Tepat pukul 14.00 Seno menghubungi dan bilang bahwa ia sedang di jalan menuju rumah. Aku bersiap untuk kedatangannya. Tak akan peduli dengan tatapan Bi Ijah yang mungkin memandangku heran karena kedatangan Seno.
Sekita setengah jam kemudian terdengar suar klakson di halaman rumah dan aku melihat dari jendela kaca kamarku Seno baru saja keluar dari mobilnya. Buru-buru aku keluar kamar, menuruni anak tangga ke bawah. Bel pintu berbunyi, aku langsung membuka pintunya dan tersenyum menyambut Seno.
"Duduk dulu, Sen. Aku buatkan minum dulu ya. Mau minum apa?"
"Apa aja," sahutnya sambil menghempaskan bokongnya duduk di kursi ruang tamu.
Aku mengambilkan dua kaleng minuman dingin dan juga sebotol teh pucuk, menatanya di nampan lalu membawanya ke ruang tamu di mana Seno sedang duduk.
"Mamah ke mana, Key?" tanya Aya sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ya, Seno sudah terbiasa memanggil Mamah sejak dulu. Hubungan Seno dan Mamah sudah lumayan akrab.
"Keluar kota, lagi buka cabang baru usahanya."
"Wah keren ya, Mamah. Masih produktif aja."
"Kata Mamah kalau dia diam di rumah dia bakal inget terus dan bersedih karena ingat kepergian Ayah. Mungkin menyibukkan diri adalah caranya melupakan luka," tuturku.
"Ya, betul juga sih. Aku juga dulu gitu Key, waktu ditinggalin kamu pas lagi sayang-sayangnya milih cari kesibukan."
Aku terbatuk-batuk mendengar ungkapan yang barusan di katakan oleh Seno, tapi lelaki yang memiliki lesung pipi itu malah tertawa.
"Kita bikin rumah kucingnya dari kayu jati belanda aja, ya. Ada kok sisa kayu di samping rumah. Cuma aku nggak bisa bikinnya maka dari itu aku minta tolong sama kamu."
Seno manggut-manggut tapi sesekali dia mencuri pandang ke arahku sambil tersenyum.
"Yakin sengaja nyuruh ke sini cuma buat minta tolong bikinin rumah kucing?" tanyanya kemudian.
Seolah tahu apa yang sedang ada di pikiranku Seno menatap setengah tak percaya.
"Memangnya menurutmu apa lagi?"
"Mungkin aja kan ada maksud lain."
Aku terdiam, bingung antara memberitahunya atau tidak. Karena bagiku saat Ayas pulang sebentar lagi dia pasti akan melihatku dengan Seno bersama mengerjakan sesuatu di samping rumah, maka Ayas akan cemburu. Bukan, sebenernya tujuanku bukan untuk membuat Ayas cemburu melainkan membalas apa yang telah dia lakukan padaku ketika itu. Aku ingin Ayas juga merasakan sakit hati yang sama sepertiku.
"Tuh kan diem. Berarti emang ada maksud lain. Ayo bilang," ucap Seno.
"Gak ada, Sen."
"Boong. Aku tahu dan kenal kamu dari dulu Key. Saat kamu berbohong aku tahu."
"Ya kalau kamu tahu ngapain nanya."
"Memastikan."
"Terus sudah pasti kah menurutmu?"
"Kamu mau bikin Ayas cemburu dengan menyuruhku datang ke sini?" tebak Seno.
"Kamu tuh persis cenayang ya, astaga."
"Tuh kan tebakanku berati bener. Kalau kamu emang masih cinta sama Ayas ya gak perlu lah ngelakuin hal kayak gini. Gak perlu hadirin aku di sini sebagai bahan uji coba. Aku juga punya hati Key, kamu kira aku mau ditempatkan dalam posisi seperti ini? Nggak Key."
Dari penuturan Seno kini aku tahu dia tersinggung. Salahku juga merencanakan hal ini tanpa bertanya dulu pada Seno apakah dia bersedia atau tidak.
"Maaf," lirihku kemudian. "Maaf jika kamu merasa tersinggung. Aku sama sekali gak bermaksud membuat kamu terluka, Sen. Sekali lagi maaf."
Hening menjeda kami beberapa detik lamanya. Kira-kira apakah yang sekarang dipikirkan oleh Seno? Apa dia membenciku?
"Aku masih cinta sama kamu, Key. Itu mengapa aku gak pernah rela siapa pun menyakitimu termasuk Ayas. Tapi kalo emang kamu masih cinta sama Ayas, aku bisa apa? Toh cinta juga gak bisa dipaksakan bukan? Aku nggak siap diposisikan sebagai perusak. Tapi kalau kamu sudah tidak sanggup bersama Ayas maka aku akan maju paling depan untuk mengambilmu darinya. Tapi kalau hanya dijadikan bahan percobaan, maaf aku nggak bisa. Karena hatiku bukan untuk dicoba-coba."
