I Love You, Keyra.

1940 Kata
Mamah tertidur pulas di kamarku. Ia terlihat lelah sekali, perjalanan dari luar kota memang cukup jauh dan hal itu tentu melelahkan bagi fisik Mamah. Apalagi saat baru pulang di rumah malah terjadi kejauhan antara Ayas dan juga Seno. Aku mematikan lampu dan menyalakan lampu tidur berwarna oranye berbentuk jamur. Agar Mamah bisa tidur dengan lelap tanpa terganggu cahaya lampu yang silau. Sedangkan aku kini memilih untuk keluar dan duduk di teras balkon. Malam ini cuaca sangat dingin. Jujur aku menghawatirkan keadaan Seno, sedangkan pada Ayas aku benci setengah mati. Tak peduli sekarang dia ada di mana. Setelah memilih posisi duduk di kursi dan menyenderkan tubuh, kuraih ponsel dan menghubungi Seno. Sengaja memilih Vidio call untuk melihat keadaannya sekarang. Namun berkali-kali kuhubungi ponselnya tetap tak juga ada jawaban. Baru saja akan memutuskan sambungan, terdengar suara di seberang sana. "Hallo ... Key," sapa suara di seberang, Tante Lisa ternyata yang mengangkat ponsel Seno. "Hallo Tante, Seno mana?" Aku langsung bertanya tanpa basa-basi. "Seno istirahat di kamarnya, ponselnya ketinggalan di sofa ruang tengah." "Maaf Tante, maafkan Key ya. Seno pasti sekarang kesakitan. Itu salah Keyra. Besok Key ke sana kok Tante nengokin Seno." "Loh memangnya kenapa dengan Seno? Tante juga baru pulang, belum ketemu tuh sama Seno. Tadi kata Aji Seno udah tidur dan bilang cuma gak enak badan." Ya Tuhan jadi Tante Lisa belum tahu? Dia hanya tahu dari Aji. Seketika aku dihantam lagi oleh rasa bersalah. Bagaimana caranya kini aku menjelaskan pada Tante Lisa apa yang sebenarnya terjadi pada Seno? "Oh iya Key, Tante tutup dulu ya teleponnya. Ponsel Tante bunyi dan ada yang nelpon." Aku bisa bernapas lega. Kebetulan itu nyatanya menyelamatkanku. "Oh iya Tante, silahkan. Assalamualaikum," ucapku. Sambungan telepon terputus. Aku tercenung menatap bulan pucat di langit. Apakah Seno beneran babak belur karena ulah Ayas? Jujur saja hati ini tak tenang. Bagaimana kalo malam ini saja aku ke rumah Seno? Untuk melihatnya dan memastikan bahwa dia baik-baik saja? Aku segera melirik jam dinding yang jarumnya menunjuk ke angka 21.00 dan kurasa ini belum terlalu malam untuk menemui Seno. Ya, aku Haris ke sana malam ini juga. Tanpa berganti baju, hanya mengenakan cardigan dan meraih tas kecil aku segera menuruni anak tangga ke bawah. Sempat bilang ke Bi Ijah kalau aku pergi sebentar saja. Dengan taksi yang telah kupesan melalui aplikasi online aku meluncur ke rumah Seno. Sampai di sana, rumah terlihat sepi. Apakah semua orang sudah tidur? Meski ragu akhirnya kupencet juga bel pintu dua kali. Menunggu lima menit belum juga ada yang membukakan pintu. Akhirnya kupencet lagi bel untuk yang ketiga kali. Pintu terbuka kulihat Aji berdiri menatapku. Bekum sempat aku berkata ia sudah mendahului dengan kalimat yang bikin tak enak hati. "Ngapain ke sini? Bekum luas bikin Kak Seno menderita? Pulang sana," ucapnya dengan ketus. Ya, aku diusir tapi tetap tak bergeming. "Aku mau ketemu Seno, Ji." "Kak Seno lagi istirahat." "Pliiis," ucapku memohon. "Pulang lah Key, Jang jadi murahan seperti ini. Kamu perempuan bersuami