Apakah Kau Sejahat itu?

1266 Kata
"Sen, siapa sebenernya Ayas itu?" Kali ini dengan suara bergetar dan juga pikiran yang mulai tak karuan aku kembali bertanya. "Kenapa tidak tanya langsung sama orangnya?" Seno menjawab tanpa menoleh ke arahku. Dia tetap menatap lurus ke depan ke arah pintu luar. "Kalau dia bisa menjawab semua pertanyaanku mungkin aku tidak akan datang ke sini." "Kalau aku yang menjelaskan, bisa kah kau mempercayainya Key?" "Kenapa tidak?" Aku mengernyitkan dahi. "Karena setelah kau menikah kau tak pernah percaya dengan kata siapa pun selain Ayas, aku benci itu Key. Kalau bukan karena kamu yang terus meminta untuk dilepaskan, seumur hidup aku tidak akan pernah rela kau dimiliki olehnya," tutur Seno. Di titik ini aku bisa membaca betapa Seno memang masih begitu mencintaiku, ya cintanya memang tidak pernah main-main dari dulu. Bahkan aku juga tak habis pikir kenapa bisa meninggalkannya begitu saja. Sialnya aku tak ingat sebagian tentang hubunganku dengan Seno, hanya separuh itu pun saat kami masih bersama di masa-masa kuliah. Selebihnya aku benar-benar tak ingat. "Apakah Ayas orang jahat sehingga kamu semarah itu, Sen?" "Entah lah, aku hanya tidak suka saat dia main tangan dan memperlakukanmu dengan kasar." Aku terperangah, apakah benar Ayas melakukan semua yang Seno bilang padaku barusan? "Apa aku pernah ditampar?" "Tanyalah sama Ayas, karena pernah satu kali aku melihat pipimu merah dan ada bekas tapak tangan di sana. Kemudian esoknya aku menemui Ayas dan memperingati kalau sekali lagi dia berbuat seperti itu maka aku tak segan mengambilmu darinya. Maaf bukannya aku menyudutkan suamimu, Key, tapi aku menjawab pertanyaanmu apa adanya." Rasanya semakin sesak lah d**a ini, aku mempercayai Seno tentu saja karena aku sudah mengenalnya. Seno tak pernah main-main perihal kekerasan, dia benci lelaki yang bersikap semena-mena terhadap perempuan. Dulu Tante Sari korban kdrt, itu mengapa Seno sangat membenci perlakuan kasar seorang suami terhadap istrinya. Kini rasanya aku ingin pulang dan menemui Ayas, ingin aku hajar dia habis-habisan atas perlakuannya dulu terhadapku. Jadi ini yang membuat dia enggan cerita tentang hubunganku dengannya di masa lalu? Dia ingin menutupi dan terus membuatku tak ingat hingga benar-benar lupa semua sikap kasarnya terhadapku? Ya Tuhan kenapa rasanya sakit sekali mengetahui kenyataan ini? Tak terasa bulir bening telah merebak di kelopak mata, jika berkedip sekali saja maka luruh lah air mataku. "Aku pulang dulu, Sen," ucapku kemudian. Mencoba memalingkan wajah dari tatapannya saat air mata ini jatuh dan menderas di pipi. "Tunggu, Key." Seno menahan langkahku yang baru saja beranjak dari ruang tamu. "Apa?" tanyaku dengan wajah menunduk. "Biar aku yang antar kamu pulang." "Tidak usah, tera kasih." Aku kembali melangkah melewati pintu rumahnya dan segera berlari ke halaman yang tak seberapa besar itu. Namun ternyata kudengar derap langkah Demi yang mengejar. Benar saja, dia menangkap lenganku dan menarik pelan. "Aku tidak mungkin membiarkan kamu pulang sambil nangis kek gini." Seno berkata tegas, dia mengulurkan tisu dan aku segera meraihnya. "Aku nggak nangis, tadi cuma kelilipan," ucapku mengelak. "Kalau mau cari alasan itu yang kerenan dikit lah." Aku diam. "Aku sudah mengenalmu lama, jadi aku tahu saat kamu berbohong dan berkata jujur. Kalau mau bagus mah ya nangis aja kali, jangan ditahan nanti efeknya pengen pup." Mendengar kalimat terakhirnya aku tertawa lebar. Ada-ada saja cara Seno menghiburku. "Becanda kamu gak lucu , Sen." "Dih gak lucu tali kamu ngakak gitu? Bohong banget." Aku kembali tertawa. "Yaudah aku antar kamu pake motor aja ya?" "Aku maunya sama becak malah." "Terus kamu nyuruh aku jadi tukang becak gitu? Ya ampun lelaki gagah kek gini disuruh naik becak. Nanti semua tukang becak di kota ini merasa tersingkirkan, berdosalah aku ini," tutur Seno seraya tertawa. "Aku hanya becanda Sen," timpalku. "Ya aku juga becanda kali, Key. Ayok ini dipake helmnya." Seno meraih helm dan diberikannya bogo silver itu padaku. Aku langsung mengenakannya dan segera naik ke boncengan motor metik Seno, setelah itu motor melaju