"Sen ...." Aku merasa semakin bersalah, ternyata Seno se-luka itu menghadapai apanya g kukira biasa saja. Benar, secara tidak disadari aku memang memanfaatkan Seno di posisinya sekarang. Reflek aku mendekat dan memeluknya, membisikkan kata maaf di telinga Seno.
"Its oke, Key. Aku gak papa kok. Jangan khawatir. Yang terpenting bagiku kamu baik-baik saja."
"Aku gak bermaksud menyinggung perasaanmu, Sen, tapi memang aku hanya ingin membalas apa yang dulu pernah Ayas lakuin padaku. Aku ingin dia juga merasakan sakit yang dulu kurasakan. Hanya itu."
Seno meraih pundak dan melepaskan pelukanku. Ia menatap lekat wajahku.
"Kamu masih cinta sama Ayas?"
"Entah. Justeru aku membencinya."
"Benci atau cinta?" tanya Seno lagi.
"Mungkin dua-duanya, aku juga masih tak yakin karena jujur masih bingung dengan apa yang kurasakan terhadap Ayas. Mengingat masa lalu justru aku membencinya setengah mati."
"Jadi kamu sudah ingat semuanya?"
"Ya," ucapku mengakui.
"Ingat saat aku menemui Ayas di rumah besarnya?"
Aku mengangguk. Seingatku setelah Seno menemui Ayas waktu itu, perilaku Ayas berubah drastis. Ia menjadi lebih pendiam dan tak lagi main tangan saat marah padaku.
"Sebenernya apa.yang kamu katakan pada Ayas saat itu, Sen? Karena setelah itu dia berubah."
"Tidak kasar lagi?" tanya Seno.
Aku mengangguk.
"Ya, karena saat itu aku tegaskan padanya kalau sampai aku melihatmu menangis lagi atau pipimu merah bekas tamparannya, atau Ayas menyakitimu dengan cara apa pun maka aku tak segan untuk mengambil darinya. Sekarang aku tanya, apa yang kamu ingat terakhir kali sebelum ingatanmu hilang?" Seno menatapku tak berkedip, wajah kami berdekatan dan jika sekarang aku harus menceritakan hal itu dadaku terasa berdegup kencang. Debar yang membuatku emosional. Aku benci ingatan-ingatan menyakitkan itu. Tak terasa genangan hangat kini telah merebak memenuhi kornea. Belum sempat lagi berkata-kata air mata telah jatuh mendahului perasaanku yang terluka.
"Jangan nangis, Key," suara Seno terdengar parau. Ia mengusap air mataku dengan ujung jarinya. Aku memilih memeluknya kembali dan membenamkan wajahku di d**a bidangnya. Tersedu di sana tanpa rasa malu bahwa yang kupeluk sekarang adalah mantanku. Tapi bersama Seno aku merasa nyaman.
"Apakah lukamu terlalu berat, Key?" Seno mengusap lembut rambutku.
"Khayra!" suara Keras membuatku dan Seno sama-sama menoleh ke arah pintu. Di sana ternyata Ayas berdiri di ambang pintu dan menatap murka ke arahku.Langkah lebarnya menghampiri dan tangan besarnya langsung menyeretku. Matanya menyalak galak menatap Seno.
"Kau, jangan pernah mengambil kesempatan sedikit pun saat aku tak ada di sini. Jangan mendekati Khayra. Dia istriku." Ayas berkata tegas. Aku berusaha melepaskan diri dari cengkraman tangannya. Ini yang membuatku tak suka, Ayas mudah marah dan emosional.
"Ya, sekarang dia isterimu tapi sebentar lagi dia akan jadi istriku." Seno dengan tenangnya menantang Ayas. Tanpa terlihat takut atau emosi sedikit pun.
"Jangan harap. Kau tidak akan pernah memiliki Khayra."
"Tanyakan pada Khayra, dia sih mencintaimu atau tidak? Dia masih ingin bertahan denganmu atau tidak. Ingat, aku sudah memperingatimu berulang kali, saat mamahnya Keyra datang aku akan membuka semuanya termasuk sikapmu yang sering menyakiti Keyra. Dan setelah itu boom. Aku yakin semua orangtua tidak akan rela putrinya disakiti."
"Hei ... Beraninya kau," teriak Ayas dengan mata menyalak. Ia melepaskanku dan melayangkan tinju pada Seno. Beruntung Seno sudah siap menangkis hingga tak mengenai bagian rahangnya. Mereka berdua saling tinju dan pukul hingga menimbulkan keributan dan juga ketegangan. Bi Ijah yang barusan muncul dari arah dapur terkejut dengan pemandangan yang kini dilihatnya.