harusnya tahu harga diri." Lagi-lagi ucapan Aji membuat Keyra menahan napas dan mengelus d**a. "Kamu boleh caci maki aku, Ji. Tapi jangan melarangku bertemu dengan Seno." Aku menatapnya tajam dan menerobos masuk ke dalam. Aji mencegah dan mengejar tapi langkahku dengan cepat menaiki anak tangga menuju kamar Seno. Beruntung kamar itu tidak dikunci, aku langsung masuk dan mengunci pintunya dari dalam. Agar Aji tak menyuruhku pulang. "Keyra, buka pintunya." Aji mengetuk pintu kamar Seno, Seno yang sedang tertidur pulas kini ia mengerjakan matanya dan sedikit terkejut saat melihatku susah ada di sini, di kamarnya. "Keyra?" ucapnya sambil mengucek mata. "Sen ...." Aku menghambur dan memeluknya. Ya, mungkin aku murahan dengan bersikap seperti ini, tapi sungguh melihat wajah Seno luka lebam dan kebiruan di bagian pipi dagu dan pelipisnya membuatku merasa teramat bersalah. "Keyra keluar jangan ganggu Kak Seno lagi." Di sana Aji masih saja mengetuk pintu dan memanggil namaku. "Biarkan Ji, biarin Keyra di sini," sahut Seno. "Tapi Kak ...." "Ini hujan salah Keyra, bukan gara-gara Keyra. Kamu ngerti? Pergilah." Setelah Seno mengucap demikian tak terdengar lagi suara Aji mengetuk pintu dan memanggil namaku. "Kenapa malam begini ke sini, hmm?" Seno menepuk pundakku lembut. Aku melepas pelukan dan kini duduk di samping tempat tidurnya. "Aku khawatir kamu kenapa-kenapa. Mana wajahnya bonyok gini. Ayas pasti memukulmu bertubi-tubi." "Sudah lah, Key. Aku gak papa kok. Tadi udah diobati sama Aji. Ini hanya luka luar. Besok juga sembuh." "Aji marah banget sama aku, Sen." "Jangan dihiraukan, dia mah dari dulu juga jutek." "Ya, aku tahu itu. Sejak di rumah sakit saat aku ditangani olehnya, dia juga kesannya males banget saat aku tanya-tanya tentang kamu." Seno tersenyum. "Ini jam berapa Key?" tanya Seno. Aku melirik jam dinding di kamarnya, sudah jam setengah sebelas malam. "Setengah sebelas." "Gak baik cewek pergi malam-malam. Mana perginya ke rumah mantan, untung mantannya baik. Coba kalo jahat sudah dimakan bulat-bulat," tutur Seno sibuk tertawa kecil. "Sejak kapan kamu jadi kanibal?" Reflek aku meninjunya. "Sakit, Key." Seno meringis memegangi bahunya yang tadi kupukul. "Maaf maaf aku tadi reflek. Beneran gak sengaja. Sumpah," ucapku. "Kamu mau nginep di sini?" Aku menggeleng. Tentu saja tidak. Aku ke sini hanya ingin melihat Seno sebentar karena rasa khawatir badan bersalah. "Pulang ya Key, ini sudah malam banget. Ayas pasti nyariin kamu." "Gak mungkin dia nyariin. Ayas diusir Mamah dan aku gak tahu dia sekarang ada di mana." Mata Seno membesar menatapku. "Terus kamu gak nyari Ayas ke mana?" "Buat apa? Toh dia jahat, ngunciin aku di kamar dan membuatmu sampai babak belur begini." "Itu karena dia cemburu melihat kita dekat-dekat tadi. Usahamu berhasil ternyata bikin dia cemburu." Penuturan Seno barusan membuatku tersentil. "Aku pulang," putusku kemudian. Merasa tersinggung dengan kalimat yang tadi diucapkan oleh Seno. Ya, ternyata saat Seno mengucapkan hal itu hatiku berdenyut nyeri karena secara tak langsung Seno bilang bahwa semua gara-gara aku. Ya, memang salahku, Sen. Salahku yang nyatanya telah melibatkanmu dan membuatmu