"Lalu kenapa kamu bertanya apa yang tidak kutahu jawabannya?"
"Aku gak maksa kamu buat jawab kok. Kalau kamu keberatan dengan pertanyaanku barusan, oke aku benar-benar minta maaf," ucap Seno lagi.
"Ini bukan masalah keberatan atau tidaknya. Kamu juga tahu kan orang sepertiku yang sedang mengalami amnesia sulit untuk bisa kembali mengingat. Dan tadi kamu nanya aku bahagia atau tidak menikah dengan Ayas? Oh ayolah yang benar saja, aku bahkan tak ingat hari pernikahanku dengannya juga tak ingat hari-hari yang kujalani setelah menikah dengannya."
"Oh ya sory aku lupa. Kalau sekarang?"
"Aku merasa Ayas meskipun kaku dan tidak mudah senyum tapi dia selalu ada membantuku."
"Syukurlah itu artinya setelah melakukan kesalahan besar dia benar-benar menyesal," timpal Seno.
"Memangnya apa kesalahan besarnya?" Lagi-lagi aku merasa penasaran.
"Kalau aku yang bercerita nanti jatuhnya dia tak terima, jadi sebaiknya kamu saja ya g pelan-pelan bertanya pada Ayas. Aku bukan tidak peduli padamu Key, hanya saja aku cukup tahu diri posisiku saat ini. Kalau kamu sudah bukan milik Ayas mungkin lain lagi ceritanya."
"Aku ingin pulang sekarang, Sen," putusku kemudian.
"Habiskan dulu jus alpukatnya."
"Sudah kenyang," sahutku cepat.
"Kenyang apa dulu nih?" Seno mengerling menatapku.
"Ya kenyang makan lah memangnya apa?" Aku mendelik galak menatapnya. Seno malah tertawa lebar dan menepuk-nepuk kepalaku lembut.
"Jangan lekas emosi, itu tak baik untuk kesehatan. Yaudah ayok kita pulang." Seno beranjak dari kursinya, kemudian ia berjalan mendahului karena ia harus bayar ke kasir. Sedangkan aku berjalan ke luar menuju parkiran. Menunggu Seno di sana.
"Tadi aku sepertinya melihat mobil Ayas," gumamku saat Seno memakaikan helm.
"Oh ya?"
Aku mengangguk.
"Barusan kah?"
"Tadi saat kita baru pesan makanan."
"Kamu lihatnya di mana?"
"Di jalan, aku mengenali mobilnya pas tadi melongok jendela resto," jawabku cepat.
"Terus kenapa kalo Ayas lewat? Kamu takut ketahuan jalan bareng sama aku?" tanya Seno lagi.
"Tidak, aku hanya takut dia salah paham kalau bener melihat kita di resto ini."
"Ya kalo salah paham kan bisa kamu jelasin. Yang penting jangan biarkan dia memukulmu."
"Apa?" Aku mengernyitkan dahi mendengar kalimat yang keluar dari mulut Seno barusan.
"Bukan apa-apa, lupakan saja."
"Apa iya dulu Ayas se-temperamen itu?"
"Sudah jangan banyak nanya, katanya tadi minta cepet pulang?"
"Ya, oke," sahutku kemudian sambil naik ke boncengan motornya.
Sepanjang jalan aku dan Seno terdiam, mungkin kami terlalu sibuk dengan pikiran yang tengah berkelindan dalam kepala masing-masing.
Terutama aku yang sedang memikirkan bagaimana caranya nanti bertanya pada Ayas agar dia jujur sejujurnya. Karena aku paling benci dibohongi.
Perut kenyang, angin sepoi saat berada di motor dan cuaca yang sedikit mendung benar-benar membuatku mengantuk. Apalagi jarak ke rumah masih lumayan jauh sekitar 20 menit lagi. Beberapa kali helmku bertubrukan dengan helmnya Seno.
"Kamu ngantuk Key?" tebak Seno seolah dia tahu betul aku memang sedang menahan kantuk.
"Hmmm nggak kok, cuma sedikit." Aku berusaha mengelak.
"Tidur aja, pegangan tangan yang kuat biar gak jatuh. Kebiasaan kamu kan memang ngantukkan kalau naik motor," ujar Seno seraya meraih lenganku dan dilingkarkannya di pinggangnya. Bahkan Seno begitu tahu kebiasaanku itu. Aku yakin Seno jauh lebih mengenalku dibanding Ayas.
Tidak, aku tidak boleh memeluk Seno seerat ini. Kuputuskan untuk memegang sisi pinggang kanan dan kiri Seno saja.