meninggalkan halaman rumah. Tiga menit setelah melewati perumahan yang cukup besar ini kami akhirnya membelah jalanan kota. "Sen, Aji memangnya tidak cerita ya sejak aku masih di rumah sakit?" "Nggak tuh. Awas aja kalo aku ketemu Aji akan kuteror dia. Bisa-bisanya dia tak mengabari abangnya saat kamu di rumah sakit. Tahu gitu kan aku bisa jenguk kamu dan ...." Entah mengapa Seno tak meneruskan kalimatnya. Dia memilih diam dan mungkin tenaga berpikir. Entah apa yang dia pikirkan atau memang sengaja tak ingin melanjutkan kalimatnya yang tadi, namun demi apa pun aku terlanjur merasa penasaran "Dan apa?" desakku. "Dan punya kesempatan untuk mengambilmu dari Ayas." Reflek aku memukul pundaknya pelan. "Jangan bicara seperti itu, Sen, ngambil isteri orang itu tidak baik." "Justeru yang tidak baik itu seorang suami yang tak bisa menjaga isterinya dengan baik." "Entah lah, Sen. Ingatanku belum pulih, saat nanti sudah ingat semua mungkin aku tidak akan terima jika memang benar Ayas pernah menampar dan memperlakukan aku dengan tidak baik." "Maaf ya Key, bukannya aku menjelekan suamimu tapi karena kamu terus bertanya jadilah aku bilang apa adanya. Kalau kamu nggak percaya juga gak papa kok." "Aku percaya Sen, tapi aku juga butuh bukti lainnya." "Memangnya saat kamu ingat semuanya, apa yang akan kamu lakukan?" "Mungkin aku akan mengakhiri saja hubunganku dengan Ayas." "Terus kembalinya sama aku kan?" "Mungkin juga tidak,"ucapku acuh tak acuh. Yang kini memenuhi pikiranku kini adalah bagaimana caranya aku bisa secepatnya pulih dari hilang ingatan ini. "Jangan terlalu dipikirkan Key, masa lalu itu mau baik atau buruk keduanya sama-sama bisa diambil pelajarannya. Lagi pula semua hal bisa berubah termasuk karakter seseorang. Penjahat aja bisa insaf, orang baik juga pernah punya kesalahan. Intinya kita semua berproses Key, dan orang kuat adalah orang yang mampu memaafkan kesalahan orang lain seberapa pun banyaknya. Tapi sayang aku tidak mudah untuk memaafkan." Benar apa yang dituturkan oleh Seno barusan, semua orang bisa berubah. Hanya saja aku masih bimbang dengan segala pikiran yang ada dalam benak. Satu sisi aku ingin sekali marah besar pada Ayas setelah Seno sedikit menceritakan masa lalu, namun di sisi lain aku juga bingung menghadapinya dan bersikap di depannya setelah mengetahui bahwa hubunganku dengan Ayas di masa lalu seburuk itu. Dan yang membuat aku tak terima adalah penyebab kecelakaan hingga membuatku koma juga hilang ingatan ini adalah Ayas. Meski Memang semua ini belum tentu benar tapi aku percaya Seno tidak berbohong padaku. Secinta apa pun dia padaku dia masih tetap bersikap waras untuk tidak mengada-ada dan menjatuhkan orang lain. Bahkan Demo juga bilang bahwa dia menjawab pertanyaanku apa adanya. 'Bung, kenapa kau sejahat itu padaku? Apa salahku?' gumamku dalam hati. "Key, kita mampir dulu ya di kedai depan, aku lapar." Ucapan Seno membuat lamunanku luruh. "Barusan kamu ngomong apaan Sen?" tanyaku berbaur dengan suara knalpot motor dan juga angin jalanan. "Aku lapar, kita berhenti dulu ya di kedai depan." "Hmmm ya, okelah." "Kamu juga harus makan nanti di sana," kata Seno lagi. "Iya," sahutku. "Makan sama ayam bakar Taliwang kamu mau?" tawar Seno. "Waaah makan kesukaan aku memang itu, Seno. Tentu saja aku mau." "Oke bersiaplah sebentar lagi kita akan sampai." "Aku mau minumnya jus alpukat." "Siap, Sayang," jawab Seno tanpa canggung. Entah dia keceplosan atau memang sengaja. "Kok Sayang sih manggilnya?" godaku. "Eh iya, maaf keceplosan. Aku kira kira masih pacaran," ucapnya. "Tahunya kita sudah jadi mantan," timpalku usil. "Gak papa yang penting masih bisa temenan," pungkas Seno. Aku melirik ke arah kaca spion, dari sana bisa kulihat wajah Seno yang berseri-seri. Ah ya ampun dia sebaik ini, kenapa aku malah meninggalkan Seno demi orang kasar seperti Ayas? 'No, aku tak boleh memvonis Ayas itu kasar dan jahat. Benar apa kata Seno tadi bahwa orang jahat juga bisa berubah dan memperbaiki diri. Jadi siapa tahu Ayas memang sudah berubah sekarang. Namun jujur saja aku masih marah dan kesal padamu Bung,' gumamku dalam hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN