dalam dekapannya. Kali ini aku tak menepis mau pun menolak, tangisku larut dan pecah di d**a bidangnya. Aroma Woody dari tubuhnya terhirup di Indra penciuman. Aku menyukai aroma ini entah untuk pertama atau kesekian kalinya. Rasanya aku pernah begitu akrab dengan aroma ini, sangat akrab malah tapi di mana?
"Lepas," ucapku menjauh dari tubuh besarnya. Dia kembali duduk menghadap stir dan mulai menyalakan mesin mobil.
"Maaf tadi aku hanya reflek memelukmu. Maaf kalau memang kamu tidak berkenan."
"Aku hanya asing terhadapmu, Bung. Bahkan aku masih tak percaya kalau kita sudah menikah."
"Sudah hampir dua tahun," jawabnya. Aku tertegun demi mendengar pengakuan itu dari mulutnya. Dua tahun? Nyaris 24 purnama? Tapi kenapa akubtak mengingatnya sama sekali? Atau mungkin dia hanya bercanda?
"Kau sedang bercanda kan, Bung?" Aku mencoba menatap matanya. Mencari kejujuran di sana.
"Aku tidak pernah bercanda untuk hal seserius ini, Nona."
Mobil mulai bergerak menuju kavling batako jalanan. Hati dan pikiranku dihantam oleh kenyataan yang baru saja aku dengar.
"Dua tahun, Bung?" tanyaku lagi.
"Ya."
"Apakah kita sudah memiliki anak?" Tentu saja aku tak canggung menanyakan hal demikian karena dia sumiku dan aku baru tahu pernikahan dengannya sudah nyaris dua tahun. Bukan kah untuk memiliki anak juga tidak menutup kemungkinan?
Ayas terdiam, dia fokus menyetir tapi aku tahu dia sedang sibuk berpikir. Entah pikiran apa yang kini tengah berkelindan di benaknya.
"Bung, jawab aku."
"Apa kau menginginkan seorang anak?" Bukannya menjawab pertanyaanku dia malah bertanya balik.
"Apa kau sedang menghindari pertanyaanku?"
"Tidak."
"Maksudmu?"
"Tadi kau bertanya apa?" tanyanya ragu.
"Aku yakin kamu tidak pelupa."
"Oh ya, aku ingat tadi kau bertanya apakah kita sudah punya anak?"
"Ya, jawablah seger," timpalku cepat.
"Mahkotamu bahkan masih terjaga, Nona."
"Apa?" Aku mendelik menyapanya tak percaya. Bagaimana mungkin dia menikahiku nyaris dua tahun tapi ….
"Maaf."
"Untuk apa?"
"Karena aku begitu egois."
Kepalaku terasa berdenyut nyeri. Kenyataan demi kenyataan kini tengah menjatuhiku bertubi-tubi. Aku syok, tentu saja. Hubungan macam apa yang telah aku lalui dengan Ayas? Kami menikah dan dia sama sekali belum berhubungan intim denganku? Apakah dia normal? Atau ada sesuatu yang memang tidak aku ketahui lagi?
Semakin berpikirbkeras nyatanya kepala ini semakin sakit. Dengan tangan aku memijit pelipis pelan-pelan.
"Tidur lah, aku tahu kamu kesakitan saat berpikir banyak hal. Mulai sekarang jangan bertanya lagi. Istirahatlah."
Aku tak menggubris kalimatnya. Segera kusandarakan kepala ini pada jok dan mulai memejamkan mata. Jujur saja aku masih tak bisa terlelap, banyak hal yang ingin aku pertanyakan tapi harus tertahan karena denyut di kepala kian terasa.
Tiga kali tarikan napas dalam dan menghembuskan dengan pelan, lumayan membuat tubuhku rileks dan tidak tegang seperti tadi.
Udara sejuk dari ac dan juga alunan lembut musik yang diputar membuat kantuk akhirnya bertandang. Perlahan-lahan mataku berat dan aku mulai terlelap. Berharap mimpi indah dan saat bangun nanti sudah mengingat semuanya. Menjadi amnesia seperti ini benar-benar membuatku seperti orang bego.
"Bangun, Nona. Kita sudah sampai di rumah." Aku merasakan pundakku ditepuk lembut. Namun karena kantuk ini sangat berat, aku ters memejamkan mata hingga tubuhku rasanya terayun di pelukan seseorang.
"Ayas, kau ini suami macam apa?" Antara sadar dan tidak kalimat itu keluar dari mulutku. Padahal jelas-jelas mataku masih terpejam dan lelap.