"Kenapa?" tanyanya saat aku merubah posisi lengan.
"Nggak papa."
"Takut Ayas cemburu?"
"Sama sekali bukan," timpalku.
"Lalu?"
"Aku hanya ingin menjaga apa-apa yang harusnya kujaga."
"Ya ampun memangnya aku akan mencurimu, Key?"
"Bukan itu, Seno."
"Iya iya oke aku ngerti sekarang." Seno berkata pekan tak seantusias tadi.
Entahlah semuanya menjadi terasa bimbang.
Sampai di rumah, ternyata sudah ada mobil Ayas terparkir. Itu artinya dia sudah pulang.
"Boleh mampir gak?" tanya Seno saat membantu melepaskan tali helm yang kupakai.
"Di dalam ada Ayas. Aku gak mau di alah paham."
"Sudah kubilang kalau Ayas salah paham ya tinggal dijelaskan, lagi pula aku sengaja ingin mampir karena ingin ketemu suamimu, Key."
"Mau apa ketemu Ayas?" tanyaku.
"Ada hal yang ingin disampaikan."
"Aku gak mau ada keributan," tukasku cepat.
"Ya Tuhan apa kamu kira aku dan Ayas masih labil apa? Kita sama-sama dewasa dan sama-sama tahu kalau semua persoalan tidak harus diselesaikan dengan otot tapi otak. Sudah, jangan khawatir. Ayo masuk," tutur Seno tenang. Iya, dia memang selalu tenang dan tak pernah terlihat panik.
Meski ragu tapi akhirnya aku memutuskan untuk masuk ke dalam bersama Seno. Bi Ijah yang membukakan pintu sempat tercengang tapi kemudian perempuan Bi Ijah segera mempersilahkan kami untuk masuk.
"Panggil Ayas, Key. Bilang padanya aku ingin ketemu," ucap Seno seraya mulai duduk di sofa ruang tamu.
"Ya, aku akan memanggil Ayas." Aku segera menaiki tangga ke atas menuju kamar, mungkin Ayas sedang istirahat di kamar.
Namun aku sempat terkejut saat baru sampai di ujung tangga karena ternyata Ayas berdiri di sana, menatapku.
"Apakah Seno sengaja datang ke sini untuk menemuiku?" tanyanya dengan suara berat.
"Ya," jawabku singkat.
"Atau kau yang terlebih dahulu menemuinya?"
"Ya," jawabku lagi.
"Untuk apa?"
"Untuk banyak hal yang tidak kuketahui sebelumnya."
"Dan setelah kamu tahu semua.ya dari Seno tentangku, apa yang ingin kamu lakukan?"
"Tidak ada, aku hanya ingin kamu berkata jujur padaku, Bung."
Ayas mendelik seraya melangkah mendekatiku.
"Memangnya kau kira aku berbohong selama ini?"
"Tidak. Kamu hanya enggan bercerita. Dan kamu ingin menghapus masa laku yang terjadi, padahal itu sangat penting untukku, Bung."
"Baiklah."
"Maksudmu?"
"Aku akan menemui Seno terlebih dahulu. Tapi aku meminta satu hal, biarkan aku dan Ayas menyelesaikannya berdua. Kamu tidak usah turun ke bawah. Tunggulah di sini saja. Mengerti?" Ayas berkata tegas, entah mengapa hal itu membuatku sedikit merasa takut. Air mukanya berubah dingin tak terlihat ramah sama sekali.
Ayas kemudian melangkah menuruni anak tangga satu persatu. Aku menatapnya hingga punggungnya tak terlihat lagi. Dalam hati aku tak Isa membendung rasa penasaran untuk tidak menguping. Apa yang harus kulakukan kini?
Mengabaikan permintaan Ayas demi rasa penasaran yang bersarang dalam pikiranku, akhirnya kuputuskan menuruni anak tangga dan pelan-pelan berjalan mengendap. Sampai di dinding pembatas antar ruang tamu dan ruang keluarga, aku berhenti di balik gorden. Mulai mendengarkan obrolan antara Ayas dan
Seno.
"Neng," gumam Bi Ijah melirikku heran, ia tengah membawakan nampan berisi minuman.
Aku segera meletakkan jari telunjuk ke bibir mengisyaratkan agar Bi Ijah diam.
Perempuan itu paham dan akhirnya mengangguk, ia meneruskan langkah ke ruang tamu mengantar minuman itu. Sedangkan dadaku berdebar tak karuan takut ketahuan.