Kami akhirnya berhenti di sebuah resto kecil pinggir jalan. Motor terparkir di area samping resto, Seno membantu melepaskan helm yang tadi kupakai. Meski sudah lama kami tak bertemu tapi aku tak merasa canggung sama sekali, begitu juga dengan Seno. Kami tetap enjoy dan aku merasa Seno mampu menjadi teman sekaligus mantan pacar yang baik. Ah entah lah.
"Masuk dari sini juga bisa, Key," ucap Seno sambil menunjuk pintu samping resto yang memang terbuka.
"Oke," jawabku sambil melangkah mendahului.
Ruangan resto ini tidak besar tapi cukup rapi dan penataan interiornya juga keren. Ada lukisan abstrak di dindingnya, meski tidak bisa dibilang banyak pengunjung tapi sebagian kursi ruangan sudah ditempati orang-orang yang sedang makan.
"Kita duduk di sebelah sana aja, Key," ucap Seno sambil menunjuk bangku lesehan sebelah Utara. Ada jendela besar terbuka di dekatnya.
"Biar gak gerah," tambah Seno lagi.
"Kan di sini banyak kipas angin tergantung." Aku menunjuk ke arah langit-langit dan juga beberapa dinding yang tertempel kipas.
"Lebih enak kipas alami, Key" sahut Seno yang kemudian melangkah mendahuluiku. Aku mengekori dari belakang dan akhirnya kami duduk lesehan di dekat jendela cukup besar yang terbuka itu. Aku melongok ke bawah jendela dan di sana ternyata ada kolam cukup besar dengan air yang jernih, banyak ikan koi dan juga ikan hias lainnya di dalam sana.
"Kamu pesen ayam bakar Taliwang aja sama jus alpukat Key?" tanya Seno.
"Iya."
"Gak pake nasi apa?"
"Ya pake lah Seno, masa aku mau makan ayamnya aja," ucapku ambil menoleh ke arahnya. Lelaki tersenyum, dua lesung pipinya terlihat indah.
"Cuma godain kamu doang kok tadi," ucapnya.
"Godain istri orang?"
"Hahaha," tawanya begitu renyah.
"Kamu pesen apa?" tanyaku.
"Sama aja kayak kamu."
"Oh."
Setelah itu Seno memanggil seorang waitres dan menunjuk buku menu yang disodorkan oleh perempuan berseragam itu. Seno memesan makan yang tadi kuinginkan.
"Dia porsi ya, Mbak. Satu porsi minumnya jus alpukat satunya lagi teh hangat."
Waitres itu mencatatnya kemudian berlaku pergi dari hadapan kami.
"Sejak kapan kamu suka teh hangat?" tanyaku.
"Sejak kena kolesterol," jawab Seno seraya tertawa ringan.
"Halah," timpalku tak percaya.
"Aji selalu mewanti-wanti kalau Hanis makan itu sebaiknya jangan makan es, tapi minum yang hangat agar makanan mudah dicerna."
"Waaah punya adik dokter cukup perhatian ya sama kesehatan Abangnya."
"Woiya dong. Gitu-gitu meskipun Aji rese dan nyebelin dia tuh sebenernya sayang banget sama Abangnya."
"Abangnya sayang juga gak sama Aji?"
"Jangankan sama Aji yang statusnya adik aku sendiri, sama mantanku aja aku sayang."
Mendadak aku terbatuk-batuk mendengar kalimat yang barusan diucapkan Seno. Sedangkan Seno ia malah tertawa lagi.
"Aku bicara jujur lho."
Tak berapa lama seorang waitres mulai membawakan baki besar berisi pesananku tadi, meletakkan dan menata bakul nasi juga ayam bakar di meja panjang kami. Setelah itu aku dan Seno mulai makan dengan lahap.
"Sejak kapan kamu suka kemangi, Key?" Seno menatapku heran saat aku melahap daun kemangi yang terasa nikmat itu.
"Sejak dulu."
"Perasaan yang aku tahu kamu gak suka kemangi."
"Eh iya kah?"
"Iya beneran," jawab Seno serius.
"Hmm mungkin efek lupa ingatan jadi aku suka segala hal yang tadinya gak aku sukai."
"Halah jawaban ngaco itu." Seno menimpali sambil ngunyah.
Aku mulai melanjutkan makan dan melihat ke arah pintu jalan, mengernyitkan dahi manakala tak sengaja melihat mobil hitam milik Ayas melaju pelan.
'Mungkin kah itu, Ayas?' tanyaku dalam hati.
"Nasinya nambah ya, Key. Biar kamu temukan dikit." Tanpa persetujuanku Seno malah menambahkan secentong nasi ke piringku.
"Banyak banget," protesku.
"Biar gemuk."