Seno yang tubuhnya tidak sebesar Ayas akhirnya terkena pukulan telak di dadanya. Ia tersungkur dan terjatuh di bawah kursi.
"Berhenti!" pekikku histeris. Aku langsung menghirup Seno yang terjatuh. Namun detik kemudian tanganku diseret lalu aku ditarik Ayas menuju ke lantai atas.
"Lepasin," ucapku berusaha melepaskan tanganku dari cengkramannya. Seno menatapku dan berteriak memanggil Ayas. Namun Ayas tak bersuara dan ia tetap membisu saat memasukan dan mengunciku di kamar. Ya Tuhan, apa-apaan ini?
Beberapa kali aku sudah mencoba berteriak dan mengetuk-ngetuk pintu agar dibukakan tapi ternyata nihil. Bahkan yang kudengar kini suara kegaduhan di bawah begitu jelas. Aku khawatir Ayas menghajar Seni kembali.
Menghajar? Tiba-tiba dalam pikiranku muncul kelebatan bayangan di mana aku melihat Ayas dihajar dan dipukuli oleh orang suruhan Ayah. Entah apa salahnya tapi saat itu hatiku iba dan memohon pada Ayah agar ia melepaskan. Ingatan itu? Ya, aku ingat lagi masa-masa di mana Ayas adalah lelaki sebatang kara. Dia pekerjanya Ayah tapi karena suatu kesalahan ia dipukuli. Apa karena hal itu dia juga jadi temperamen seperti sekarang?
Bunyi ponsel berdering dalam saku, aku segera meraihnya dan mendapati sebaris nama Mama muncul di layar.
"Hallo Key, Sayang Mamah lagi di jalan menuju pulang." Terdengar suara Mama di seberang sana. Aku berharap saat ini Mamah lekas datang agar ia menyaksikan sendiri bagaimana Ayas memperlakukanku dan memukul Seno di bawah sana.
"Mah ... Cepet pulang," jawabku.
"Iya Sayang, sebentar lagi sampai rumah kok. Kamu kenapa suaranya kok agak serak?"
"Cepet pulang Mah, Ayas jahat."
"Apa?" Di seberang sana Mamah mungkin kebingungan mencerna kalimatku.
"Key dikunci di kamar, sedangkan Seno dipukuli di bawah sana. Cepat Mamah pulang."
"Iya Sayang, Mamah segera pulang, kamu tengah ya." Kemudian sambungan terputus. Tangisku pecah karena merasa inilah puncaknya aku membenci Ayas. Aku ingin segera bercerai dengannya. Rumah tangga macam apa yang selama ini kupertahankan bersama temperamental seperti itu? Tidak, aku sudah tidak kuat dan ingin mengakhirinya.
"Stoopp," terdengar teriakan dari arah bawah. Aku yakin itu suara Mamah. Mamah pasti sedang melerai Ayas dan Seno di bawah sana. Aku menggedor pintu berharap siapa saja atau bahkan Bi Ijah mendengarnya dan membukakan pintu kamarku ini. Namun hingga lima menit berlalu belum ada yang membukakan pintu. Aku menajamkan pendengaran dan tak lagi kudengar suara gaduh atau suara apa pun di bawah. Apa mungkin Seno sudah dah pulang?
"Mamah ...." Aku mencoba berteriak dan kembali menggedor pintu. Terdengar suara kunci diputar dan pintu dibuka. Mamah berdiri di ambang pintu dan aku langsung menubruknya dengan pelukan.
"Kamu nggak papa, Key? Apa yang sakit?" Mamah melepas pelukanku dan ia mulai meneliti dari atas hingga ke bawah kakiku.
"Kamu gak dipukul kan sama Ayas?" tanya Mamah dengan raut khawatir.
"Enggak Mah, Ayas hanya mengunciku di kamar. Seno mana?"
"Sudah Mamah suruh pulang." Mama melangkah masuk ke kamar dan memijit pelipisnya. Terlihat capek dan juga pusing.
"Mamah gak habis pikir kenapa Ayas bisa sekadar itu padamu. Tadi dia juga menghajar Seno hingga biru lebam."
"Seno lebam Mah?" Aku bertanya dengan cemas.
"Yang ditanya kenapa malah Seno?" Mamah mengernyitkan dahinya.
"Dia berkelahi di bawah sana sama Ayas, kalau Mamah tak berteriak mungkin mereka masih adu jotos. Mamah capek, pulang ke rumah ingin istirahat tapi yang ada malah keributan," jelas Mamah panjang lebar.
"Terus sekarang Ayas di mana?"
"Sudah Mamah usir juga."
Mendengar Mamah mengusir Ayas ada kelegaan dalam hatiku. Setidaknya aku tak bertemu lagi dengannya di tengah rasa benci ini. Aku sekarang tak peduli, mau kemana pun Ayas pergi silahkan saja. Karena memang dia sejahat itu padaku. Aku sangat membencinya.