terluka hingga seperti ini. Air mataku jatuh meluncur ke pipi, segera kuusap dengan jari. "Kamu nangis, Key?" tanya Seno yang kemudian menarik lenganku. "Nggak kok. Aku gak nangis," Jawabku berbohong. "Aku salah ya?" tanyanya lagi. Aku menggeleng. "Kalau kamu ingin aku berjuang lagi untukmu bilang sekarang." "Nggak Sen. Lagi pula aku gak kayak untuk kamu. Kamu berhak mendapatkan perempuan yang jauh lebih dariku," ucapku parau. "Gak ada Key, Aku maunya cuma kamu." "Nggak Sen, kamu bisa dapetin perempuan yang lebih dari aku. Di luar sana kamu idola, gak ada perempuan yang bisa nolak kamu." "Ya, perempuan di luar sana memang banyak yang lebih baik dan lebih segalanya dari kamu, Key. Namun siapa yang menetapkan cinta di hati? Hati gak bisa dipaksa bukan? Dan hatiku nyatanya telah jatuh padamu." "Kamu hanya belum mencoba untuk move on." "Sudah, tapi tidak berhasil," jawabnya. "Dicoba lagi." "Nggak Key, aku tidak mau mencoba untuk mencintai perempuan lain. Karena bagiku kamu sudah cukup." "Berhenti menggombaliku Seno, ini sama sekali tidak lucu." "Kamu kira aku sedang melucu. Ya Tuhan kalau tak ingat kau istri orang ingin kuterkam habis-habisan. Sudah sana pulang. Cuaca dingin dan sakit begini nyatanya membuat otakku traveling." Seno meraih selimut dan mendorongku pelan agar menjauh darinya. Lucu sekali. "Bisa dijelaskan tadi maksudmu traveling apa ya?" "Sudah Key, jangan coba menggodaku." Seno menutupi wajahnya. "Kau gak menggoda, cuma nanya." "Aku malas menjawab. Kamu gak tahu ya, setan-setan di ruangan ini dari tadi membisikkan hal jahat padaku." "Oh ya?" Aku tertawa. "Ji ...." Tiba-tiba Seno memanggil adiknya. "Ya Kak," sahut Seno cepat. Aku lupa kalau ternyata kamar Aji bersebelahan dengan kamar Seno. pantas dia langsung mendengar saat Seno memanggil. "Anterin Keyra pulang. Sudah malam bahaya dia pulang sendirian." "Iya Kak." Aji menyahut. Tak lama dia mengedit pintu dan memanggilku. "Keyra ayo pulang." Suara Aji memanggilku. "Sana pulang, Key," ucap Seno pelan. Ia membuka selimut yang sejak tadi menutupi wajahnya. "Pulang sama Aji habislah telingaku diceramahi." Aku menggerutu. "Kalo dia ceramah dengerin aja, masuk telinga kanan keluarin dari telinga kiri. Beres." "Dia itu kalo ngomong bikin sakit hati, Sen." Aku merajuk. "Sini aku bisikin." Seno menarikku agar mendekat. "I love you Keyra," bisiknya lembut hingga membuat bulu kudukku meremang. Reflek aku mengusap tengkuk. "Ya ampun merinding tahu, Sen," ucapku. "Sialan, kamu kira aku setan apa?" Kemudian kami tertawa. "Sudah sana pulang. Berlama-lama di sini membuatku makin sakau. Gak tahu apa kalau wajah kamu itu memabukkan Key." "Halah,"timpalku sambil melemparnya dengan bantal. "Good night Seno. Mimpi indah." "Pasti indah lah kan malam ini udah ketemu kamu." "Hei ... Kalian pasangan gak halal udah saling gombalnya. Capek nih nungguin depan pintu." Kalimat Aji membuatku dan Seno semakin terbahak. Aku segera membuka pintu dan mendapati wajah jutek Aji. "Buruan," ucapnya. Aku melirik sekali lagi ke arah Seno, dia melambaikan tangannya dan kubalas lambaiannya dengan cepat. Aku mengekori langkah Aji menuruni anak tangga. sampai di bawah berpapasan dengan