"Emang sekarang aku kerempeng banget apa?"
"Langsing."
"Ya kan dari dulu juga aku langsung."
"Dulu waktu kita masih pacaran kamu itu gak langsung tapi sekal."
"Halah sok tahu," tukasku sambil menyuap makan dengan sedikit cepat.
"Jangan buru-buru, nanti juga aku antar kamu pulang kok." Ayas menatap tajam.
"Aku ingin cepat pulang."
"Mau apa di rumah? Mau menangisi kenyataan?"
"Enak aja."
"Ya lagian kamu buru-buru banget. Santai lah lagi pula kita sudah lama tak bertemu."
"Aku menemuinya karena ingin bertanya suatu hal, kalau tidak urgent mungkin aku lebih baik di rumah aja."
"Terus kamu nyesel gitu ke rumah aku?"
"Sama sekali tidak." Aku menjawab jujur.
Kemudian kami meneruskan makan dengan saling diam. Aku memperhatikan Seno sekilas, dia makan dengan lahap hingga keningnya berkeringat. Bibirnya mendesis kepedesan, ekspresinya saat ini membuatku tersenyum.
"Cieee yang ngeliatin aku terus. Awas ntar jatuh cinta lagi," ucap Seno seraya mengedipkan sebelah matanya dengan genit.
"Ah sialan," umpatku sambil mencubit lengannya.
"Sakit tau," tukasnya sambil mengelus tangan kanannya.
"Lagian kamu godain isteri orang terus."
"Ya siapa tahu nanti jadi istrinya aku."
Aku memutar bola mata sambil berpikir.
"Kamu dulu waktu kita putus biasa aja kah?"
Kali ini Seno tertegun, tak lama kemudian ia meraih gelas berisi teh hangat dan meminumnya hingga tersisa setengahnya.
"Mungkin kamu yang biasa aja, aku setengah gila."
"Hmmm oh ya?"
"Oh ayolah Key, hilang ingatan juga tak lantas membuatmu kehilangan logika kan?" tuturnya sambil mengingat rambut.
"Siapa pun akan terluka saat kehilangan orang yang sangat dicintainya, dan kamu tadi menyimpulkan perasaanku biasa saja. Keterlaluan."
"Maaf," lirihku kemudian saat melihat Seno berkata dengan serius.
"Untungnya aku gak sampe bunuh diri."
"Ngapain bunuh diri, Sen? Banyak cewek yang lebih baik dan juga lebih cantik daripada aku."
"Kamu betul Key, banyak cewek di luar sana yang lebih baik dan juga lebih segalanya dari pada kamu. Tapi yang namanya perasaan tak pernah bisa dipaksakan. Aku kalau udah cinta sama satu wanita yang sampai kapan pun aku tetap mencintainya."
"Jangan bilang sekarang kamu belum punya pacar lagi."
"Memangnya kenapa kalo iya?"
"Maksud kamu?" tanyaku tak mengerti.
"Cukup Key, hidupku biarlah urusanku. Mau menjomblo sampe tua kek itu bukan urusanmu lagi. Bagiku lebih baik sendiri daripada menikah dan membina rumah tangga dengan wanita yang tidak aku cintai," tutur Seno dengan wajah menyedihkan.
"Jangan begitu, Sen. Kamu hanya perlu membuka hatimu untuk belajar menerima seseorang lagi."
"Andai hal itu mudah, Key. Mungkin sudah aku lakukan sejak dulu."
"Karena kamu belum mencobanya."
"Bukan belum Key, tapi tidak ingin."
"Keras kepala sekali," gumamku.
"Sudah lagi keputusanku," timpalnya lagi.
"Tidak kah kau memikirkan perasaan Mamahmu? Dia ingin kamu bahagia."
"Mamah tak pernah mempersalahkan hal itu, mau menikah atau tidak dia menyerahkannya padaku. Karena bagi Mamah semua pilihan ada di tanganku."
"Gak ada orang tua ya g seperti itu, Seno. Di mana-mana orangtua maunya anak-anaknya bahagia dan bisa punya rumah tangga yang baik."
"Apa kau pikir kebahagiaan itu hanya ada dalam pernikahan? Tidak Key, ada beberapa orang di dunia ini yang memutuskan untuk tidak pernah menikah seumur hidupnya, dan mereka bahagia," tutur Seno.
"Sekarang aku tanya kamu, apakah kamu juga bahagia tanpa pernikahan?"
"Jawab pertanyaanku dulu, apakah kamu bahagia menikah dengan Ayas?"
Aku tersenyum dan mulai paham kenapa Seno menanyakan hal demikian.
"Jadi kamu menjebakku dengan pertanyaan itu, Sen?"
"Tidak sama sekali," jawabnya.