Tante Lisa. "Key ... kamu di sini? " tanyanya heran menyapaku. "Iya Tante, maaf Key cuma jenguk Seno sebentar doang kok." "Tante malah gak tahu Seno kenapa. Kenapa memangnya Kakakmu Ji?" Tante Lisa kini menatap Aji. Aku sudah dag dig dug tak karuan karena takut Aji kebagtakn apa yang sebenarnya terjadi. Kalau sampai Tante Lisa tahu Seno babak belur dihajar Ayas maka tamatlah riwayatku. "Hmmm itu Mah, Kak Seno jatuh dari motor." "Hah? Terus sekarang gimana? Sudah diobati?" Tante Lisa bertanya panik. "Sudah Mah, udah gak papa kok. Cuma luka luar doang." "Syukurlah kalau gak papa. Mamah baru pulang jadinya gak tahu deh kalau Kakakmu jatuh." "Yaudah Tante, Keyra permisi pulang dulu ya." Aku meraih tangan Tante Lisa dan mengecup punggung tangannya. "Pulangnya dianter Aji kan? ini sudah malam lho gak baik pulang sendirian." Tante Lisa masih seperti dulu, tetap perhatian padaku ternyata. "Iya Mah, Aji yang anter kok." "Yaudah hati-hati ya. Bawa mobilnya jangan ngebut." "Gak bawa mobil Mah, sama motornya Kak Seno aja. Males bawa mobil." "Yaudah yang penting kalian hati-hati jangan ngebut-ngebut bawanya, Ji." "Iya, Mah." Aku dan Aji akhirnya keluar. Sebenernya malas diantar sama motor, takut hujan di tengah jalan karena sekarang aja sudah terdengar bunyi perut di kejauhan. "Nih pake helmnya." Aji menyodorkan helm. "Kenapa gak sama mobil aja sih? Ini kan sepertinya mau hujan," protesku. "Kalo sama mobil gak bisa cepet, kalo sama motor kan bisa ngebut dan cepat sampai. Ngerti?" ucap Aji dengan juteknya. "Buru naik," ucapnya lagi. Aku ragu, pasti nih anak bawa motornya beneran ngebut karena dia kan lagi kesel banget sama aku. "Lo gak akan jahatin gue kan, Ji?" "Harusnya jahat tapi berhubung Lo perempuan yang dicintai Kak Seno jadinya aku gak tega ninggalin kamu di tengah jalan." "Oh jadi lo udah ada niat buat nurunin gue di tengah jalan?" Aku baru sadar kalau ternyata percakapan aku dan aji sudah berubah jadi gue Lo. "Gak lah. Sehahat-jahatnya gue, gak mungkin nurunin cewek di tengah jalan." Motor kini n mulai berjalan meninggalkan halaman rumah. "Ya kalo sampe lo berniat seperti itu, bakal gue viralin pokoknya." "Dasar ratu medsos. Jujur ya gue tuh benci banget sama lo Key, bisa-bisanya lo muncul lagi di kehidupan Kak Seno." "Masalah buat lo?" "Jelas masalah. Gue gak rela Abang gue disakiti terus." Aku paham, Ji kamu sayang banget sama Seno. Namun perihal dia tersakiti itu di luar kendaliku. Aku tak pernah berniat sedikit pun menyakiti Seno. Tidak pernah. Jalanan lumayan lengang, motor bisa berjalan lumayan ngebut tanpa risih. Aku memilih diam hingga Aji mengantarkan sampai depan rumah. "Thanks ya, Ji. Maaf udah ngerepotin lo." "Lain Kali jangan ngerepotin gue lagi," jawabnya ketus. Setelah mengembalikan helm padanya, Aji langsung cabut dan ngebut. Biarlah, setidaknya aku lega karena sudah menjenguk Seno. "Dari mana?" suara itu? Aku segera menoleh dan mendapati Ayas duduk di teras. "Kenapa gak jawab?" tanyanya lagi. "Karena bukan urusanmu lagi." Aku langsung masuk ke dalam dan mengunci pintunya. Setiap kali melihat Ayas nyatanya kebencian di dadaku semakin menyala.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN